er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Tetaplah Bersinar wahai Guruku

Saat ini, perkembangan negara Indonesia di bidang pendidikan belum mampu sejajar kualitasnya dengan negara-negara berkembang. Sangat membutuhkan waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) bagi bangsa Indonesia untuk mengejar ketertinggalan. Ketertinggalan ini, disebabkan oleh beberapa faktor pemicu yang menyebabkan bangsa kita menjadi terbelakang. Salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang ada, yaitu kurangnya tenaga pendidik (guru) yang profesionalitas tinggi. Guru tersebut adalah guru yang profesional dalam mengajar, mendidik, membimbing, dan mengembangkan kemampuan para siswanya, serta memiliki kepribadian yang pantas digugu dan ditiru. Apa jadinya penerus bangsa ini, jika para pendidiknya kurang profesional? Jawabannya, tentu generasi penerus bangsa yang akan datang nantinya, justru akan tambah semrawut dan hanya menjadi sampah negara ini.
Ada beberapa celah atau kesalahan-kesalahan yang ada pada seorang pendidik (guru) yang dianggap remeh atau hal kecil, tapi kenyataannya sangat berbahaya dan berdampak buruk bagi para siswa.

Pertama, niat seseorang untuk menjadi seorang guru biasanya bukan untuk mengajar dan mendidik siswanya saja, melainkan pada hal-hal yang lain. Misalnya, ada seorang guru berniat, “Yang penting ngajar! Mau siswa itu mengerti atau tidak, itu terserah!!! Yang penting dompet saya tetap terisi setiap bulannya.” Kalau niat seorang guru seperti ini, tentu saja guru tersebut mengajar dengan cara yang sembarangan atau asal-asal saja, tanpa memikirkan apakah siswa memahami materi pelajaran yang diajarkannya.
Dari niat seorang guru di atas, apakah tipe guru semacam ini pantas dijadikan seorang guru? Jawabanya tentu tidak, karena hanya akan merugikan pemerintah, terlebih-lebih siswa yang menjadi generasi penerus bangsa. Apabila tenaga pendidiknya tidak profesional, bagaimana peserta didiknya bisa profesional? Tentu, peserta didik atau generasi penerus bangsa sangat sulit dijadikan manusia-manusia yang handal di masa depan nantinya. Maka dari itu, niat buruk seperti ini, haruslah dibuang jauh-jauh. Tidaklah pantas jika seorang guru berniat seperti itu. Apalah artinya guru tersebut kalau niatnya serupa itu. Sungguh tidak ada artinya sama sekali. Penulis sebagai siswa sangat mengharapkan, bahwa jika masih ada tipe guru semacam ini, hendaknya guru tersebut meluruskan kembali niatnya, yaitu dengan niat yang baik, niat yang semata-mata karena Allah SWT. Apabila niat kita bagus, maka setiap perbuatan yang kita lakukan akan bernilai ibadah, dan Insya Allah membawa keberhasilan yang memuaskan.

Kedua, Di setiap sekolah tidak jarang kita temukan guru yang over galak atau biasa disebut “Guru Killer”. Sebuah sebutan guru killer, tentu tidak asing lagi bagi kita. Guru killer yaitu guru yang baru dilihat dari wajahnya saja nampak menakutkan, belum lagi sifatnya yang kejam dan sering marah-marah, serta kurang bercanda (menghibur) siswanya. Dalam pembelajaran di kelas, tentu siswa pada umumnya akan merasa tertekan dan tegang dalam menerima pelajaran, dan sudah dipastikan, ini akan membawa dampak yang buruk pada siswa. Bisa saja selama pelajaran berlangsung di kelas, siswa akan keringat dingin dan kaku atau canggung dalam bertindak, sehingga siswa tidak bisa aktif dalam proses pembelajaran tersebut. Guru yang bersikap seperti ini, juga sulit dijadikan media curhat bagi siswa-siswanya karena kurangnya keakraban antara keduanya.

Memang dalam pandangan kita bahwa kalau guru yang bersifat lemah lembut itu, banyak siswa yang pandang enteng. Tapi, haruskah seorang guru bersikap killer agar dipatuhi oleh siswa-siswanya?

Guru tidak semestinya bersikap killer karena seorang guru yang killer, malah akan menyulitkan perkembangan berpikir para siswanya. Apalagi bagi siswa yang memiliki IQ yang rendah, pastinya sangat sulit memahami materi yang diajarkannya. Maka dari itu, guru harus menghilangkan sifat killernya. Guru juga harus dapat menempatkan dan memunculkan emosinya pada waktu-waktu yang tepat. Misalnya apabila ada siswa yang berperilaku tercela, maka sebuah hukuman memang pantas diberikan kepada siswa yang bersangkutan, agar siswa tersebut tidak mau mengulangi perbuatannya lagi. Dalam menghukum siswa, seorang guru tidak diperbolehkan memukul siswanya dengan cara yang berlebihan atau sampai berdarah-darah, itu hanya akan membuat siswa tersebut menjadi dendam kepada gurunya. Hendaknya guru memukul siswanya dengan tujuan mendidik. Seorang guru juga hendaknya memberi petuah-petuah, motivasi-motivasi dan memberi tambahan ilmu agama, hingga siswanya bisa sadar akan perbuatan yang dilakukannya salah dan berkeinginan mau merubahnya.

Sifat killer, dapat diubah oleh guru menjadi pribadi yang bersikap “tegas” dalam bertidak dan “ramah” kepada siswanya. Sebab, jika seorang guru itu killer, maka akan ditakuti oleh siswanya, sedangkan jika seorang guru itu terlalu lemah lembut, maka guru tersebut akan dipandang enteng oleh siswanya. Jadi, penyatuan antara sifat kekerasan dan kelemahlembutan yaitu sifat “ketegasan”.

Ketiga, guru seharusnya memperhatikan soft-skill yang ada pada diri siswa. Soft-skill merupakan kemampuan (kecakapan) seorang siswa yang tersembunyi atau tidak nampak, yang mana guru kurang memperhatikan aspek penilaian ini. Saat ini, kebanyakan para guru menilai siswa hanya pada aspek daya pikir (kepintaran)-nya saja. Padahal, seharusnya bukan hanya aspek tersebut, melainkan juga penilaian pada aspek soft-skill yang ada pada setiap siswa. Ini sering kali dianggap remeh oleh para guru, padahal aspek ini sangat penting. Aspek ini juga dapat membantu siswa yang memiliki IQ yang rendah. Bila ada siswa tidak mampu bersaing dalam hal daya pikir, maka siswa tersebut dapat lebih meningkatkan kerajinan dan sifat-sifat terpuji lainnya, karena akan menjadi penilaian bagi gurunya.

Seorang guru yang menilai siswanya melalui ujian tulisan, belum tentu siswa tersebut dapat mengerjakan ujiannya itu dengan hasil jerih payahnya sendiri. Bisa saja siswa itu menyontek tanpa sepengetahuan gurunya. Maka dari itu, aspek soft-skill lebih penting dan lebih bagus dari pada aspek lainnya, karena guru dapat memantau dan menilai langsung perilaku keseharian siswanya di sekolah. Aspek soft-skill ini akan memunculkan psikomotor (keaktifan) siswa pada umumnya. Contohnya, siswa banyak bertanya, memperhatikan gurunya sementara mengajar, tidak gaduh di dalam kelas, seringkali menolong gurunya ketika membutuhkan pertolongan, mengerjakan tugas dengan baik dan lain-lain. Dari perilaku yang penulis sebutkan tadi, itulah contoh-contoh soft-skill yang ada pada siswa. Contoh lainnya lagi yaitu, Misalnya, Dalam proses pembelajaran di kelas, bila ada siswa dengan kesediaannya sendiri, mau menghapus papan tulis, maka hendaknya guru memberikan nilai plus untuk siswa tersebut, karena jarang ada siswa yang mau dengan kesediaannya sendiri melakukan tindakan tersebut.

Keempat, Indonesia terkenal dengan ketidakdisiplinannya. Mengapa sifat ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagi bangsa kita? Memang sangat sulit untuk berperilaku disiplin, tapi bagi orang yang sudah terbiasa disiplin, tentu aktivitas yang sering dilakukannya sangat disukainya.

Kedisiplinan sangat erat dengan ketepatan waktu seseorang dalam bertindak. Orang yang disiplin, baginya hidup sangat bermakna. Sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia, dan pastinya orang yang disiplin hidupnya akan sukses. Begitu pula pada tenaga pendidik atau guru, hendaknya seorang guru berperilaku disiplin dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Misalnya, masuk di kelas tepat pada waktunya, ketika hendak mengajar siswanya. Ini penting untuk menghindari keterlambatan materi pelajaran. Pada umumnya di setiap sekolah, selalu ada saja keterlambatan suatu materi. Inilah yang membuat siswa kurang menguasai materi pelajaran pada jenjang yang di tempuhnya, sehingga ketika melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, daya pikir serta mental siswa kurang mampu menghadapi sulitnya materi pelajaran tersebut. Dalam hal ini, berarti siswa dirugikan. Maka dari itu, mulai dari sekarang, kedisiplinan seorang guru sangat dibutuhkan. Bila ada guru yang belum berperilaku seperti ini, maka belajarlah sedikit demi sedikit, berusaha bagaimana kita bisa mengatur aktivitas-aktivitas kita sesuai waktunya, karena bila cara hidup kita disiplin, maka hidup kita akan teratur dan terasa bermakna.

Kelima, seorang guru tidak boleh marah atau tersinggung bila mendapatkan kritik dari orang lain. Bagaimana guru tersebut bisa lebih baik, kalau ia tidak bisa menerima kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh orang lain untuknya., termasuk juga kritikan dari siswa. Dalam artian guru harus bersikap open mind (terbuka pikirannya). Guru semestinya menanyakan langsung seberapa baik ia mengajar kepada siswa. Misalnya, menanyakan hal-hal apa saja yang tidak sukai oleh para siswanya akan diri pribadinya dan sikap apa saja yang dimiliki guru untuk diperbaiki ke arah yang lebih baik.

Biasanya ketika guru melontarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada siswanya, siswa hanya membungkam karena takut mengkritiki gurunya. Dalam diri pribadi siswa, mereka menganggap kalau mereka mengkritiki gurunya, takutnya terjadi sesuatu mengenai dirinya, seperti takut ‘dikancing nilainya lah”, dicap sebagai siswa yang ‘jeleklah’, dan lain sebagainya.
Jika anggapan siswa seperti ini, maka berarti siswa tidak bersikap kritis terhadap apa yang mereka tidak sukai . Maka dari itu, jika seorang guru meminta para siswanya mengkritikinya, hendaknya siswa juga berani mengungkapkannya Jika siswa tidak berani mengucapkan secara lisan, siswa juga bisa melakukannya dalam bentuk tulisan dan bila perlu tanpa menantumkan namanya. Tujuan dari pengeritikan ini, bukan berarti untuk menjelek-jelekkan dan melecehkan para guru, akan tetapi pengeritikan ini tujuannya, yaitu demi perbaikan gurunya ke arah yang lebih baik. Seorang guru hendaknya juga selalu menerima kritikan-kritikan dari pihak manapun, karena seseorang yang ingin maju dan menjadi profesional yaitu orang yang mau menerima kritikan dan masukkan dari orang lain, tentu yang sifatnya lebih memajukan diri kita.

Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


Guru menjadi ujung tombak dalam pembangunan pendidikan nasional. Utamanya dalam membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal.

Guru profesional dan bermartabat menjadi impian kita semua karena akan melahirkan anak bangsa yang cerdas, kritis, inovatif, demokratis, dan berakhlak. Guru profesional dan bermartabat memberikan teladan bagi terbentuknya kualitas sumber daya manusia yang kuat. Sertifikasi guru mendulang harapan agar terwujudnya impian tersebut. Perwujudan impian ini tidak seperti membalik talapak tangan. Karena itu, perlu kerja keras dan sinergi dari semua pihak yakni, pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan guru.

Perbedaan guru yang tegas dan galak

Jika bicara mudahnya mengajar dan mengendalikan guru di kelas, ada banyak guru yang masih setuju bahwa cara yang paling mudah adalah jadilah guru yang galak. Mudah-mudahan anda bukan termasuk guru yang mengambil jalan pintas seperi itu. Tegas dan galak jelas berbeda, dan untuk anda saya sajikan bedanya.

Guru Galak


* bernapas pendek-pendek
* bermuka tegang dan kaku
* tidak percaya diri
* tidak tahu harus mengajar apa yang menarik bagi siswa.
* cepat terpancing marah oleh ucapan siswa, bahkan dari anak dibawah umur
* cemberut
* mudah dan ringan mengancam
* lupa tersenyum
* berusaha jadi orang lain
* tidak menjadi diri sendiri
* menganggap yang galak adalah yang berwibawa
* mengajar hanya dengan metode ceramah, lalu marah berat jika ada siswa yang tidak memperhatikan
* senang nya ceramah bukan bercerita
* menasihati dan memotivasi dengan menyindir
* menganggap semua yang siswa lakukan menyinggung pribadi guru
* pilih kasih
* minta dihormati berlebihan, apapun yang ia lakukan

Guru yang Tegas

* Melihat masalah dari dua sisi
* tidak terjebak pada label, siswa A nakal, siswa B baik
* adil
* bicara dalam bahasa yang jelas saat menegur siswa
* bertanya pada siswa saat ada masalah dan tidak menasihati dengan menceramahi
* pandai mengatur jarak pada siswa, kapan mesti menjadi guru dan kapan menjadi mitra belajar
* sadar bahwa rasa hormat dari siswa didapat dengan konsistensi, pembuktian dan rasa saling percaya
* berlaku sopan pada siswa, karena ia yakin siswa akan berlaku hal yang sama padanya.
* tidak mudah mengancam, tapi jika mengancam memberikan sangsi sesuai peraturan maka akan ia laksanakan

Peran Guru Dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa

Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.

Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.

Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.
• Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
• Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.

Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.

Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.

Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:

1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.

2. Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.

3. Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.

4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.

5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.

6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.

7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran

Nilai-nilai Ajaran Islam sebagai Landasan Pendidikan

Mengingat begitu pentingnya aspek pendidikan terhadap manusia, maka setiap usaha pendidikan sebaiknya dilandasi oleh nilai-nilai ideal (Ideal core values) dan berlaku secara umum (General Pattern).Dasar nilai-niai ideal itu harus merupakan sumber kebenaran dan kekuatan yag dapat mengantarkan pada apa yang dicita-citakan. Dasar tersebut harus merupakan standar nilai yang dapat mengevaluasi kegiatan yang berjalan. Dalam Persfektif Islam pandangan hidup yang mendasari seluruh proses pendidikan Islam adalah pandangan hidup yang islami, yang merupakan nilai-niai luuhur yang bersifat transendental, eternal dan universal.
Berikut kutipan ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan pijak pelaksanaan pendidikan Islam, sebagai Ideal Core Values:
QS. Ali Imran : 110, yang artinya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.( QS. Ali Imran: 110)

Mengapa Manusia Membutuhkan Pendidikan?

Mengapa manusia membutuhkan pendidikan? Jika merujuk pada definisi yang dipahami, maka kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan sebuah kebutuhan primer. Herbert Spencer, seperti dikutip dari Jumransyah, mengemukakan bahwa pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk hidup sempurna.[1]

Kebutuhan manusia terhadap pendidikan merupakan kebutuhan asasi dalam rangka mempersiapkan setiap insan sampai pada suatu tingkat di mana mereka mampu menunjukkan kemandirian yang bertanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Dalam konteks ini, pendidikan melatih manusia untuk memiliki tingkat penyesuaian diri yang baik dalam berinteraksi dengan lingkungan (baik dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan alam). Prof.John S.Brubacher, mengemukakan: bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses penyesuaian diri secara timbal balik dari seseorang dengan manusia lainnya dan dengan lingkungannya.[2]

Dari ungkapan Brubacher tadi, jelas bahwa dengan adanya penyesuaian-penyesuaian tersebut akan membawa manusia kepada terbentuknya suatu kemampuan dan peningkatan kapasitas individual yang secara perlahan menunjukkan adanya perubahan-perubahan. Dalam konteks pendidikan, perubahan-perubahan tersebut merupakan proses yang terjadi pada potensi yang telah ada, untuk selanjutnya menjadi nyata, berkembang dan menjadi lebih baik.

Sejalan dengan pendapat di atas, M.J.Adler, mengemukakan bahwa pendidikan pada manusia bertujuan untuk melatih dan membiasakan manusia sehingga potensi, bakat dan kemampuannya menjadi lebih sempurna.[3] Ini menggambarkan bahwa manusia membutuhkan pendidikan untuk menjadikan manusia lebih baik, lebih maju dan lebih sempurna.

Berbagai pendapat yang mengemukakan kebutuhan manusia akan pendidikan yang telah dikemukakan di atas, bermuara pada satu pandangan bahwa melalui pendidikan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk yang paling sempurna, dari sebelumnya hanya memiliki potensi (yang belum memiliki arti apa-apa), tetapi dengan pendidikan mereka berkembang menjadi lebih sempurna dan terus menyempurnakan diri. Firman Allah dalam QS. An-Nahl: 78

Terjemahnya:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Firman Allah Swt., di atas menggambarkan keadaan manusia yang belum tahu apa-apa (karena hanya memiliki potensi), tetapi dengan belajar dari mendengar, belajar dari mengalami, belajar dari apa yang mereka lihat, dan dengan menggunakan kekuatan akal, pikiran dan hati, manusia kemudian menjadi paham, mengerti dan memahami. Pendidikan menjadikan semua potensi manusia berkembang dengan baik.

[1]Jumransyah dan Abdul Malik KA., Pendidikan Islam, Menggali “tradisi” Mengukuhkan Eksistensi,cet.1, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h.12

[2] John S.Brubacher, Modern Philosophies of Education, 4th edition (New Delhi, Tata Mc Grow Hill Publishing Company Ltd., 1981), h. 371

[3] Jumramsyah, op.cit., h.14