er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Pra Sekolah

Snowman (1993 dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun). Ciri-ciri yang dikemukakan meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak.
Tugas Perkembangan Pada Masa Usia Pra Sekolah
Havighurst (1961) mengartikan tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya, sementara apabila gagal maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya.

Tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku atau keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh individu sesuai dengan usia atau fase perkembangannya, seperti tugas yang berkaitan dengan perubahan kematangan, persekolahan, pekerjaan, pengalaman beragama dan hal lainnya sebagai prasyarat untuk pemenuhan dan kebahagiaan hidupnya.
Menurut Elizabeth Hurlock (1999) tugas-tugas perkembangan anak usia 4 – 5 tahun adalah sebagai berikut:
1.Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang umum
2.Membangun sikap yang sehat mengenal diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh
3.Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya
4.Mulai mengembangkan peran social pria atau wanita yang tepat
5.Mengembangkakn keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung
6.Mengembangkkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.
7.Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tingkatan nilai
8.Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok social dan lembaga-lembaga
9.Mencapai kebebasan pribadi

Pertumbuhan Fisik
Penampilan maupun gerak gerik anak usia prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya. a) Anak prasekolah umumnya aktif. Mereka telah memiliki penguasaan atau kontrol terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri. b) Setelah anak melakukan berbagai kegiatan, anak membutuhkan istirahat yang cukup, seringkali anak tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat cukup. Jadwal aktivitas yang tenang diperlukan anak. c) Otot-otot besar pada anak prasekolah lebih berkembang dari kontrol terhadap jari dan tangan. Oleh karena itu biasanya anak belum terampil, belum bisa melakukan kegiatan yang rumit, seperti mengikat tali sepatu. d) Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokuskan pandangannya pada obyek-obyek yang kecil ukurannya, itulah sebabnya koordinasi tangan masih kurang sempurna. e) Walaupun tubuh anak lentur, tetapi tengkorak kepala yang melindungi otak masih lunak (soft).

Perkembangan Motorik

Di usia prasekolah, gerakan tangan anak (handstroke) sudah pada taraf membuat pola (pattern making). Ini tingkat paling sulit karena anak harus membuat bangun/bentuk sendiri. Jadi, betul-betul dituntut hanya mengandalkan imajinasinya. Sedangkan pada keterampilan motorik kasar, anak usia prasekolah sudah mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan-gerakan seperti berlari, memanjat, naik-turun tangga, melempar bola, bahkan melakukan dua gerakan sekaligus seperti melompat sambil melempar bola.

Perkembangan Kreativitas
Kreativitas imajiner (orang, benda, atau binatang yang diciptakan anak dalam khayalannya) dan animasi (kecenderungan mengganggap benda mati sebagai benda hidup) yang merupakan kreativitas awal di masa batita sudah mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, anak prasekolah cenderung melakukan dusta putih (white lie) atau membual. Tujuannya bukan untuk menipu orang lain, tapi karena ia merasa yakin hal itu benar. Ia ingin bualannya didengar. Perlu diketahui, pada masa prasekolah, anak sudah mulai menunjukkan ego dan otoritasnya. Misal, ia melihat seekor naga hitam melintas di depan rumah. Anak ini merasa yakin dan ingin orang lain juga turut meyakininya.
Kelak, sejalan dengan pertambahan usianya dimana anak mulai membedakan antara khayalan dan kenyataan, kebiasaan membual mulai hilang. Sebaliknya, orang dewasa juga jangan membiarkan anak untuk terus-terusan membual berlebihan. Sebab, bila hal ini dibiarkan, membual dan melebih-lebihkan yang dilakukan dengan tujuan mengesankan orang lain, malah berbuah menjadi kebohongan yang mungkin menjadi kebiasaan.

Perkembangan Emosi

Salah satu tolak ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan kian stabil pula kepribadiannya. Untuk anak usia prasekolah, kemampuan mengekspresikan diri bisa dimulai dengan mengajari anak mengungkapkan emosinya.

Jadi, anak prasekolah dapat diajarkan bersikap asertif, yaitu sikap untuk menjaga hak-haknya tanpa harus merugikan orang lain. Saat mainannya direbut, kondisikan agar anak melakukan pembelaan. Entah dengan ucapan, semisal, “Itu mainan saya. Ayo kembalikan!”, atau dengan mengambil kembali mainan tersebut tanpa membahayakan siapa pun.

Ciri Emosional Pada Anak Prasekolah : a) Anak TK cenderung mengekspreseikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut. b) Iri hati pada anak prasekolah sering terjadi, mereka seringkali memperebutkan perhatian guru.(Ananda 2010).

Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial, dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma- norma kehidupan bermasyarakat.

Usia prasekolah memberi kesempatan luas kepada anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Di usia inilah ia mulai melihat dunia lain di luar dunia rumah bersama ayah-ibu. Kemampuan bersosialisasi harus terus diasah. Sebab, seberapa jauh anak bisa meniti kesuksesannya, amat ditentukan oleh banyaknya relasi yang sudah dijalin. Banyaknya teman juga membuat anak tidak gampang stres karena ia bisa lebih leluasa memutuskan kepada siapa akan curhat.

Ciri Sosial Ciri Anak Prasekolah atau TK a) Umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti, mereka umumnya dapat cepat menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan teman. Sahabat yang dipilih biasanya yang sama jenis kelaminnya, tetapi kemudian berkembang sahabat dari jenis kelamin yang berbeda. b) Kelompok bermain cenderung kecil dan tidak terorganisasi secara baik, oleh karena kelompok tersebut cepat berganti-ganti. c) Anak lebih mudah seringkali bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar. Parten (1932) dalam social participation among preschool children melalui pengamatannya terhadap anak yang bermain bebas di sekolah, dapat membedakan beberapa tingkah laku sosial: a) Tingkah laku unoccupied. Anak tidak bermain dengan sesungguhnya. Ia mungkin berdiri di sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melakukan kegiatan apapun. b) Bermain soliter. Anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan, berbeda dari apa yang dimainkan oleh teman yang berada di dekatnya, mereka berusaha untuk tidak saling berbicara. c) Tingkah laku onlooker anak menghasilkan tingkah laku dengan mengamati. Kadang memberi komentar tentang apa yang dimainkan anak lain, tetapi tidak berusaha untuk bermain bersama. d) Bermain pararel. Anak-anak bermain dengan saling berdekatan, tetapi tidak sepenuhnya bermain bersama dengan anak lain, mereka menggunakan alat mainan yang sama, berdekatan tetapi dengan cara tidak saling bergantung. e) Bermain asosiatif. Anak bermain dengan anak lain tanpa organisasi. Tidak ada peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri-sendiri. f) Bermain Kooperatif. Anak bermain dalam kelompok di mana ada organisasi. Ada pemimpinannya, masing-masing anak melakukan kegiatan bermain dalam kegiatan, misalnya main toko-tokoan, atau perang-perangan.

Perkembangan Moral
Kemampuan sosialisasi yang berkembang membawa anak usia prasekolah masuk ke dalam berbagai kelompok baru di luar rumah, yaitu sekolah dan lingkungan sekitarnya. Sebagai bagian dari kelompok, anak prasekolah belajar mematuhi aturan kelompok dan menyadari konsekuensinya bila tidak mengikuti aturan tersebut.
Anak usia prasekolah belajar perilaku moral lewat peniruan. Itulah sebabnya, orang-orang dewasa harus menghindari melakukan hal-hal yang buruk, semisal bicara kasar, memukul, mencela, dan lain-lainnya di depan anak.

Sosialisasi juga membawa anak pada risiko konflik, terutama dengan teman sebaya. Oleh karenanya, kemampuan memecahkan konflik merupakan modal yang harus dimiliki anak. Semakin baik kemampuannya dalam hal ini, maka kepribadiannya akan semakin stabil. Anak yang pandai mengatasi konflik umumnya akan mudah pula mengatasi masalah dalam hidupnya, entah di sekolah, di rumah, ataupun kelak di tempat bekerja.

Perkembangan Kognitif

Ciri Kognitif Anak Prasekolah atau TK a) Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa. Sebagian dari mereka senang berbicara, khususnya dalam kelompoknya, sebaiknya anak diberi kesempatan untuk berbicara, sebagian dari mereka dilatih untuk menjadi pendengar yang baik. b) Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Ainsworth dan Wittig (1972) serta Shite dan Wittig (1973) menjelaskan cara mengembangkan agar anak dapat berkembang menjadi kompeten dengan cara sebagai berikut: a) Lakukan interaksi sesering mungkin dan bervariasi dengan anak. b) Tunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan anak. c) Berikan kesempatan kepada anak untuk meneliti dan mendapatkan kesempatan dalam banyak hal. c) Berikan kesempatan dan dorongan maka untuk melakukan berbagai kegiatan secara mandiri. e) Doronglah anak agar mau mencoba mendapatkan ketrampilan dalam berbagai tingkah laku. f) Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan oleh lingkungannya. g) Kagumilah apa yang dilakukan anak. h) Sebaiknya apabila berkomunikasi dengan anak, lakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati.

Keterampilan Gender
Anak prasekolah sudah mampu membedakan pria dan wanita yang dilihat dari penampilan yang berbeda, pakaian yang berbeda dan rambut yang berbeda. Beberapa anak juga mulai memahami organ-organ tubuh yang berbeda pada pria dan wanita karena orang tua mereka mulai memperkenalkannya, entah lewat pengamatan langsung atau lewat buku-buku. Tetapi tidak semua anak di usia ini punya keterampilan membedakan melalui anatomi fisik/organ intim karena beberapa orang tua masih enggan membicarakan soal peran seks pada anak mereka di usia prasekolah. (Santi Hartono, 2010)

Stimulasi Perkembangan Anak Usia 4-5 Tahun

Kemampuan dan tumbuh kembang anak perlu dirangsang oleh orang tua agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan sesuai umurnya. Stimulasi adalah perangsangan (penglihatan, bicara, pendengaran, perabaan) yang datang dari lingkungan anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang bahkan tidak mendapat stimulasi (Kania 2010).

Stimulasi yang diperlukan anak usia 4-5 tahun adalah :

1.Gerakan kasar, dilakukan dengan member kesempatan anak melakukan permainan yang melakukan ketangkasan dan kelincahan
2.Gerakan halus, dirangsang misalnya dengan membantu anak belajar menggambar
3.Bicara bahasa dan kecerdasan, misalnya dengan membantu anak mengerti satu separuh dengan cara membagikan kue
4.Bergaul dan mandiri dengan melatih anak untuk mandiri, misalnya bermain ke tetangga. (Suherman, 2000)
iini08.student.ipb.ac.id

Masuk SD Usia Dini

TAK semua anak punya perkembangan ntelektual yang ‘normal’ atau rata-rata. Adaanak ‘gifted’ atau ‘talented’ “yaitu dikaruniai kecerdasan atau bakat luar biasa- yang tingkat intelektualitasnya jauh melampuai anak-anak lain seusianya. Sayangnya,
kadang anak gifted ini baru diketahui setelah ia masuk SD. Coba kalau bisa diketahui saat ia masih di preschool, kan bisa masuk SD lebih cepat.


Tapi, bagaimana peluang anak berbakat ini? Gimana orangtua mengetahui kalau anaknya berbakat? Sebenarnya bisa saja lho, anak yang belum berusia 6 tahun bersekolah di sekolah dasar. Sebab yang lebih penting sebenarnya kesiapan umur mental si anak, yakni kemampuan mental dan intelektual, bukan umur kalendernya.
“Contoh, anak umur 4 tahun tapi umur mentalnya 6 tahun, berarti mereka sudah siap masuk SD,” papar Prof Dr. S.C . Utami Munandar, guru besar psikologi anak Universitas Indonesia.

Cuma, untuk mengetahui apakah umur mental anak siap, orangtua mesti
mengeceknya dengan melakukan tes umur mental ke psikolog. Dari sini,
nanti bisa diketahui IQ anak, dengan rumus: (umur mental/umur kalender) x 100 = IQ. Bila skor IQ anak di atas 130, jauh di atas anak normal (skor IQ 85-115), bisa saja ia dipandang gifted dan dipertimbangkan masuk SD lebih awal, setelah mempertimbangkan
aspek-aspek lainnya.

Menurut Utami, jumlah anak berbakat di Indonesia sekitar 2-5% dari
Keseluruhan anak. Namun sejauh ini belum semuanya mendapat pendidikan khusus. Tak semua sekolah mempunyai fasilitas, sarana, dan prasarana yang bermutu, ataupun kelas unggulan yang bisa mengembangkan dan melihat anak-anak yang berbakat.
Padahal sebenarnya dengan bakat di bidang intelektual, tak menutup kemungkinan balita bisa masuk SD. Akibatnya banyak anak yang umur mentalnya sudah tinggi namun tidak terstimulasi dengan baik, sehingga mereka bosan di kelas karena merasa materi yang diajarkan guru terlalu mudah.

Kemungkinan anak yang masih usia TK bisa masuk SD juga dibenarkan Dra.
Shinto B. Adelaar, M.Sc., psikolog perkembangan anak. Namun menurutnya bukan semata-mata karena IQ saja yang kelewat tinggi dibanding anak-anak lain. Si anak juga mesti punya tingkat kematangan yang mampu menghadapi stres dan situasi sekolah. “Sebab situasi dan cara belajar di SD berbeda dengan di TK. Di SD, anak lebih banyak duduk diam di tempat daripada bergerak atau jalan-jalan. Ia juga harus tekun mengerjakan tugas dalam waktu yang lebih panjang serta mau mematuhi instruksi guru. Berarti, dari segi pemikiran, si anak harus lebih matang,” Shinto menjelaskan.

Secara emosi, anak juga harus lebih matang, agar mampu mengontrol diri dan tidak lagi bertingkah laku berdasarkan keinginannya sendiri. Jadi, meski anak IQ-nya tinggi, belum tentu EQ-nya tinggi. Kalau anak itu masih dependent (bergantung pada orangtua), sikap bekerjanya belum terbentuk, masih banyak sikap bermainnya, kemungkinan besar bila anak dimasukkan ke SD ia bisa mengalami tekanan dan stres, sehingga menimbulkan reaksi malas belajar atau tidak mau sekolah.

Selain berefek malas, anak yang terlalu dipaksakan lompat jenjang
pendidikan bisa menimbulkan masalah psikologis. Kasihannya, pada anak balita itu. Di usia itu mereka masih ingin main, sementara anak lainnya sudah tidak ingin main lagi. Di jenjang pendidikan berikutnya, misalnya saat di perguruan tinggi dan si anak baru berusia 15 tahun, secara emosional dan sosial ia belum sematang teman lainnya. Tak jarang temannya akan mengangap dia sebagai anak kecil, karena mungkin dari segi fisik belum berkembang sepenuhnya. Jadi dari segi sosial ada hambatan. Atau karena susah bergaul karena komunikasinya sering tidak nyambung, anak lebih senang membenamkan diri pada buku.

Memperdalam, bukan Mempercepat

Kadang orangtua yang punya anak berbakat yang mulai bosan di playgroup atau TK, jadi geregetan dan ingin menaikkan anak ke SD. Namun menurut Shinto, ini bukan solusi yang baik, apalagi jika hanya karena orangtua melihat anak itu lebih cerdas dibanding anak lainnya.

“Jika ingin memasukkan anak ke SD di usianya yang belum cukup,
sepatutnya melihat dulu kondisi anak, karena apapun yang dipaksakan sebelum waktunya akan mengundang risiko. Kalau anak itu enjoy, bisa bergaul dengan lingkungan sosialnya dan senang belajar, tak masalah. Silakan saja melompatkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi jika tidak, jangan dipaksakan, karena orangtua hanya akan merampas waktu bermain anak.”


Lebih baik menurutnya, perkaya pengetahuan dan kematangan anak. Orangtua tidak perlu ‘mempercepat’ tapi lebih ‘memperdalam’ pengetahuan anak.
Misalnya anak TK A, pengetahuannya baru sampai C, kita asah pengetahuan anak hingga sampai F. Tapi levelnya tetap TK A. Tujuannya, supaya nanti si anak tumbuh menjadi anak yang pintar dan kreatif dan punya kepribadian yang matang. “Saya percaya kematangan kepribadian itu lebih banyak menunjang keberhasilan anak, daripada
semata-mata kecerdasaan intelektual saja.”

Menaikkan anak ke kelas yang lebih tinggi, misalnya tidak masuk kelas 1 tapi langsung kelas 2, juga bukan solusi yang baik. Sebab dengan menaikkan kelas anak, berarti ada materi tertentu yang tertinggal. Sebaiknya, untuk anak berbakat ini dimasukkan ke kelas akselerasi. Disana mereka akan memperoleh kurikulum lebih singkat dan padat tanpa harus kehilangan satu materi pun. Toh sekarang banyak sekolah unggulan yang menyenggarakan kelas akselerasi.
Dengan masuk kelas akselerasi dan bergabung dengan anak lain yang
Punya kemampuan yang sama, anak lebih terstimulasi. Sebab anak yang sangat cerdas jalan pikirannya tidak sesuai dengan anak seusianya. Bila ngobrol ia tidak ‘nyambung’. Bagi anak yang kecerdasaannya rata-rata, anak yang terlalu cerdas ini jadi membosankan, menganggap si anak terlalu serius karena omongannya jauh ke depan dari anak yang lain.

Amati Tanda-tanda Awal

Agar orangtua tak terlalu lama mengetahui kalau si kecil berbakat,
sebaiknya orangtua melihat dan memperhatikan kemampuan anak sejak dini. Tanda-tanda anak berbakat dapat dilihat dari pertanyaan yang ia ajukan. Pertanyaan si anak biasanya mendalam, kritis, dan tidak cepat puas dengan jawaban yang sekedarnya. Anak memberikan reaksi yang lebih matang dari usia sebayanya, cepat bisa membaca sendiri tanpa
diajarkan.

Caranya, dengan memberi rangsangan dan sarana yang bisa merangsang
bakat anak, misalnya menyediakan aneka permainan. Dengan begitu, selain anak akan terpacu intelektualitas dan kreativitasnya. Supaya tidak salah langkah, orangtua perlu memeriksakan anak ke psikolog untuk mengetahui apakah anak itu berbakat, sebelum memasukkan anak ke SD pada usia dini.

Shinto menyarankan, orangtua yang punya anak berbakat dengan IQ
tinggi, tapi emosinya belum berkembang, sebaiknya tidak meloncatkan anaknya ke kelas atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebab belajar di SD itu lebih susah, apalagi SD di Jakarta. Anak terlalu banyak di-drill sehingga banyak mengurangi minat anak untuk belajar. Lebih baik anak tetap di TK tapi ia diberi tambahan pengetahuan yang
banyak.”
episentrum.com

Menggambar yuk

Mengajarkan anak melukis dapat mengembangkan ekspresi jiwa juga dapat melatih kepekaan si kecil untuk melihat lingkungannya, social, melatih konsentrasinya dan psikomotorik. Selain itu melukis juga melatih anak untuk menggunakan imajinasinya agar anak anak dapat berkhayal dan menuangkannya dalam bentuk dan warna
Biarkan anak anda melukis apa yang ia lihat, biarkan ia menggaris dan mencoret coret lembaran kertas yang anda berikan padanya. Dalam melukis, warna adalah elemen yang begitu memiliki banyak arti .

Media pewarnaan dibagi 2, media kering seperti menggunakan kertas dan krayon,spidol, konte dan pencil warna. Pensil warna yang berbentuk serbuk cenderung aman untuk balita. Untuk krayon sebaiknya carilah yang tidak mengandung toxic (seperti pentel, titi, snoopy). Untuk konte sebaiknya gunakan Caran d’Ache yang tidak berampas sehingga tidak membuat sesak nafas. Untuk spidol, walau dalam bentuknya tidak berbahaya tapi mengandung spirtus, maka dari itu carilah spidol yang tidak berbau menyengat agar tidak menyesakkan pernafasan.

Media basah seperti menggunakan kanvas, cat minyak, acrylic, dan cat air biasanya digunakan oleh pelukis yang sudah advance. Yang relative aman untuk anak anak adalah cat air. Acrilyc juga dianjurkan untuk anak anak yang ingin belajar melukis seperti cat minyak. Adapun cat minyak tidak dianjurkan untuk anak anak, karena campuran minyaknya memiliki bau yang menyengat dan bisa menyesakkan pernafasan.

So, mari ajari si kecil melukis dengan media yang paling cocok untuknya.
(sumber : area- magazine)

Film Kartun? Belum tentu untuk Anak anak

Kadang sebagai orang tua kita lupa dan berpikir tayangan tayangan kartun yang tampak lucu-lucu di tivi adalah dibuat dan cocok disajikan untuk anak-anak. Siapa bilang? Banyak film-film animasi yang tidak layak ditonton karena tidak bermanfaat untuk anak-anak kita.

Hindari tontonan kartun yang mengandung unsur-unsur :

1.Mempertontonkan kekerasan, meski dalam bentuk kartun sekalipun. Karena anak kita harus diajarkan untuk menyelesaikan masalah dengan tidak melakukan kekerasan.
2.Menayangkan kalimat-kalimat yang kasar dan perilaku yang buruk.
3.Mempertontonkan adegan ‘dewasa’ meskipun dalam kemasan anak-anak..

Memang banyak sekali film kartun yang mengandung unsur edukatif, tapi sebagai orang tua kita tetap harus mengawasi secara ketat film pilihan anak.

Ketika Si Kecil Gemar Menyanyi Lagu Dewasa

Minimnya jumlah lagu anak-anak yang terjadi saat ini menyebabkan anak menjadi lebih gemar menyanyikan lagu dewasa yang bertema cinta. Memang tak bisa dipungkiri bahwa saat ini, lebih banyak lagu bertema dewasa yang seringkali kita dengar, baik melalui radio maupun televisi. Memang harus diakui, saat ini ada kekosongan lagu anak-anak. Menurut Dra Tiwin Herman MPsi dari PT Psiko Utama, lagu anak-anak adalah lagu yang lirik dan musiknya menggambarkan dunia anak, dekat dengan hal-hal yang menggembirakan, permainan, serta hal-hal bersifat mendidik. Melalui lagu, anak diajak untuk belajar, dari mengenali organ tubuh, huruf, angka, hingga kekayaan alam serta budi pekerti. Hal ini selaras dengan perkembangan kognitif dan psikologis anak.

Namun, tidak dapat dimungkiri, saat ini intensitas penyiaran lagu-lagu cinta-cintaan (lagu dewasa) memang tinggi. Setiap saat lagu-lagu itu bisa didengar dari berbagai media. Saya sering melihat orangtua yang bangga ketika anaknya yang masih berusia dua-tiga tahun bisa menyanyi menirukan lagu-lagu yang sedang populer milik band yang sering ada di televisi.

Di sisi lain anak-anak belajar banyak hal dari proses imitasi atau meniru apa yang mereka lihat atau dengar. Akhirnya, tidak mengherankan jika kemudian anak-anak lebih sering menyanyikan lagu-lagu orang dewasa.

Lagu-lagu dewasa pada umumnya bercerita tentang cinta, kecemburuan, patah hati, dan sejenisnya, yang konsepnya sendiri sering kali belum dipahami anak. Ada semacam “percepatan dunia dewasa” yang dibiarkan (bahkan mungkin dipaksakan) secara halus kepada anak-anak bila mereka selalu menyanyikan lagu orang dewasa. Tentu ini akan memengaruhi perkembangan anak.

Bahasa awam yang mengatakan “matang sebelum masanya” bisa menjadi analogi untuk menggambarkan kondisi anak terpaksa tahu walau sebetulnya ia belum berhak tahu. Jika informasi ini (yang masuk ke kognitifnya sebagai pengetahuan) cukup banyak untuk masanya, tetapi emosinya belum matang, bisa dibayangkan apa yang terjadi.

Demikian juga dengan lagu-lagu yang dinyanyikannya, mengenai patah hati, kecemburuan, atau yang sekarang sedang ngetren, perselingkuhan. Pengasuh atau orang di rumah yang dekat dengan anak bisa saja memberikan penjelasan, tetapi belum tentu anak paham. Bisa-bisa anak malah memahami perselingkuhan sebagai hal biasa. Ini tentu akan memengaruhi norma-norma yang akan dianutnya. Ini baru dari aspek perkembangan moral. Padahal, masih banyak aspek lain.

Untuk mengajari buah hati menyanyikan lagu anak di tengah gempuran lagu-lagu dewasa, orangtua dituntut berperan aktif. Kita bertugas mengakrabkan anak-anak dengan dunianya, melalui lagu-lagu yang setaraf dengan perkembangan agar dapat memaksimalkan tahap perkembangannya. Banyak hal bisa dikerjakan, dari memberi kesempatan bagi lagu anak-anak untuk diperdengarkan bersama atau memberikan motivasi kepada anak agar bangga menyanyikan lagunya.

Cara paling efektif untuk memperkenalkan lagu anak adalah mengaitkan pada situasi atau kondisi yang sedang dirasakan. Ketika anak bertanya tentang cicak yang sering berkeliaran di rumah, misalnya, perkenalkan lagu Cicak-cicak di Dinding. Sejak zaman dahulu sebetulnya kita sudah memiliki banyak sekali lagu anak-anak. Demikian pula dengan lagu daerah.

Cara Terbaik Latih Disiplin Anak

Tak mudah mengajarkan disiplin pada anak. Bila pendekatannya sampai salah, alih-alih mengikuti nasihat Anda, yang terjadi mereka justru akan memberontak.

Lupakan mendidik anak dengan menonjolkan kekuasaan orang dewasa, misalnya memarahi atau memukul. Karena hal ini akan mengajari si kecil untuk melawan

Membimbing anak adalah sesuatu yang perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan sentuhan kasih sayang. Ingin tahu bagaimana mendidiknya, berikut ini caranya, dikutip dari laman Times of India.

- Jika ingin anak mengikuti kemauan Anda

Anak-anak cenderung meniru perilaku orang tua. Jika ingin membiasakan mereka melakukan sesuatu, Anda harus memberinya contoh. Misalnya, membuang sampah di tempat yang benar, merapikan tempat tidur setelah bangun atau mengunyah makanan tanpa bersuara.

- Jika anak-anak sulit diatur di tempat umum

Bersabarlah dan mencoba memberi pandangan yang baik pada mereka. Jika mereka masih tidak memperhatikan Anda, ancam dengan hukuman. Namun, ingat untuk tidak menaikkan nada suara Anda atau memukul mereka. Sebab, aksi itu hanya akan membuat mereka tambah nakal.

- Selalu memperlakukan anak sebagai orang dewasa

Mereka juga mencari rasa hormat dan kepentingan dari orang tua. Memberikan pujian karena berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, memberi kesempatan memutuskan baju yang akan dibeli, misalnya. Hal itu akan membuat mereka merasa dihargai.

- Cobalah untuk tidak memarahi

Jika anda ingin marah, sebenarnya itu hanya menunjukkan titik lemah Anda. Anak-anak akan dengan cepat menangkap reaksi Anda, bahkan bisa meniru perbuatan itu. Akan lebih baik, Anda mengarahkan mereka untuk melakukan sesuatu hal yang lebih positif.

- Jika anak melakukan kenakalan di depan orang lain

Jangan berteriak pada mereka. Tunggu sampai Anda kembali ke rumah atau orang lain tersebut menjauh. Kemudian menjelaskan secara tegas bahwa perilaku semacam ini tidak bisa diterima. Ingatkan juga pada mereka bahwa jika mengulangi perilaku ini, Anda akan memberikan hukuman.