er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Pengaruh Lingkungan terhadap Individu

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.

Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut :

1.Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial

Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya.

Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnya tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah laku dengan sesamanya.

Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali.

2. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu

Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.
Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai :

1.Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman ketika berkunjung ke rumah.
2.Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh : air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya.
3.Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin.
4.Obyek penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis. Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga di kamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.

Guru Sebagai Pengajar

Salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para siswa agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru.

Yang dimaksud sebagai peran adalah pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri khas semua petugas dari pekerjaan atau jabatan tertentu. Guru harus bertanggungjawab atas hasil kegiatan belajar anak melalui interaksi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar mengajar, dan karenanya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar disamping menguasai materi yang akan diajarkan. Dengan kata lain : guru harus mampu menciptakan situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya.

Guru Sebagai Pembimbing

Bimbingan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat.Dalam keseluruhan proses pendidikan guru merupakan faktor utama. Dalam tugasnya sebagai pendidik, guru memegang berbagai jenis peran yang mau tidak mau harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Setiap jabatan atau tugas tertentu akan menuntut pola tingkah laku tertentu pula. Sehubungan dengan peranannya sebagai pembimbing, seorang guru harus :

*Mengumpulkan data tentang siswa
*Mengamati tingkah laku siswa dalam situasi sehari-hari
*Mengenal para siswa yang memerlukan bantuan khusus
*Mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orangtua siswa baik secara individu maupun secara kelompok untuk memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak
*Bekerja sama dengan masyarakat dan lembaga lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa
*Membuat catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baik
*Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu
*Bekerja sama dengan petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa
*Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan lainnya
*Meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa peran guru baik sebagai pengajar maupun sebagai pembimbing pada hakekatnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, kedua peran tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus merupakan keterpaduan.

Cara mengembangkan perilaku mengajar yang humanis

Perilaku yang humanis adalah tindakan yang dapat teramati, dilakukan guru di dalam kelas ketika berhadapan dengan siswanya. Perilaku adalah hasil interaksi antara komponen pikiran, emosi, dan lingkungan

Burns (1988) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara emosi, pikiran dan perilaku. Emosi yang terbentuk oleh suatu peristiwa disebabkan oleh penilaian/pikiran terhadap peristiwa. Sebelum seseorang bertindak tehadap suatu peristiwa apapun maka individu harus memprosesnya dengan pikiran serta memberikan arti. Individu harus memahami apa yang sedang terjadi, sebelum dapat merasakan dan menentukan tindakan. Dengan demikian, kunci pertama dari emosi dan perilaku adalah bagaimana pikiran individu terhadap situasi.

Berdasarkan model di atas penulis menemukan empat hal yang dapat dilakukan guru untuk mampu mengembangkan perilaku yang humanis ketika menghadapi siswa di ruang kelas.
1.Mengenali penyebab perilaku
Perilaku seseorang adalah hasil interaksi antara komponen fisik, pikiran, emosi dan keadaan lingkungan. Namun, untuk memperkuat kontrol manusia terhadap perilakunya seseorang perlu mencari tahu penyebab internal baik fisik, pikiran dan emosi yang dialaminya. Seringkali seorang guru gagal bertindak yang terbaik baik karena fisik sedang lelah atau kurang sehat sehingga menggunakan cara yang keras atau hukuman untuk mengendalikan siswa. Tindakan yang kurang tepat juga dapat dihasilkan karena pandangan yang negatif tentang siswa, misalnya x adalah anak nakal maka tindakan netral pun dapat menjadi negatif karena pandangan kita tersebut. Penyebab lain adalah keadaan emosi yang tidak kondusif, misalnya sedang marah atau cemas karena ada tugas yang menumpuk atau kejadian di tempat lain yang belum tuntas. Secara kognitif, Burns (1988) mengemukakan banyak hal dapat terjadi yang disebutnya distorsi kognitif, yaitu kecenderungan pikiran kita untuk mengalami kesalahan dan penyimpangan dalam menilai sesuatu. Penulis menggarisbawahi empat jenis distorsi yang cukup relevan dalam dunia pendidikan, yaitu:
a.Memberi cap : melukiskan siswa sebagai orang yang nakal atau dungu, kemudian mendaftar di dalam pikiran semua hal yang tidak disukai tentang orang tersebut (filter pikiran) dan mengabaikan semua kelebihan atau sisi positif atau sifat-sifat yang baik (mendiskualifikasikan yang positif). Contohnya: “Dia anak pemalas” (faktanya saat itu ia tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah).
b.Membaca pikiran : mereka-reka motif yang melatarbelakangi perilaku siswa, dan demi kepuasan sendiri menjelaskan mengapa siswa bertindak demikian. Justru yang terjadi adalah menyalahkannya saja. Contohnya: “Dia pasti tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah sehingga tidak masuk kelas”.
c.Pembesaran : membesar-besarkan pentingnya peristiwa negatif, sehingga intensitas reaksi emosional dapat meledak. Contohnya, “Gara-gara ia bertanya penjelasan ku menjadi kacau...” (yang terjadi adalah guru terpaksa berhenti sebentar untuk mengingat-ingat apa yang akan dikatakannya)
d.Pernyataan “harus” dan “tidak seharusnya” : berpikir bahwa seharusnya siswa “tidak seperti itu”, atau berpikir siswa seharusnya “seperti itu” Menuntut siswa atau situasi berjalan seperti keinginan sendiri dan ketika tidak terjadi maka sebenarnya individu telah mencipatakan frustrasi bagi diri sendiri. Contohnya: “ia kan anak dosen... seharusnya kan.....”

Guru yang sering mengalami penilaian yang kurang tepat tersebut akan semakin sulit untuk menerima anak apa adanya, apalagi harus mengormati dan menghargai mereka. Perlakuan yang tidak semestinya mudah muncul antara lain berupa kata-kata yang kurang tepat, membedakan dari teman-temanya karena dianggap kurang pandai atau nakal dan akhirnya menyebabkan guru kehilangan harapan positif terhadap siswa atau memvonis bahwa siswa tersebut nakal atau kurang pandai.

Sebuah penelitian (dalam De Potter dkk., 2000) menunjukkan bahwa sikap dan perlakuan guru terhadap siswa cenderung dipengaruhi oleh pandangan guru terhadap siswa. Sebagai contoh ketika siswa memandang siswa bodoh maka siswa kurang diberi pengalaman yang menantang, kurang dihargai jawabannya, dan cenderung kurang diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang sulit.

Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau Caine & Caine (dalam DePorter, Reardon, & Singer-Nourie, 2000) menyatakan bahwa keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua anak untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal yang harus diperhatikan.

2.Mengatasi distorsi dalam penilaian
Ketika seorang guru menyadari dirinya telah mengalami distorsi atau kesalahan dalam menilai siswa maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah meyakinkan diri bahwa ia mampu mengendalikan hal tersebut. Kemampuan menilai secara tepat dapat dikembangkan dengan latihan. Beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a.Mencari bukti. Teknik ini bertujuan memberikan pandangan lain tentang kejadian atau siswa dengan cara mencari bukti bahwa penilaian kita yang negatif adalah tidak benar. Misalnya, ketika kita memberikan label pada siswa sebagai pemalas maka dengan cepat kita perlu mengembangkan bukti-bukti yang dapat menunjukkan bahwa ia bukan pemalas.
b.Pernyataan yang direvisi. Teknik ini bertujuan untuk meminimalisir kecenderungan kita mengharuskan sesuatu terjadi pada siswa kita. Caranya adalah dengan memberikan argumen lain yang dapat menurunkan derajat keharusannya. Misalnya: “saya sudah mengajarnya dengan baik, seharusnya ia paham.
Ketika banyak siswa yang belum paham maka kita perlu merevisi menjadi “saya memang sudah mengajar dengan baik namun mungkin ia perlu waktu untuk memahaminya”
c.Pernyatan tidak menilai. Teknik ini dilakukan dengan cara meembuat pernyataan yang bersifat deskriptif, apa adanya, dan menghindari kata sifat seperti malas dan nakal. Contoh: ketika ada siswa yang kita cap atau kita pikiran sebagai anak yang tidak tahu aturan. Pikiran atau pernyataan tidak tahu aturan adalah cap yang negatif tentang siswa. Hal ini akan menimbulkan asosiasi dengan sifat negatif lainnya, dan menimbulkan emosi negatif kita kepada siswa. Pernyataan yang lebih netral perlu dikembangkan, misalnya yang kita sebut “tidak tahu aturan” ternyata lewat di depan guru sambil lari. Lebih baik kita menyebutkan perilakunya yaitu “kok di depan guru lari”. Sebutan ini lebih netral daripada menyebutnya tidak tahu aturan.
d.Mencari sisi positif. Manusia bersifat kompleks. Tidak ada manusia yang 100% buruk atau 100% baik. Oleh karena itu ketika terjadi penilaian yang negatif misalnya anak ini telat mikir maka kita dapat mencari sisi positif yang lain misalnya usaha kerasnya untuk memahami, kerapiannya, atau sisi positif yang lain.

3.Mengembangkan cara pandang yang positif terhadap siswa
Setiap siswa mempunyai potensi yang kadang tidak dapat terungkap, tidak diterima dan tidak dihargai dalam proses pendidikan. Cara pandang yang positif dapat dikembangkan jika guru 1) tetap mempertahankan harapan positif terhadap siswa, yaitu seperti apapun keadaan siswa hari ini tidak berarti selamanya akan seperti itu dan tugas kita adalah berusaha untuk membantunya, 2) melihat potensi siswa dari berbagai sisi misalnya dapat menggunakan pandangan kecerdasan majemuk (Gardner dalam Amstrong, 2005), 3 meyakini prinsip perkembangan bahwa setiap siswa dapat berbeda dan bersifat unik sehingga mungkin belum optimal saat ini, dan 3) berusaha mencari sisi positif siswa.

4.Membangun hubungan yang apresiatif
Hubungan guru dan siswa adalah penting dalam proses pembelajaran humanistik. Hubungan guru dan siswa bukanlah hubungan yang kering dari aspek emosi. Namun, kadang hubungan tersebut sebatas “Anda belajar dan Saya mengajar”, atau jika ada hubungan personal maka terbatas pada beberapa siswa tertentu. Mungkinkah hubungan personal yang mendalam tersebut dapat terjalin dalam kelas?

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan komunikasi apresiatif. Komunikasi apresiatif dapat dilakukan dalam setiap interaksi antar guru siswa, dan antar siswa. Komunikasi apresiatif merujuk pada istilah appreciative inquiry yang dikembangkan oleh Psikologi Positif. Percakapan apresiatif dilakukan untuk memahami sesuatu yang terbaik dari individu, memberikan dukungan terhadap kelebihan, kesuksesan, dan potensi masa lalu dan masa kini. Selama ini, komunikasi yang terjadi kadang cenderung tidak apresiatif. Contoh: kita lebih peka terhadap kesalahan orang daripada kebaikan orang, kita lebih cepat menunjuk kesalahan orang daripada kebaikan orang dst. Oleh karena itu, komunikasi yang terjalin perlu dikembangkan adalah komunikasi yang mengandung pesan dan gaya yang apresiatif.

Peran Guru Sebagai Pendidik

Peran Guru Sebagai Pendidik
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat.


Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak.

Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.

Disiplin Siswa di Sekolah

Dalam kehidupan sering kita dengar orang mengatakan bahwa si X adalah orang yang memiliki disiplin yang tinggi, sedangkan si Y orang yang kurang disiplin. Sebutan orang yang memiliki disiplin tinggi biasanya tertuju kepada orang yang selalu hadir tepat waktu, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan sejenisnya. Sebaliknya, sebutan orang yang kurang disiplin biasanya ditujukan kepada orang yang kurang atau tidak dapat mentaati peraturan dan ketentuan berlaku, baik yang bersumber dari masyarakat (konvensi-informal), pemerintah atau peraturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tertentu (organisasional-formal).

Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin sekolah. Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Menurut Wikipedia (1993) bahwa disiplin sekolah “refers to students complying with a code of behavior often known as the school rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut, seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing), ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar/kerja. Pengertian disiplin sekolah kadangkala diterapkan pula untuk memberikan hukuman (sanksi) sebagai konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan, meski kadangkala menjadi kontroversi dalam menerapkan metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment), sebagaimana diungkapkan oleh Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snock dalam bukunya “Dangerous School” (1999).

Berkenaan dengan tujuan disiplin sekolah, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah : (1) memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang, (2) mendorong siswa melakukan yang baik dan benar, (3) membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah, dan (4) siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya. Sementara itu, dengan mengutip pemikiran Moles, Joan Gaustad (1992) mengemukakan: “School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning”. Sedangkan Wendy Schwartz (2001) menyebutkan bahwa “the goals of discipline, once the need for it is determined, should be to help students accept personal responsibility for their actions, understand why a behavior change is necessary, and commit themselves to change”. Hal senada dikemukakan oleh Wikipedia (1993) bahwa tujuan disiplin sekolah adalah untuk menciptakan keamanan dan lingkungan belajar yang nyaman terutama di kelas. Di dalam kelas, jika seorang guru tidak mampu menerapkan disiplin dengan baik maka siswa mungkin menjadi kurang termotivasi dan memperoleh penekanan tertentu, dan suasana belajar menjadi kurang kondusif untuk mencapai prestasi belajar siswa.

Keith Devis mengatakan, “Discipline is management action to enforce organization standarts” dan oleh karena itu perlu dikembangkan disiplin preventif dan korektif. Disiplin preventif, yakni upaya menggerakkan siswa mengikuti dan mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan hal itu pula, siswa berdisiplin dan dapat memelihara dirinya terhadap peraturan yang ada. Disiplin korektif, yakni upaya mengarahkan siswa untuk tetap mematuhi peraturan. Bagi yang melanggar diberi sanksi untuk memberi pelajaran dan memperbaiki dirinya sehingga memelihara dan mengikuti aturan yang ada.
Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan dengan persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi di kalangan siswa remaja pada akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat mengkhawarirkan, seperti: kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, gang motor dan berbagai tindakan yang menjurus ke arah kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat ringan sampai dengan pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus bolos, perkelahian, nyontek, pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk penyimpangan perilaku lainnya.Tentu saja, semua itu membutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangganya, dan di sinilah arti penting disiplin sekolah