er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Kominikasi Efektif Terhadap Anak Usia 7 Tahun KeBawah

GUNAKAN BAHASA YANG SINGKAT, SEDERHANA DAN TIDAK PANJANG LEBAR
Orang dewasa saja terkadang bingung jika mendengar pembicaraan yang panjang lebar, apalagi anak. Maka dari itu, gunakan komunikasi/bahasa yang to the point sehingga maksud orang tua dapat lebih mudah dipahami. Misalnya : “Dek, buang kertasnya di keranjang sampah dong”.


GUNAKAN BAHASA SE KONKRET MUNGKIN
Daripada berkata : “Kamu tidak boleh egois terhadap teman”. Lebih baik katakana : “Rara, kuenya dibagi ya saying, kan enak kalau makan sama-sama”.

ORANG TUA JANGAN JADI PERAMAL
Sering orang tua meramalkan suatu kejadian yang belum terjadi atau sesuatu yang tidak nyata mengenai anaknya. “Kamu jangan panjat-panjat pohon itu nanti kalau jatuh kakimu bisa patah, nanti dibawa ke dokter”. Sebaiknya katakana saja : “Hati-hati ya kalau memanjat pohon itu”.

PAHAMI BAHASA TUBUH ANAK
Seringkali pada anak yang lebih kecil, bahasa tubuh orang tua yang bersifat non verbal bisa mengomunikasikan sesuatu karena kemampuan bahasanya memang masih terbatas. Misalnya : sikecil yang berusia 2 tahun tampak diam di suatu pojok dan wajahnya menegang. Orang tua hendaknya memancing anak untuk bicara : “Kenapa Dek, kamu PUP ya?”.

TIDAK DENGAN NADA CEPAT ATAU TERBURU-BURU
Saat berkomunikasi, perhatikan intonasi dan nada suara. Intonasi yang tidak jelas dengan nada terburu-buru bisa membuat anak jadi tidak “ngeh” dengan apa yang dibicarakan

Kemantangan Berfikir

Kematangan berpikir ini sejalan dengan meningkatnya usia. Menurut Jean Piaget, seorang tokoh psikologi perkembangan, kemampuan berpikir anak 7 tahun ke bawah dengan 7 tahun ke atas memiliki perbedaan nyata. Anak di bawah 7 tahun ada dalam tahap berpikir praoperasional. Maksudnya dalam memahami sesuatu anak masih berpikir konkret atau belum dapat berpikir secara abstrak. Kemampuan berbahasanya pun masih terbatas.

Sementara kemampuan berpikir anak di atas 7 tahun sudah berada pada tahap operasional. Ia sudah dapat memahami hal-hal yang abstrak. Pergaulan mereka semakin kompleks, tak hanya sebatas lingkungan keluarga tetapi juga teman bermain di luar keluarganya dan sering membuat kendala komunikasi (jarak) dengan orang tua. Di usia ini pada umumnya mereka lebih senang mencurahkan isi hatinya pada teman daripada pada orang tuanya.

Oleh karena itu, orang tua mesti memiliki siasat komunikasi berdasarkan temperamen dan kematangan berpikir anak. Bedakan kala berkomunikasi dengan si adik yang masih berusia 6 tahun dengan si kakak yang sudah berusia 9 tahun. Pada anak usia 6 tahun, orang tua bisa berkata, "Kalau Adek mengambil barang Nino, nanti Nino jadi sedih." Sedangkan untuk anak 9 tahun, orang tua bisa bicara dengan lebih abstrak : "Kamu nggak boleh mengambil uang Bunda tanpa izin. Itu namanya mencuri, dan mencuri adalah perbuatan dosa."

Pahami Kepribadian Anak


Sebageramen”. Ada 4 temperamen manusia menurut filosof Yunani, Hipocrates (460-375 SM), yaitu Phelgmatic, Sanguine, Choleric dan Melankolis. Keempat temperamen ini ada pada diri setiap anak, hanya saja kadarnya berbeda-beda. Namun biasanya, ada satu temperamen yang paling menonjol dari keempatnya.

1.Tipe Phelgmatic
Anak cenderung pendiam sekalipun dalam keadaan sakit, dia tidak banyak bicara. Anak tipe ini juga lebih banyak jadi pengamat dan bila mengerjakan sesuatu selalu tuntas. Terhadap anak dengan temperamen seperti ini, orang tua harus lebih proaktif untuk memancingnya bicara.

2.Tipe Sanguine
Punya banyak teman dan sangat menonjol di lingkungannya. Dalam menyelesaikan suatu pekerjaan tak pernah tuntas karena tipe sanguine lebih senang bermain. Cirinya adalah cenderung gembira, ceria dan mudah akrab dengan orang lain, easy going, pandai bercerita, tak mudah marah maupun sedih, dan memiliki sifat-sifat positif lainnya. Negatifnya, dia tak bisa membedakan situasi, sehingga ia terlihat sebagai sosok yang tak bisa diajak serius.
Anak tipe ini bisa dikatakan banyak cerita dan ingin diperhatikan. Kadang yang diceritakan terlalu dilebih-lebihkan karena tujuannya untuk menarik perhatian orang lain. Nah, hendaknya orang tua bersikap sebagai seorang pendengar yang baik dan mengarahkan anaknya agar tidak sampai terbawa khayalan atau berbohong. Misalnya, "Wah, tadi aku lihat Keke jatuh sampai berdarah-darah." Orang tua mungkin bisa memintanya menjelaskan lebih detail, "Bagian mananya yang berdarah?". Hindari reaksi, "Oh ya, bagaimana bisa Keke sampai banjir darah?". Jika terlalu direspons seperti itu anak akan melebih-lebihkan lagi ceritanya. Jika tidak diarahkan, kelak anak akan sulit membedakan mana yang kenyataan dan mana yang hanya khayalan/pikirannya saja.

3.Tipe Choleric
Anak terlihat gesit, energik dan nyaris tak pernah diam. Memiliki bakat memimpin, tangguh sekaligus berkemauan keras untuk belajar dan maju. Paling tak suka diatur, punya kemauan sendiri, dan cukup keras. Misalnya, anak tidak mau disuruh mandi, "Dek, ayo mandi sudah siang."
"Enggak mau, ah, Ma, pengin nonton dulu."
Nah, kalau dia membantah seperti itu, hendaknya orang tua tidak terpancing marah. Akan lebih bijaksana jika berkata : "Ayo, dong, mandi. Mandi pagi itu kan sehat. Lihat, deh teman-temanmu di luar sudah mandi semua”.
Sementara untuk anak yang sudah lebih besar orang tua harus bicara tegas dan konsisten karena untuk menghadapi anak tipe ini orang tua harus tetap memegang kendali atau lebih dominan (perpaduan antara komunikasi terbuka dan satu arah). Kalau tidak, anak bisa berkembang semau-maunya dan jadi susah diatur.
Hal yang harus diwaspadai, anak bertemperamen seperti ini cenderung mengabaikan perasaan orang lain, sulit bertenggang rasa pada usaha dan penderitaan yang tengah dilakukan orang lain, serta tidak suka melihat anak lain merengek. Jadi tak salah bila orang tua mengajarkan nilai empati kepada anak seperti ini. Misalnya untuk anak di bawah 7 tahun, "Kalau Adit ingin mainan Bimo, minta baik-baik, jangan direbut. Tuh, lihat Bimo, dia jadi sedih”. Sedangkan bagi anak usia di atas 7 tahun, katakan seperti ini, "Coba deh, kalau kamu diejek teman, rasanya kesal bukan? Begitu juga kalau temanmu diejek."

4.Tipe Melankolis
Anak sangat sensitif dan berperasaan halus, cenderung pendiam dan tertutup. Namun, ia kurang bisa mengekspresikan perasaannya. Kelebihannya, dalam bekerja anak bertempe
ramen seperti ini termasuk perfeksionis. Orang tua mesti pandai-pandai menjaga perasaannya. Jangan sampai menyinggung dan membuat hatinya terluka.
Bila ia berbuat salah, tegur dengan halus dan terfokus pada kesalahan yang dilakukannya. Hindari cara-cara kasar, seperti membentak-bentak atau melabelinya dengan predikat negatif, seperti : "Kamu memang nakal!". Hal ini akan membekas pada benaknya dan anak menganggap apa yang dikatakan orang tua merupakan hal yang sesungguhnya, yaitu bahwa dirinya memang anak nakal. Kalau sudah begitu, anak cenderung tambah tertutup.
Namun jika cara penanganannya tepat, dalam arti orang tua selalu menggunakan bahasa yang baik dan halus saat berkomunikasi dengannya, maka anak pun bisa menjalin komunikasi yang terbuka dan merasa dekat dengan orang tua.

Menghargai Anak Didik Melalui Komunikasi

A.BELAJAR MENGHARGAI ANAK DIDIK

Mendidik tentu berbeda dengan mengajar. Karena pendidikan mesti dipahami sebagai proses yang tidak hanya mewariskan pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga bagaimana membimbing anak didik agar menjadi generasi cerdas, kreatif, santun dan berbudi luhur.
Ilmu psikologi meyakini bahwa anak didik bukan gelas yang harus diisi, tetapi cenderung seperti api yang harus terus berpijar. Teori tersebut semakin memperkuat keyakinan bahwa pendidikan juga merupakan proses untuk menghidupkan api cinta dan semangat dalam diri anak untuk terus mencari ilmu tanpa henti.
Atas dasar itu pula, proses pendidikan semestinya diarahkan pada pembangkitan daya kreatifitas anak dalam mengeksplorasi sekaligus mengolah informasi yang didapat sambil memelihara daya kritis anak demi menjaga validitas informasi itu sendiri. Sementara kreatifitas akan tumbuh ketika ada ruang cukup luas untuk berekspresi “sesuka hati”. Dan komunikasi timbal balik yang seimbang antara anak didik dengan pendidik mampu menyediakan ruang yang dibutuhkan itu.
Dalam situasi ini, guru seharusnya mengambil posisi sebagai teman (partner) yang istiqamah membimbing dan sabar mendorong anak didiknya guna memastikan bahwa kreatifitas dan kesungguhan anak didiknya tetap terjaga. Guru dituntut untuk konsisten pada posisinya sebagai fasilitator dan motivator.
Dengan menjaga perannya itu, berarti guru telah berhasil memandang anak didik bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek. Sementara menghargai siswa sebagai pribadi utuh dan memahami pluralitas potensi yang dimilikinya merupakan langkah awal keberhasilan sebuah proses pendidikan dan pembelajaran.

B.PERAN PENDIDIK SEBAGAI FASILITATOR DAN MOTIVATOR

Berawal dari pemahaman bahwa anak adalah pribadi independent dengan ragam ciri dan karakteristik yang dimilikinya, membuat posisi guru menjadi amat penting. Pluralitas kemampuan, sifat, watak dan karakter anak menuntut kecerdasan guru dalam mengolah situasi pembelajaran agar apa yang disampaikan mampu diserap oleh semua anak.
Demi menjaga kondisi proses pembelajaran sehingga peran guru di dalam kelas menjadi strategis dan menentukan, ada 4 hal yang perlu menjadi catatan penting bagi seorang guru ;

a.GURU HARUS BERUSAHA MENGESAMPINGKAN EGOISME PRIBADI. Sikap mendikte, tidak peduli terhadap pendapat anak, jarang kompromi saat memutuskan sesuatu yang terkait dengan proses pembelajaran, itu semua menunjukkan bahwa seorang guru mempunyai sikap yang otoriter. Kalau sampai situasi ini dibiarkan, berarti nalar daya kreativitas dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat menjadi terkikis habis. Akibatnya siswa menjadi minder dan takut untuk mengungkapkan keinginan/pendapat. Kesimpulannya : EGOISME GURU, DISADARI ATAU TIDAK, DAPAT MENIMBUN POTENSI ANAK DIDIK BAHKAN MENGERDILKAN JIWANYA.

b.MEMPRIORITASKAN PENGHARGAAN (REWARD) DARIPADA HUKUMAN (PUNISHMENT). Kesalahan anak didik harus diteropong dalam bingkai kepolosan dan ketidaktahuan mereka. Kekeliruan anak didik masih dianggap wajar jika terpaksa kekeliruan itu harus ditukar dengan hukuman selama hukuman itu masih mengindahkan sisi humanitas dan edukatif, bukan malah megedepankan kekerasan.

c.MENCIPTAKAN SITUASI BELAJAR YANG MENYENANGKAN. Guru dituntut untuk cerdas membaca situasi dan pandai melihat suasana pembelajaran guna memastikan proses pembelajaran berjalan dengan baik dan terarah. Guru harus mahir menciptakan suasana gembira yang lepas dan tanpa beban. Hal tersebut bisa diaplikasikan melalui misalnya : pembelajaran di luar kelas. Cara ini cukup efektif saat anak didik merasa jenuh dengan kondisi formalitas kelas. Kegembiraan anak didik dan pendidik menjadi indikasi awal bahwa tujuan pembelajaran akan lebih mudah dicapai.

d.GURU HARUS MENJADI TAULADAN. Perilaku guru menyumbang efek yang dahsyat terhadap perkembangan psikologi anak didiknya. Disamping itu, perilaku guru juga seringkali menjadi referensi paling valid bagi anak didik untuk menjustifikasi setiap perbuatan yang mereka lakukan. Sikap meniru seorang anak dalam mengidentifikasi perilaku guru, menuntut guru untuk ekstra hati-hati dalam berperilaku.



Mitos VS Fakta Mengenai Anak Bermasalah

Para orang tua dan guru yang berbahagia, Kontroversi pemahaman tentang anak sering kali membuat kita yang awam ini merasa bingung; padangan manakah yang benar....? Padahal selama 20 tahun terakhir telah terjadi perubahan padangan yang sangat besar antara para praktisi dan pemerhati pendidikan Sebelum dan Setelah tahun 80-an dalam memandang anak-anak yang bermasalah. Mari kita ketahui apa saja perbedaanya; dan manakah yang mitos dan mana yang lebih dekat pada fakta;


Pandangan Sebelum 80-an yang selanjutnya akan saya sebut sebagai (Mitos) Pandangan setelah 80an yang selanjutnya akan saya sebut sebagai (Fakta)
1 MITOS: Setiap anak dilahirkan berbeda, sebagian besar dalam kondisi normal dan sebagian lagi mengalami kelainan, yang sering dikelompokkan kedalam Learning Disability, Attention Defisit Disorder, Attention Defisit Hiperactive Disorder dan Disleksia FAKTA: Setiap anak dilahirkan berbeda, oleh karenanya memerlukan perlakuan dan cara pembelajaran yang berbeda sesuai dengan ciri-ciri keunikan yang dimilikinya masing-masing. Tidak ada yang disebut kelainan pada anak, yang ada adalah perbedaan cara belajar dan sifat-sifat dasar anak, yang merupakah fitrah alami dari Tuhannya.

2 MITOS:
Setiap Anak Terlahir ada yang Sangat Cerdas, Cerdas dan Kurang Cerdas FAKTA: Setiap anak yang terlahir adalah Cerdas pada bidangnya masing-masing, kecuali anak yang mengalami cacat otak sejak lahir atau karena kecelakaan yang fatal. Namun ada sebagian anak yang dinyatakan cacad sekalipun secara medis masih dapat kembali normal yang memupuk kecerdasaanya hingga menjadi yang terbaik (Ref: He Ah Lee; The Four Fingger Pianist)

3 MITOS:
Kecerdasan yang dimaksud meliputi kemampuan dalam Membaca, Menulis dan Berhitung FAKTA: Kecerdasan bersifat tidak terbatas, Membaca, Menulis dan Berhitung hanyalah salah satu kecerdasan yang disebut berbahasa dan berlogika

4 MITOS: Kecerdasan dapat di ukur melalui tes kecerdasan yang sering disebut dengan Tes IQ. FAKTA: Kecerdasan tidak dapat diukur, melainkan dapat di gali, diamati dan dikembangkan untuk mencapai tingkat maksimum.

5 MITOS:
Kegagalan anak dalam proses belajar disebabkan karena faktor internal anak tersebut dengan kemungkinan menderita kelainan salah satu dari yang disebut LD, ADD atau ADHD. FAKTA: Kegagalan anak dalam proses belajar disebabkan karena faktor ekternal yang berupa ketidakmampuan para pendidik dan orang tua memahami gaya belajar, sifat dasar anak serta teknik-teknik mendidik/mengajar yang sesuai dengan gaya belajar dan sifat dasarnya

6 MITOS: Agar tidak mengalami kegagalan dalam proses belajar maka anak yang dikategorikan sebagai penderita LD, ADD dan ADHD perlu mendapat terapi khusus, yang kerap kali menggunakan obat-obatan yang cukup berbahaya seperti Ritalin (methylphenidate), Dexedrin (dextroamphetamine), Cylert (pemolin), klonidin dan anti depresant lainnya. FAKTA: Agar tidak mengalami kegagalan dalam proses belajar maka orang tua, guru dan pendidik harus belajar dan menguasai teknik mengajar holistik, Tipologi Sifat dasar anak, Gaya Belajar Anak serta Sistem Penilaian yang berbasiskan pada keberagaman kecerdasan masing-masing anak.

7 MITOS: Penilaian lebih difokuskan pada sisi kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing anak yang disebut sebagai “kelainan” pada anak untuk bisa diatasi. FAKTA: Penilaian harus lebih difokuskan pada sisi keunggulan spesifik yang dimiliki anak yang disebut sebagai potensi kecerdasan yang terpendam agar bisa tumbuh menjadi yang terbaik dibidangnya.
8 MITOS: Belajar didefinisikan sebagai kemapuan untuk mengingat kembali informasi yang pernah disampaikan atau berpusat pada kemapuan untuk menghafal secara sama dan seragam. FAKTA: Belajar didefinisikan sebagai proses kreatif yang meliputi Mengetahui, Melakukan, Menganalisa, Menyimpulkan dengan cara dan hasil berbeda sesuai dengan hasil temuan dan pengalaman masing-masing anak..

Para orang tua dan guru yang berbahagia mari kita gunakan Logika dan Nurani kita yang paling dalam untuk menilai pandangan manakah yang menurut anda lebih masuk akal dan lebih memberi peluang sukses bagi anak-anak kita kelak.....! Tentu saja kali inipun anda bebas memilih apakah anda akan memilih pandangan-pandangan yang bersifat mitos atau yang berdasarakan fakta penelitian, dan tentu saja pilihan itu sepenuhnya berada ditangan anda !

(Oleh Ayah Edy – Praktisi Multiple Intelligence & Holistic Learning)

Membangun Kepribadian Islam seorang Anak

Membangun kepribadian Islam seorang anak dapat dilakukan melalui :
1.Pembinaan Aqidah
Cara-cara pembinaan aqidah dapat dilakukan dengan :
•Men-Talqinkan kalimat Tauhid kepada anak.
•Cinta kepada Allah, merasa diawasi Allah, meminta pertolongan Allah, serta beriman kepada Qodha dan Qodar.
•Mencintai Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
•Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak.
•Mendidik keteguhan Aqidah dan siap berkorban untuk mempertahankannya.

2.Pembinaan Ibadah
“ Perintahkanlah keluargamu agar mendirikan shalat dan bersabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, namun justru Kamilah yang memberi rizki kepadamu, dan kesudahan (yang baik) itu adalah orang-orang yang bertakwa “ (Thaahaa : 132).

Pembinaan ibadah merupakan penyempurnaan dari pembinaan aqidah, sebab aqidah memberikan kekuatan bagi aqidah dengan ruhnya. Ia juga merupakan cerminan dari dari aqidah. Masa kanak-kanak bukan merupakan suatu pembebanan atau pemebrian kewajiban, akan tetapi merupakan masa persiapan, latihan dan pembiasaan untuk menyambut masa pembebanan kewajiban (taklif) ketika ia baligh nantinya. Dengan demikan pelaksanaan kewajiban nantinya akan terasa mudah dan ringan.
Rasulullah saw. Memberikan kabar gembira yang besar kepada anak-anak yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah swt. Imam Thabrani meriwayatkan dari Umamah ra. Bahwa ia berkata, Rasulullah saw, bersabda :
“ Tidaklah seoarang anak tumbuh dalam ibadah sampai ajal menjemputnya, melainkan Allah akan memberikan pahala kepadanya setara dengan sembilan puluh sembilan pahala shiddiq (orang benar/jujur).”
Bimbingan Nabi Muhamad saw, dalam pembinaan ibadah anak memfokuskan pada lima pilar yaitu :
1)Shalat
-Periode memerintahkan shalat
Kedua orang tua bisa mulai mebimbing anaknya untuk melakukan shalat dengan cara-cara mengajaknya untuk melakukan shalat disampingnya. Hal ini dimulai ketika sang anak sudah mulai bisa membedakan tangan kanan dan tangan kiri, ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Abdullah Bin Habib bahwa Rasulullah bersabda :
“ Jika seorang anak sudah mengenal dan mampu membedakan tangn kanan dan kirinya maka perintahkan ia untuk melakukan shalat “
Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz Bin Abdullah Bin Habib Al Juhani, bahwa ia meriwayatkan dari Nabi Muhamammad saw. Pernah ia ditanya kapan anak itu mulai diajak melakukan shalat, maka Beliaupun bersabda, “ Jika ia telah mengenal tangan kanan dan kirinya, maka perintahkan untuk menunaikan shalat . “
-Periode pengajaran shalat kepada anak
-Periode memerintahkan shalat dan memukul jika enggan
-Mendidik anak agar menghadiri shalat jamaah
-Memberikan contoh anak dalam hal Qiyanul Lail (shalat malam)
-Membiasakan anak untuk melaksanakan shalat istikharoh
-Menyertakan anak dalam shalat ID (Idul Fitri dan Idul Adha)
2)Anak dan Masjid
3)Puasa
4)Haji
5)Zakat
3.Pembinaan Kemasyarakatan
4.Pendidikan Akhlak
5.Membentuk Jiwa Anak
6.Pembentukkan Fisik Anak
7.Pembentukkan Intelektualitas Anak
8.Pembengunan Kesehatan
9.Meluruskan Dorongan Seksual Anak