er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

ketika Guru Menjadi Belenggu

Kesombongan Guru

Menjadi guru kadang menjadikan kita menjadi pribadi sombong seolah-olah semua ilmu sumbernya dari kita. Buktinya kita secara sadar atau tidak menjadikan diri kita sebagai satu-satunya sumber belajar pada anak dengan pendekatan kita yang membuat anak didik kita tergantung kepada kita. Kita sebgai guru tidak membiarkan mereka untuk bereksplorasi dari berbagai sumber belajar untuk memecahkan masalah anak didik kita. Secara sadar atau tidak kita telah menjadikan diri kita sebagai satu-satunya sumber kebenaran untuk anak didik kita.

Bingkai Guru

Tahukah kita bahwa ilmu pengetahuan dan keterampilan terus berkembang maju kedepan dan ilmu yang kita ajarkan kepada anak didik kita pada saat ini sangat mungkin sudah kadaluarsa mengingat sangat cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada saat sekarang ini. Apa yang terjadi bila kita menjadi bingkai yang membatasi anak didik kita untuk mencari sumber belajar maka anak kita akan menjadi sebuah katak yang terkurung dalam tempurung yang terjajah oleh pola pikir yang diwariskan oleh kita yang mendidiknya sehingga mereka tidak terbuka untuk menerima kebenaran karena tidak memiliki keterampilan untuk mengakses belajar dan kebijaksanaan selain dari kita gurunya yang telah menelikungnya.

Prioritas Pendidikan

Keasyikan kita sebagai guru sebagai sumber ilmu menjadikan kita lebih memfokuskan diri kita menjadi manusia super di depan anak didik kita sehingga semua kebenaran ada di kita, sehingga yang terjadi menjadikan kita fokus untuk menjejali anak didik kita dengan pngetahuan dan keterampilan yang tidak bermakna untuk mereka karena tidak bisa mereka aplikasikan dalam masalah dalam keseharian mereka. Nilai yang mestinya menjadi fokus kita agar mereka mampu menyaring informasi, berkarakter dan mampu untuk mengakses sumber belajar lebih luas ketika kita tidak bersama mereka menjadi hal yang terlewatkan bahkan tidak menjadi prioritas dalam pengajaran kita sehingga jadilah proses KBM hanya sebatas proses pembelajaran bukan proses pendidikan sebagai pewarisan nilai untuk menjadikan anak kita kedepan bisa menghadapi zamannya yang berbeda secara aktual sehingga memerlukan cara berpikir yang berbeda dengan cara berpikir kita sekarang ini.

Hisab diri

Sebagai guru kita perlu untuk menyadari bahwa kita bukan orang yang sudah benar tapi mengikuti kebenaran sehingga menjadikan kita lebih rendah hati untuk tidak menjadikan kita sebgai belenggu dan bingkai untuk anak didik kita, bersabar unuk mereka berproses dan menjadi diri mereka serta fokus terhadap pewarisan nilai mudah-mudahan menjadikan mereka lebih siap menghadapi masa yang jauh lebih komplek dari zaman kita sekarang ini, semoga Allah yang Maha Agung selalu mengingatkan kita dari menjadika diri kita sebagai ?tuhan? untuk anak didik kita. Wallahu a?lam

Tak Sekedar Menjadi Guru

Gu’ dalam bahasa sansekerta berarti kegelapan, dan ‘ru’ berarti menghalau berarti kata ‘guru’ lebih mangacu kepada orang yang menghalau kegelapan serta membawa lebih banyak pemahaman dan pencerahan
guru adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mendidik, mengajar, membimbing mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dalam semua tingkatan dunia pendidikan (tingkat dasar, menengah dan tinggi) baik formal maupun non formal

Arti Guru
Makna kata guru dalam wikipedia adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia guru adalah orang yg pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar;
Dalam pasal 1 Undang-undang No. 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”
Menurut Noor Jamaluddin (1978: 1) Menurutnya guru adalah pendidik yang mempunyai tugas mengoraganisir pelaksanaan interaksi belajar-mengajar di suatu kelas atau pada waktu kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Dalam khazanah pendidikan didaerah timur tengah, istilah guru dikenal dengan banyak istilah disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabbiy, mudarris, dan mu’addib.
Ustadz mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Mu’allim mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, serta menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya, dan berusaha membangkitkan peserta didik untuk mengamalkannya. Murabbiy yang menjadikan tugas guru adalah mendidik dan dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi. sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mursyid Kata mursyid biasa digunakan untuk guru dalam Thariqah atau kelompok aliran agama yang menganut faham dan mazhab tertentu. Mudarris guru adalah berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat. minat dan kemampuannya. Mu’addib menjadikan guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkuaiitas di masa depan.
Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa guru adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mendidik, mengajar, membimbing mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dalam semua tingkatan dunia pendidikan (tingkat dasar, menengah dan tinggi) baik formal maupun non formal.

Bukan Sekedar Guru

Bila kita melihat pengertian diatas maka menjadi seorang guru pada umumnya tidak ada yang mengatakan sebagai pekerjaan tercela, namun yang perlu menjadi catatan kita adalah guru pada pengertian diatas hendaknya bukan sebagai lilin yang menerangi orang sekitarnya tapi membakar dirinya sendiri. Posisi guru semestinya sebagai posisi setiap orang yang ingin menambah terus khazanah kebaikannya karena tidak mungkin bertambah amalan bila kita hanya mengandalkan amalan kita sendiri, tapi denganmenjadi guru amalan kita bertambah dengan menunjuki anak didik kita kepada kebaikan sehingga bila dia menjalankan kebaikan itu maka kita akan mendapatkan amal saleh yang terus mengalir tiada henti, terlebih bila kebaikan itu terus disampaikan kepada generasi berikutnya lagi. Semoga amalan kita sebagai guru bukan sekedar guru tapi jadi amal saleh untuk bekal kita dikemudian hari. Wallahu a’lam.

Eliminasi Kecemburuan Guru

Selama ini ada kesepakatan tak tertulis antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi nasional yang menghimpun guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan metode meningkatkan kesejahteraan beriringan dengan peningkatan keprofesionalan para guru itu sendiri.
Di dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, atau yang lazim disebut Undang-Undang Guru, disebutkan bahwa keprofesionalan guru akan ditingkatkan, antara lain, ke depan harus berpendidikan minimal sarjana pendidikan, menguasai kompetensi pedagogik, menguasai kompetensi profesional, dan sebagainya. Di sisi yang lain, guru yang profesional berhak menerima kesejahteraan lebih, antara lain, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan tunjangan khusus.

Dalam realitas sekarang ini, memang terlihat ada usaha guru untuk meningkatkan keprofesionalannya meski dengan upaya yang berat dan memerlukan dana, misalnya, guru yang belum berpendidikan sarjana segera menempuh S-1, guru yang jarang berseminar mulai rajin berseminar, dan sebagainya.

Tunjangan Profesi
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Guru bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih, dsb (Pasal 1), yang pengakuan keprofesionalannya dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Pasal 2), maka pemerintah pun segera menyelenggarakan proses sertifikasi pendidik. Dalam konteks guru, proses sertifikasi pendidik itu berlaku bagi semua guru yang mengajar di semua jenjang dan satuan pendidikan dari TK dan RA s/d SMK dan MAK.

Guru yang lolos sertifikasi dan mendapatkan sertifikat pendidik diberi tunjangan profesi yang besarnya minimal 1,5 juta rupiah. Angka ini relatif tinggi bagi kebanyakan guru di Indonesia, terutama bagi guru swasta. Seorang guru SMA negeri di Kediri sangat senang menerima tunjangan profesi yang nilainya sekitar Rp 2 juta meski penghasilannya di atas Rp 5 juta. Demikian pula seorang guru SMP swasta di Prigen, Pasuruan, gembira bukan kepalang karena menerima tunjangan profesi yang nilainya sekitar empat kali lipat gaji yang diterima setiap bulan.

Tunjangan profesi memang bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga guru. Itulah sebabnya, tidak ada seorang pun di antara ribuan guru yang kami temui dari seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak senang menerima tunjangan profesi.
Pemberian tunjangan profesi bagi guru memang positif, tetapi bukan tanpa masalah. Masalah yang kini sedang melilit sekolah (dan madrasah) adalah pemberian tunjangan profesi yang tidak merata. Realitasnya, di suatu sekolah terdapat sebagian guru yang sudah mendapatkan tunjangan profesi dan sebagian tidak mendapatkannya. Jangankan mendapatkan tunjangan profesi, mendapatkan giliran diikutkan sertifikasi saja belum pernah.

Keadaan tersebut menimbulkan kecemburuan di antara para guru yang ujung-ujungnya menurunkan produktivitas pembelajaran. Ketika di sekolah ada kerjaan, maka guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi menjadi malas mengerjakannya. Mereka merasa pekerjaan itu seharusnya dikerjakan teman-temannya yang sudah mendapatkan tunjangan profesi. Demikian juga kalau kepala sekolah atau kepala dinas meminta guru meningkatkan kinerja pengajarannya, guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi kurang bergairah untuk melaksanakannya.

Kecemburuan pun makin memuncak ketika para guru yang menerima tunjangan profesi menggencarkan tuntutan agar nilai tunjangannya dinaikkan seiring dengan naiknya gaji tanpa memedulikan rekannya yang belum mendapatkan tunjangan tersebut.
Pendek kata, para guru yang belum menerima tunjangan profesi merasa menjadi warga sekolah kelas dua setelah guru yang sudah menerima tunjangan profesi. Di sekolah-sekolah swasta tertentu, bahkan, guru yang sudah menerima tunjangan profesi dikucilkan karena dianggap sebagai ”anak emas pemerintah” yang berkurang kadar keswastaannya. Ini semua tentu menurunkan produktivitas pembelajaran di sekolah.

Peran Pemerintah
Kecemburuan antarguru tersebut kiranya wajar saja. Bahwa di dalam realitasnya telah menurunkan produktivitas pembelajaran, itu harus segera diatasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, peran pemerintah sangat diperlukan.

Munculnya kecemburuan antarguru sebenarnya disebabkan belum meratanya pemberian tunjangan profesi. Belum meratanya pemberian tunjangan profesi disebabkan terbatasnya anggaran pendidikan. Terbatasnya anggaran pendidikan disebabkan belum terpenuhinya tuntutan minimal anggaran di satu sisi dan relatif tingginya kebocoran anggaran di sisi lain. Jadi, untuk meratakan tunjangan profesi bagi para guru, pemerintah harus berani mengalokasikan tuntutan minimal anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD sebagaimana ditulis dalam UUD 1945 dan UUD Sisdiknas dan segera membayarkannya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tempo hari.
Secara teknis, Departemen Pendidikan harus pandai menekan kebocoran baik kebocoran yang disebabkan adanya kesalahan perencanaan (misplaning) maupun adanya ulah manusia yang berupa korupsi.

Untung, sampai sekarang para guru kita masih baik hati. Mereka cukup menunjukkan sikap cemburu terhadap rekan-rekannya yang sudah menerima tunjangan profesi. Meski demikian kecemburuan tersebut harus segera dieliminasi.
Hal itu menjadi bahan renungan bersama bagi Depdiknas dan PGRI yang telah bersepakat meningkatkan kesejahteraan dan keprofesionalan guru tanpa menimbulkan kecemburuan.

Oleh Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd
Anggota Dewan Kehormatan Guru Indonesia dan direktur Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa Jogjakarta

Ditunggu, Kontribusi Positif Guru

Saat ini, lembaga-lembaga pendidikan guru masih berkutat dengan konsep dan proses-proses pembelajaran yang belum mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan (old fashion). Untuk itu, di antara berbagai permasalahan yang dihadapinya, baik di sekolah atau di rumah, mulai dari kebijakan pemerintah dan sekolah sampai urusan di dapur, guru tetap harus memikirkan sesuatu untuk memberikan kontribusi yang positif ke berbagai pihak.

Guru harus membuat anak didiknya berpikir bahwa di sekitarnya ada orang lain, sehingga mereka merasa wajib menjaga kelangsungan dunia ini.
– Paulina Pannen

Demikian diungkapkan Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidkan (STKIP) Kebangkitan Bangsa atau Sampoerna School of Education (SSE) Paulina Pannen tentang visi dan misi digelarnya Kongres Guru Indonesia (KGI) 2010.

Untuk itu, kata Paulina, kongres tersebut membawa tiga misi penting, yang diharapkan mampu memperkuat komitmen guru untuk bisa memberikan kontribusi positifnya ke berbagai pihak.

“Pertama, kita ingin, guru yang memang benar-benar sebagai praktisi di lapangan itu bisa menyadarkan kita semua, bahwa segala perubahan harus disikapi secara sistematik oleh berbagai pihak,” ucap Paulina kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (19/5/2010).
Kedua, kata dia, guru perlu menyadarkan semua pihak, bahwa perubahan yang diharapkan itu bertujuan untuk pembangunan yang berkelanjutan. “Kita, di dunia pendidikan saat ini, tak bisa lagi memikirkan hari ini, tetapi juga hari esok,” tambahnya.

Menjadi guru, sejatinya, adalah untuk masa depan anak-anak sebagai para calon pemimpin bangsa. Guru tak bisa lagi egois mencekoki anak-anak didiknya untuk mengejar nilai, tetapi harus bisa mendukung mata rantai kehidupannya, kelak.

“Artinya, anak didik kita harus mampu berpikir bahwa di sekitarnya ada orang lain, sehingga mereka akan merasa wajib menjaga kelangsungan dunia ini,” kata Paulina.
Di antara berbagai permasalahan yang dihadapinya, baik di sekolah atau di rumah, mulai dari kebijakan pemerintah dan sekolah sampai urusan di dapur, guru tetap harus memikirkan sesuatu untuk memberikan kontribusi yang positif ke berbagai pihak, baik itu terhadap lembaga guru, pemerintah, sekolah, dan semuanya.

Guru sudah berusaha berbuat banyak untuk menghadapi perubahan itu meskipun belum maksimal. Ke depan, tugas dan kewajiban guru memang kian berat.
Kompas.com

"Peranan Guru"

Guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar dan pendidik, maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan. Secara teoritis dalam peningkatan mutu pendidikan guru memilki peran antara lain :
a. Sebagai salah satu komponen sentral dalam system pendidikan,

b. Sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam suatu instansi pendidikan (sekolah maupun kelas bimbingan)

c. Penentu mutu hasil pendidikan dengan mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya diri, disiplin, dan bertnggung jawa.

d. Sebagai factor kunci, mengandung arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan untuk mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan

e. Sebagai pendukung serta pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan meneruskan estafet pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan nasional serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang semakin spektakuler

f. Sebagai pelayan kemanusiaan di lingkungan masyarakat

g. Sebagai pemonitor praktek profesi

3 Sifat Utama Anak

Dalam mendidik anak, tidak hanya cukup hanya dengan dicukupi materinya saja. Perhatian dan kasih sayang dari orang tua mutlak dibutuhkan oleh sang anak. Terutama pada usia-usia Pra Sekolah sampai usia MI/SD. Peran serta orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk karakter sang anak. Bahkan tak jarang sang anak sengaja membuat atau berbuat kenakalan hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang dewasa. Nah untuk mengatasi kenakalan anak tersebut perlu diketahui beberapa sifat utama anak.
Sifat utama anak inilah yang dapat dimanfaatkan untuk mendidik anak dan mengarahkan anak sehingga dapat mematuhi nasehat maupun menuruti ajaran guru dan orang tua. Sifat-sifat utama tersebut akan kami paparkan berikut ini :

a. Dorongan Imitasi, yaitu dorongan untuk meniru perbuatan atau kebiasaan orang lain. Dorongan atau daya meniru ini terdapat dalam setiap anak. Daya – daya itu sedemikian kuatnya sehingga banyak hal yang dipelajari. Misalnya saja ketika anak melihat Ibu sedang memandikan bayi, maka iapun meniru memandikan bonekanya. Dari dorongan inilah anak – anak memperoleh sebagian besar pelajaran yang dipelajarinya. Dan dorongan meniru merupakan sarat yang dapat memperkuat kepatuhan.
b. Dorongan Identifikasi, yaitu dorongan untuk menyamakan diri atau merasa sama dengan orang lain. Dorongan identifikasi ini juga sangat kuat dalam diri anak. Anak umumnya akan menyamakan dirinya dengan ayah ibunya. Apa yang dianggap bagus oleh ayah ibunya, anakpun akan menganggapnya bagus. Anak juga akan merasa sedih jika melihat orang tuanya berduka cita. Hubungan antara anak dengan orang tuanya yang dibangun berdasarkan identifikasi sangat berguna untuk menambah kepatuhan.
c. Sugestibel, yaitu sifat anak yang mudah dipengaruhi, lebih mudah dari orang dewasa. Anak – anak mempunyai daya pikir yang belum berkembang. Pemikiran mereka masih sederhana. Oleh sebab itu mereka mempunyai kepercayaan yang bulat terhadap orang tuanya ataupun gurunya. Kepercayaan yang bulat ini menjadi alat penolong untuk menganjurkan ia menjadi anak yang patuh. Sugesti merupakan cara yang terbaik untuk menyuruh anak agar menurut, namun jika anak sudah besar dan daya pikirnya sudah berkembang maka ia tidak lagi percaya pada kata – kata sugesti.