Tetaplah Bersinar wahai Guruku
Ada beberapa celah atau kesalahan-kesalahan yang ada pada seorang pendidik (guru) yang dianggap remeh atau hal kecil, tapi kenyataannya sangat berbahaya dan berdampak buruk bagi para siswa.
Pertama, niat seseorang untuk menjadi seorang guru biasanya bukan untuk mengajar dan mendidik siswanya saja, melainkan pada hal-hal yang lain. Misalnya, ada seorang guru berniat, “Yang penting ngajar! Mau siswa itu mengerti atau tidak, itu terserah!!! Yang penting dompet saya tetap terisi setiap bulannya.” Kalau niat seorang guru seperti ini, tentu saja guru tersebut mengajar dengan cara yang sembarangan atau asal-asal saja, tanpa memikirkan apakah siswa memahami materi pelajaran yang diajarkannya.
Dari niat seorang guru di atas, apakah tipe guru semacam ini pantas dijadikan seorang guru? Jawabanya tentu tidak, karena hanya akan merugikan pemerintah, terlebih-lebih siswa yang menjadi generasi penerus bangsa. Apabila tenaga pendidiknya tidak profesional, bagaimana peserta didiknya bisa profesional? Tentu, peserta didik atau generasi penerus bangsa sangat sulit dijadikan manusia-manusia yang handal di masa depan nantinya. Maka dari itu, niat buruk seperti ini, haruslah dibuang jauh-jauh. Tidaklah pantas jika seorang guru berniat seperti itu. Apalah artinya guru tersebut kalau niatnya serupa itu. Sungguh tidak ada artinya sama sekali. Penulis sebagai siswa sangat mengharapkan, bahwa jika masih ada tipe guru semacam ini, hendaknya guru tersebut meluruskan kembali niatnya, yaitu dengan niat yang baik, niat yang semata-mata karena Allah SWT. Apabila niat kita bagus, maka setiap perbuatan yang kita lakukan akan bernilai ibadah, dan Insya Allah membawa keberhasilan yang memuaskan.
Kedua, Di setiap sekolah tidak jarang kita temukan guru yang over galak atau biasa disebut “Guru Killer”. Sebuah sebutan guru killer, tentu tidak asing lagi bagi kita. Guru killer yaitu guru yang baru dilihat dari wajahnya saja nampak menakutkan, belum lagi sifatnya yang kejam dan sering marah-marah, serta kurang bercanda (menghibur) siswanya. Dalam pembelajaran di kelas, tentu siswa pada umumnya akan merasa tertekan dan tegang dalam menerima pelajaran, dan sudah dipastikan, ini akan membawa dampak yang buruk pada siswa. Bisa saja selama pelajaran berlangsung di kelas, siswa akan keringat dingin dan kaku atau canggung dalam bertindak, sehingga siswa tidak bisa aktif dalam proses pembelajaran tersebut. Guru yang bersikap seperti ini, juga sulit dijadikan media curhat bagi siswa-siswanya karena kurangnya keakraban antara keduanya.
Memang dalam pandangan kita bahwa kalau guru yang bersifat lemah lembut itu, banyak siswa yang pandang enteng. Tapi, haruskah seorang guru bersikap killer agar dipatuhi oleh siswa-siswanya?
Guru tidak semestinya bersikap killer karena seorang guru yang killer, malah akan menyulitkan perkembangan berpikir para siswanya. Apalagi bagi siswa yang memiliki IQ yang rendah, pastinya sangat sulit memahami materi yang diajarkannya. Maka dari itu, guru harus menghilangkan sifat killernya. Guru juga harus dapat menempatkan dan memunculkan emosinya pada waktu-waktu yang tepat. Misalnya apabila ada siswa yang berperilaku tercela, maka sebuah hukuman memang pantas diberikan kepada siswa yang bersangkutan, agar siswa tersebut tidak mau mengulangi perbuatannya lagi. Dalam menghukum siswa, seorang guru tidak diperbolehkan memukul siswanya dengan cara yang berlebihan atau sampai berdarah-darah, itu hanya akan membuat siswa tersebut menjadi dendam kepada gurunya. Hendaknya guru memukul siswanya dengan tujuan mendidik. Seorang guru juga hendaknya memberi petuah-petuah, motivasi-motivasi dan memberi tambahan ilmu agama, hingga siswanya bisa sadar akan perbuatan yang dilakukannya salah dan berkeinginan mau merubahnya.
Sifat killer, dapat diubah oleh guru menjadi pribadi yang bersikap “tegas” dalam bertidak dan “ramah” kepada siswanya. Sebab, jika seorang guru itu killer, maka akan ditakuti oleh siswanya, sedangkan jika seorang guru itu terlalu lemah lembut, maka guru tersebut akan dipandang enteng oleh siswanya. Jadi, penyatuan antara sifat kekerasan dan kelemahlembutan yaitu sifat “ketegasan”.
Ketiga, guru seharusnya memperhatikan soft-skill yang ada pada diri siswa. Soft-skill merupakan kemampuan (kecakapan) seorang siswa yang tersembunyi atau tidak nampak, yang mana guru kurang memperhatikan aspek penilaian ini. Saat ini, kebanyakan para guru menilai siswa hanya pada aspek daya pikir (kepintaran)-nya saja. Padahal, seharusnya bukan hanya aspek tersebut, melainkan juga penilaian pada aspek soft-skill yang ada pada setiap siswa. Ini sering kali dianggap remeh oleh para guru, padahal aspek ini sangat penting. Aspek ini juga dapat membantu siswa yang memiliki IQ yang rendah. Bila ada siswa tidak mampu bersaing dalam hal daya pikir, maka siswa tersebut dapat lebih meningkatkan kerajinan dan sifat-sifat terpuji lainnya, karena akan menjadi penilaian bagi gurunya.
Seorang guru yang menilai siswanya melalui ujian tulisan, belum tentu siswa tersebut dapat mengerjakan ujiannya itu dengan hasil jerih payahnya sendiri. Bisa saja siswa itu menyontek tanpa sepengetahuan gurunya. Maka dari itu, aspek soft-skill lebih penting dan lebih bagus dari pada aspek lainnya, karena guru dapat memantau dan menilai langsung perilaku keseharian siswanya di sekolah. Aspek soft-skill ini akan memunculkan psikomotor (keaktifan) siswa pada umumnya. Contohnya, siswa banyak bertanya, memperhatikan gurunya sementara mengajar, tidak gaduh di dalam kelas, seringkali menolong gurunya ketika membutuhkan pertolongan, mengerjakan tugas dengan baik dan lain-lain. Dari perilaku yang penulis sebutkan tadi, itulah contoh-contoh soft-skill yang ada pada siswa. Contoh lainnya lagi yaitu, Misalnya, Dalam proses pembelajaran di kelas, bila ada siswa dengan kesediaannya sendiri, mau menghapus papan tulis, maka hendaknya guru memberikan nilai plus untuk siswa tersebut, karena jarang ada siswa yang mau dengan kesediaannya sendiri melakukan tindakan tersebut.
Keempat, Indonesia terkenal dengan ketidakdisiplinannya. Mengapa sifat ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagi bangsa kita? Memang sangat sulit untuk berperilaku disiplin, tapi bagi orang yang sudah terbiasa disiplin, tentu aktivitas yang sering dilakukannya sangat disukainya.
Kedisiplinan sangat erat dengan ketepatan waktu seseorang dalam bertindak. Orang yang disiplin, baginya hidup sangat bermakna. Sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia, dan pastinya orang yang disiplin hidupnya akan sukses. Begitu pula pada tenaga pendidik atau guru, hendaknya seorang guru berperilaku disiplin dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Misalnya, masuk di kelas tepat pada waktunya, ketika hendak mengajar siswanya. Ini penting untuk menghindari keterlambatan materi pelajaran. Pada umumnya di setiap sekolah, selalu ada saja keterlambatan suatu materi. Inilah yang membuat siswa kurang menguasai materi pelajaran pada jenjang yang di tempuhnya, sehingga ketika melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, daya pikir serta mental siswa kurang mampu menghadapi sulitnya materi pelajaran tersebut. Dalam hal ini, berarti siswa dirugikan. Maka dari itu, mulai dari sekarang, kedisiplinan seorang guru sangat dibutuhkan. Bila ada guru yang belum berperilaku seperti ini, maka belajarlah sedikit demi sedikit, berusaha bagaimana kita bisa mengatur aktivitas-aktivitas kita sesuai waktunya, karena bila cara hidup kita disiplin, maka hidup kita akan teratur dan terasa bermakna.
Kelima, seorang guru tidak boleh marah atau tersinggung bila mendapatkan kritik dari orang lain. Bagaimana guru tersebut bisa lebih baik, kalau ia tidak bisa menerima kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh orang lain untuknya., termasuk juga kritikan dari siswa. Dalam artian guru harus bersikap open mind (terbuka pikirannya). Guru semestinya menanyakan langsung seberapa baik ia mengajar kepada siswa. Misalnya, menanyakan hal-hal apa saja yang tidak sukai oleh para siswanya akan diri pribadinya dan sikap apa saja yang dimiliki guru untuk diperbaiki ke arah yang lebih baik.
Biasanya ketika guru melontarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada siswanya, siswa hanya membungkam karena takut mengkritiki gurunya. Dalam diri pribadi siswa, mereka menganggap kalau mereka mengkritiki gurunya, takutnya terjadi sesuatu mengenai dirinya, seperti takut ‘dikancing nilainya lah”, dicap sebagai siswa yang ‘jeleklah’, dan lain sebagainya.
Jika anggapan siswa seperti ini, maka berarti siswa tidak bersikap kritis terhadap apa yang mereka tidak sukai . Maka dari itu, jika seorang guru meminta para siswanya mengkritikinya, hendaknya siswa juga berani mengungkapkannya Jika siswa tidak berani mengucapkan secara lisan, siswa juga bisa melakukannya dalam bentuk tulisan dan bila perlu tanpa menantumkan namanya. Tujuan dari pengeritikan ini, bukan berarti untuk menjelek-jelekkan dan melecehkan para guru, akan tetapi pengeritikan ini tujuannya, yaitu demi perbaikan gurunya ke arah yang lebih baik. Seorang guru hendaknya juga selalu menerima kritikan-kritikan dari pihak manapun, karena seseorang yang ingin maju dan menjadi profesional yaitu orang yang mau menerima kritikan dan masukkan dari orang lain, tentu yang sifatnya lebih memajukan diri kita.
0 komentar:
Posting Komentar