Eliminasi Kecemburuan Guru
Di dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, atau yang lazim disebut Undang-Undang Guru, disebutkan bahwa keprofesionalan guru akan ditingkatkan, antara lain, ke depan harus berpendidikan minimal sarjana pendidikan, menguasai kompetensi pedagogik, menguasai kompetensi profesional, dan sebagainya. Di sisi yang lain, guru yang profesional berhak menerima kesejahteraan lebih, antara lain, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan tunjangan khusus.
Dalam realitas sekarang ini, memang terlihat ada usaha guru untuk meningkatkan keprofesionalannya meski dengan upaya yang berat dan memerlukan dana, misalnya, guru yang belum berpendidikan sarjana segera menempuh S-1, guru yang jarang berseminar mulai rajin berseminar, dan sebagainya.
Tunjangan Profesi
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Guru bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih, dsb (Pasal 1), yang pengakuan keprofesionalannya dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Pasal 2), maka pemerintah pun segera menyelenggarakan proses sertifikasi pendidik. Dalam konteks guru, proses sertifikasi pendidik itu berlaku bagi semua guru yang mengajar di semua jenjang dan satuan pendidikan dari TK dan RA s/d SMK dan MAK.
Guru yang lolos sertifikasi dan mendapatkan sertifikat pendidik diberi tunjangan profesi yang besarnya minimal 1,5 juta rupiah. Angka ini relatif tinggi bagi kebanyakan guru di Indonesia, terutama bagi guru swasta. Seorang guru SMA negeri di Kediri sangat senang menerima tunjangan profesi yang nilainya sekitar Rp 2 juta meski penghasilannya di atas Rp 5 juta. Demikian pula seorang guru SMP swasta di Prigen, Pasuruan, gembira bukan kepalang karena menerima tunjangan profesi yang nilainya sekitar empat kali lipat gaji yang diterima setiap bulan.
Tunjangan profesi memang bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga guru. Itulah sebabnya, tidak ada seorang pun di antara ribuan guru yang kami temui dari seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak senang menerima tunjangan profesi.
Pemberian tunjangan profesi bagi guru memang positif, tetapi bukan tanpa masalah. Masalah yang kini sedang melilit sekolah (dan madrasah) adalah pemberian tunjangan profesi yang tidak merata. Realitasnya, di suatu sekolah terdapat sebagian guru yang sudah mendapatkan tunjangan profesi dan sebagian tidak mendapatkannya. Jangankan mendapatkan tunjangan profesi, mendapatkan giliran diikutkan sertifikasi saja belum pernah.
Keadaan tersebut menimbulkan kecemburuan di antara para guru yang ujung-ujungnya menurunkan produktivitas pembelajaran. Ketika di sekolah ada kerjaan, maka guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi menjadi malas mengerjakannya. Mereka merasa pekerjaan itu seharusnya dikerjakan teman-temannya yang sudah mendapatkan tunjangan profesi. Demikian juga kalau kepala sekolah atau kepala dinas meminta guru meningkatkan kinerja pengajarannya, guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi kurang bergairah untuk melaksanakannya.
Kecemburuan pun makin memuncak ketika para guru yang menerima tunjangan profesi menggencarkan tuntutan agar nilai tunjangannya dinaikkan seiring dengan naiknya gaji tanpa memedulikan rekannya yang belum mendapatkan tunjangan tersebut.
Pendek kata, para guru yang belum menerima tunjangan profesi merasa menjadi warga sekolah kelas dua setelah guru yang sudah menerima tunjangan profesi. Di sekolah-sekolah swasta tertentu, bahkan, guru yang sudah menerima tunjangan profesi dikucilkan karena dianggap sebagai ”anak emas pemerintah” yang berkurang kadar keswastaannya. Ini semua tentu menurunkan produktivitas pembelajaran di sekolah.
Peran Pemerintah
Kecemburuan antarguru tersebut kiranya wajar saja. Bahwa di dalam realitasnya telah menurunkan produktivitas pembelajaran, itu harus segera diatasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, peran pemerintah sangat diperlukan.
Munculnya kecemburuan antarguru sebenarnya disebabkan belum meratanya pemberian tunjangan profesi. Belum meratanya pemberian tunjangan profesi disebabkan terbatasnya anggaran pendidikan. Terbatasnya anggaran pendidikan disebabkan belum terpenuhinya tuntutan minimal anggaran di satu sisi dan relatif tingginya kebocoran anggaran di sisi lain. Jadi, untuk meratakan tunjangan profesi bagi para guru, pemerintah harus berani mengalokasikan tuntutan minimal anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD sebagaimana ditulis dalam UUD 1945 dan UUD Sisdiknas dan segera membayarkannya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tempo hari.
Secara teknis, Departemen Pendidikan harus pandai menekan kebocoran baik kebocoran yang disebabkan adanya kesalahan perencanaan (misplaning) maupun adanya ulah manusia yang berupa korupsi.
Untung, sampai sekarang para guru kita masih baik hati. Mereka cukup menunjukkan sikap cemburu terhadap rekan-rekannya yang sudah menerima tunjangan profesi. Meski demikian kecemburuan tersebut harus segera dieliminasi.
Hal itu menjadi bahan renungan bersama bagi Depdiknas dan PGRI yang telah bersepakat meningkatkan kesejahteraan dan keprofesionalan guru tanpa menimbulkan kecemburuan.
Oleh Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd
Anggota Dewan Kehormatan Guru Indonesia dan direktur Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa Jogjakarta
0 komentar:
Posting Komentar