er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Istilah-istilah Motorik

Ada beberapa istilah yang sering dipergunakan dalam belajar motorik yaitu :

1.Perkembangan Motorik (Motor Development)

Perkembangan motorik terutama dimaksudkan untuk mempelajari perilaku ditinjau dari pandangan perkembangannya. Adapun perilaku yang diperhatikan dalam konteks ini adalah perilaku dalam bentuk motorik.

2.Belajar Motorik (Motor Learning)

Belajar motorik terdiri dari dua kata yaitu belajar dan motorik. Belajar dapat dinyatakan sebagai perubahan internal individu yang disimpulkan dari perkembangan prestasinya yang relatif stabil, sebagai hasil latihan.Sedangkan motorik menunjukkan keadaan /sifat bentuk apa yang telah dihasilkan dalam proses berlatih.

3.Keterampilan (skill)

Keterampilan adalah tindakan yang memerlukan aktivitas gerak dan harus dipelajari agar supaya mendapatkan bentuk yang benar.

4.Kemampuan (ability)

Edwin Fleishman menyatakan bahwa kemampuan (ability) merupakan suatu kapasitas umum yang berkaitan dengan prestasi berbagai macam keterampilan.

5.Pola gerak (Movement Pattern)


Menurut Godfrey dan Kephart movement pattern adalah sebagai rangkaian tindakan motorik ekstensif yang dibentuk dengan tingkatan lebih rendah dibandingkan dengan tindakan yang dikategorikan sebagai keterampilan (skill).

Pengertian Motorik

Istilah motor menyiratkan adanya gerak otot, yang seakan-akan tidak banyak melibatkan aspek-aspek kognitif dan perseptual. Tetapi kenyataannya adalah keterampilan-keterampilan yang dilakukan biasanya merupakan sesuatu yang kompleks dan melibatkan penditeksian terhadap rangsang, evaluasi dan pengambilan keputusan serta respon nyata yang berwujud gerakan.

Pengertian motorik dan gerak sering kali menjadi satu karena diantara kedua istilah tersebut sangat sulit ditarik suatu batasan yang konkrit, dan memang terdapat hubungan sebab akibat. Namun demikian perlu diberikan suatu batasan yang minimal dapat memberikan penjelasan terhadap hubungan sebab akibat yang dimaksud.

Motorik dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa laten yang meliputi keseluruhan proses-proses pengendalian dan pengaturan fungsi-fungsi organ tubuh, baik secara fisiologis maupun secara psikis yang menyebabkan terjadinya suatu gerakan.Peristiwa-peristiwa laten yang tidak dapat diamati tersebut meliputi : penerimaan informasi, pemberian makna terhadap informasi, pengolahan informasi, proses pengambilan keputusan,dan dorongan untuk melakukan berbagai bentuk aksi-aksi motorik. Setelah itu dilanjutkan dengan peristiwa fisiologis yang meliputi pemberian, pengaturan dan pengendalian impuls kepada organ-organ tubuh yang terlibat dalam melaksanakan akssi-aksi motorik.

Gerak diartikan sebagai suatu proses perpindahan suatu benda dari suatu posisi ke posisi lain yang dapat diamati secara obyektif dalam suatu dimensi ruang dan waktu.Untuk memberikan pengertian yang lebih operasional tentang gerak, maka diperlukan suatu batasan yang lebih spesifik. Batasan yang dimaksud adalah pengertian gerak dari gerak manusia melakukan aksi-aksi motorik. misalnya perubahan tempat,posisi dan ketepatan tubuh atau bagian tubuh dalam melompat, berjalan, berlari atau menendang bola. Didalam belajar motorik, gerak juga dilihat atau diartikan sebagai hasil atau penampilan yang nyata dari proses-proses motorik,sebaliknya motorik adalah suatu proses yang tidak dapat diamati dan merupakan penyebab terjadinya gerak.

Sedangkan belajar motorik berhubungan dengan keadaan yang berkaitan dengan pengembangan dalam belajar. Belajar dapat didefinisikan sebagai satu perubahan prestasi ataupun perilaku yang relatif permanen akibat dari adanya suatu latihan ataupun pengalaman.Proses belajar akan mempersatukan ciri-ciri yang unik terhadap lingkungan yang ada. Mempelajari keterampilan motorik, sikap ataupun perilaku kognitif memerlukan beberapa tingkat keterbukaan pada kondisi tertentu yang akan menghasilkan perubahan perilaku atau disposisi untuk bertindak. Perubahan ini menjadi relatif permanen, dengan kata lain keadaan-keadaan performance yang bersifat sementara tidak benar mewakili belajar.

Menjadi Guru

Menjadi guru bukanlah pilihan alternative, dan ini perlu dihayati dan dipahami oleh seorang yang ingin menjadi guru. Apabila guru sebagai pilihan yang tidak diunggulkan, dan ini akan berdampak kepada psikologi yang bersangkutan. Karena untuk menjadi seorang guru memiliki serangkaian kemampuan, dan kemampuan itu tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui kesadaran, motivasi belajar dan proses berkelanjutan.

Guru adalah salah satu profesi yang jelas disebutkan seseorang yang memiliki kemampuan, kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh semua orang dan hanya dimiliki oleh seorang guru. Makanya guru adalah orang yang memiliki kemampuan di dalam memberikan pendidikan kepada anak didiknya, memberikan pengajaran dengan berbagai ilmu kepada anak didiknya, serta memberikan keterampilan kepada anak didiknya, sehingga anak didik yang dihasilkannya juga memiliki kemampuan sebagaimana yang dimiliki oleh gurunya sendiri.

Kemampuan guru akan berkait erat dengan kinerja guru, dan guru yang memiliki kinerja tinggi dan menyadari akan tugas dan tanggung jawab yang diembannya, maka guru akan berupaya mungkin untuk mendapatkan berbagai kemampuan sehigga guru memiliki wawasan dan kualifikasi ilmu seluas dan memiliki daya saing tinggi di dalam meningkatkan kemampuannya dalam proses pembelajaran di kelas. Kinerja guru kaitannya dengan kemampuan individu yang bersangkutan akan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan program pembelajaran di kelas. Profil dan ciri kemampuan guru, Rochman Natawidjaja mengutip pendapat D. A. Tisna Amidjaja mengatakan tiga aspek kemampuan guru, yaitu mencakup:
(1) Kemampuan pribadi; setiap guru harus memiliki kemampuan pribadi, karena dengan kemampuan nya itu, ia akan menjadi guru berkualitas, dan kualitas itu sendiri dapat dihasilkan bilamana di mulai dari kemampuan pribadi gurunya;
(2) Kemampuan professional, ini yang juga tidak kalah pentingnya dan kemampuan professional merupakan kemampuan di dalam menghayati dan mendalami bidang keilmuannya. Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan professional, maka akan berdampak kepada kualitas pembelajarannya, akhirnya juga bermuara kepada kualitas pendidikan secara nasional.
(3) Kemampuan kemasyarakatan atau sosial, dan guru juga harus memahami dan memiliki kemampuan ini, bagaimana guru mampu beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupan bermasyarakat, serta mampu melakukan sosialisasi dengan lingkungannya, sehingga dimanapun, dan kapanpun, serta dengan siapapun guru memiliki kemampuan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Charles Johnson mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Rochman Natawidjaja mengungkapkan seluruh kemampuan guru itu dalam enam komponen pokok, yaitu: (a) unjuk kerja ( performance), (b) penguasaan materi pelajaran yang harus diajarkan kepada siswanya, (c) penguasaan landasan professional keguruan dan pendidikan, (d) penguasaan prose-proses pengajaran dan pendidikan, (e) penguasaan cara untuk menyesuaikan diri, dan (f) kepribadian.

Keenam komponen di atas merupakan satu system dalam arti tidak boleh dipandang sebagai suatu yang terpisah-pisah, melainkan harus dipandang sebagai suatu keterpaduan yang menjelma dan bermuara pada kualitas unjuk kerja yang diperkirakan menunjang keberhasilan siswa dalam belajar. Huston dan kawan-kawan mengemukakan bahwa dalam penelitian yang dilaksanakan di Amerika Serikat oleh Nasional Education Association mengungkapkan 10 macam tugas guru yang harus dilakukan sehari-hari, yaitu: a. Manjaga agar selalu melaksanakan tugasnya, b. Mencatat kehadiran siswa, c. Menyesuaikan rencana kerja dalam kegiatan kelas, d. Memantau kegiatan-kegiatan di luar sekolah, e. Merencanakan pelajaran, f. Mendiskusikan pekerjaan dengan rekan sejawat, g. Memberikan penyuluhan kepada siswa, h. Memberikan respon kepada pertanyaan kepala sekolah, i. Mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa, j. Menghadiri rapat guru.

Agar dapat melaksanakan tugas sehari-hari dengan baik, guru harus memiliki kemampuan pribadi, kemampuan professional dan kemampuan kemasyarakatan atau kemampuan sosial. Kemampuan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kinerjanya dalam me-laksanakan tugas yang diembannya, terutama dalam merencanakan pembelajaran. Dengan memiliki kemampuan yang baik, diharapkan proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar dan tujuan pembelajaran di kelas dapat tercapai, dan keinginan kita untuk meningkatkan mutu pendidikan akan dapat dicapai.

Mengajar Dengan Hati

SAYA berharap kolom ini bisa menjadi tip bagi guru atau praktisi pe ndidikan, tapi sesungguhnya juga bagi kita semua, bahwa komunikasi akan efektif kalau dilakukan dengan sepenuh hati.

Artinya, hatinya penuh dengan ketulusan dan kesungguhan. Pekerjaan apa pun yang tidak menyertakan hati akan terasa hambar. Hati ini di sini memiliki konotasi positif,hati yang bening sesuai dengan kodratnya. Bagi seorang guru, ketika datang ke sekolah setidaknya mesti memiliki tiga bekal primer. Pertama, mesti siap dengan materi yang akan diajarkan. Tanpa kesiapan dan penguasaan materi, apa yang hendak disampaikan kepada siswa? Ini juga berlaku bagi seorang dosen.

Terlebih ketika menghadapi siswa atau mahasiswa yang kritis,guru atau dosen yang miskin penguasaan materi pasti akan ketahuan dan menurunkan wibawanya di depan kelas. Guru atau dosen yang baik tak kalah rajin belajarnya ketimbang siswa atau mahasiswanya. Hanya saja cara belajarnya berbeda. Namun, prinsipnya, guru atau dosen yang berhenti belajar berarti dia juga harus berhenti mengajar.

Hubungan guru-murid jauh berbeda dari hubungan antara montir dan kendaraan rusak yang hendak diperbaiki.Sehebat-hebat dan semahal-mahal harga mobil mutakhir,tak akan mampu mengalahkan kepintaran montirnya sekalipun gajinya rendah karena mobil adalah benda mati, tidak tumbuh dan tidak berkembang. Namun,yang dihadapi seorang guru adalah anak-anak dengan potensi besar dan bakat berbedabeda.

Anak-anak datang dengan mimpi, cita-cita besar, dan membawa harapan orang tuanya untuk membangun masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu seorang guru, termasuk orang tua,mesti menjadi pendengar dan pemerhati yang baik bagi anak-anak. Mesti selalu menambah wawasan tentang perkembangan psikologi anak dan berbagai temuan metode yang baru dan cocok untuk diterapkan pada anak-anak. Bekal kedua bagi seorang guru ketika masuk kelas adalah keterampilan menerapkan metode pembelajaran yang tepat, efektif, dan menyenangkan.
Saya sendiri punya pengalaman, pernah memperoleh seorang dosen yang ilmunya dalam dan luas dalam mata kuliah yang dipegang, tetapi mengajarnya kurang efektif. Tidak menarik dan tidak efisien. Miskin dalam aspek metodenya.Jadi guru yang baik bukan saja yang menguasai materi ajar, tapi tak kalah penting adalah metode pengajarannya tepat sehingga anakanak akan senang menerimanya.
Dalam sebuah penelitian psikologi pembelajaran disebutkan,jika suasana belajar menyenangkan, daya serap anak akan meningkat, bahkan berlipat.Coba saja perhatikan, belajar bahasa sambil menyanyi hasilnya akan lebih baik ketimbang model hafalan yang menjemukan. Ini berlaku terutama bagi anak-anak.Anak-anak biasanya lebih cepat pintar diajar guru privatprofesional ketimbang diajar orang tua sendiri yang mudah marahmarah tidak sabaran.

Dalam suasana bosan dan tegang, otak akan menciut,daya serapnya sedikit. Berdasarkan prinsip di atas, maka terkenal konsep joyful learning. Sebuah pembelajaran yang menyenangkan, tetapi bukan berarti santai, tidak serius.Yang ditekankan adalah metodenya menyenangkan agar materi yang telah disiapkan terserap secara optimal. Sejalan dengan konsep ini, ruang kelas pun hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga terasa indah dan nyaman.

Ruang kelas yang semrawut dan warna cat temboknya kusam akan memengaruhi pikiran dan hati siswa juga ikut semrawut. Bekal ketiga, di samping penguasaan materi dan metode,adalah kesiapan mental berupa cinta kepada anak-anak. Seorang guru yang baik ketika masuk ruang kelas mesti dengan hati. Dengan energi dan vibrasi cinta kepada anak-anak. Mengajar tanpa hati akan terasa hambar. Anak-anak pun tidak akan mendengarkan dengan hati.

Kita semua pasti punya pengalaman, guru-guru yang mengajar dengan hati pasti kesannya akan lebih mendalam sekalipun telah berlalu puluhan tahun. Oleh karena itu,pandai-pandailah mengatur dan menjaga hati. Ketika dari rumah atau di jalanan muncul rasa kesal,misalnya,maka ketika kaki menginjak halaman sekolah mesti mampu menata hati agar rasa kesal itu tidak terbawa masuk ruangan kelas. Mengajar dengan hati kesal pengaruhnya akan dirasakan langsung oleh anak-anak.

Akan dirasakan oleh teman-teman sejawat. Pengaruhnya akan terlihat pada air mukanya, pada tutur katanya, dan pada perilakunya yang ujungnya proses dan suasana pembelajaran tidak efektif. Oleh karena itu, penting sekali seorang guru memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan psikologi komunikasi. Bahwa dalam komunikasi yang berlangsung tidak sekadar tukar-menukar kata dan ide, tetapi faktor emosi juga akan sangat memengaruhi. (*)
penulis: PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Kompetensi Guru Dicuekin, Mengajar Seenaknya

Kalau guru lain sudah canggih dalam metode mengajarnya maka saya masih kuno, yah begitu-begitu saja. Sadar terlambat lebih baik daripada tidak mau beranjak untuk memperbaiki diri. Kadang mengajar tidak lebih dari mengandalkan apa yang di kepala tanpa persiapan pun masuk kelas. Karena merasa ‘hebat’ untuk materi yang akan diajarkan. Alhasil guru hebat seperti itu ternyata menghasilkan siswa sekarat.

Para guru sakti, mengajarpun biasa dengan tangan kosong. Karena sangat saktinya ia tidak perlu membawa apapun ke kelas. Siswapun terkesima dengan kesaktian sang guru. Masih banyak-kah guru-guru sakti zaman sekarang? Sepertinya sudah mulai punah. Patut dilestarikan tuh. Sayangnya guru sakti begitu malah tidak dianjurkan oleh ‘pakem’ mengajar jaman sekarang.

Mengajar dengan tanpa persiapan hasilnya memang berantakan (seperti guru sakti itu). Ini adalah salah satu sebab mengapa siswa kita sering mengalami kesulitan memahami apa yang kita sampaikan. Atau kalau tidak karena salah cara menyiapkan prosedur pembelajarannya. Guru seperti itu kadang anehnya, menanyakan sampai mana pelajaran pada pertemuan terakhir. Ini indikasi guru tidak melakukan persiapan, yang tahu siswa kan. Tapi apa yang bisa siswa lakukan terhadap guru semacam itu.

Sangat disayangkan tidak sedikit guru yang menyiapkan perangkat pengajarannya hanya karena alasan administrasi atau mau disupervisi. Inilah potret nyata guru profesional yang katanya sudah mengantongi sertifikat pendidik. Kita, guru seolah pingsan, tidak menyadari tugas guru itu mulya dan amat berat. Tapi karena sistem di negeri ini masih amburadul maka hal itu merupakan kesempatan empuk bagi guru untuk berleha-leha dan malas belajar lagi.

Jumlah siswa yang tambun semestinya membuat guru selalu sibuk untuk menyiapkan segala sesuatunya. Tapi di ruang-ruang guru di negeri ini masih ada saja guru yang asyik mahsyuk ngerumpi. Padahal di mejanya terongok setumpuk buku siswa yang tak kunjung disentuh. Masih mending ia rajin membaca, mengali ilmu, berbagi ilmu dengan rekan seprofesi di daratan lain di negeri ini atau aktif diskusi di milis yang mencerahkan diri. Duh…

Guru-guru yang tidak tahu tugasnya semestinya membaca kembali tuntutan standar kompetensi guru. Misalnya membuat matrik apa yang belum dia kerjakan dan kuasai. Tapi apa ada sih guru yang tidak tahu tugas dan tanggung jawabnya? Ups, gak perlu dijawab yah. Kalau mau coba saja periksa pada kompetensi profesional itu sudahkan ia penuhi semua. Sayangnya belum semua guru tahu kompetensi profesionalnya itu apa saja. Halah jangankan melakukan, baca aja belum pernah. Sungguh terlalu…!

Jika kita para guru memahami kompetensi pedagogi yang berjumlah 10 bagian itu, maka barang kali kita tak punya waktu luang untuk santai saat di sekolah. Tapi nyatanya kita malah bisa santai sesantai-santainya. Jadi ingat, rekan kita guru di Singapore tak satupun yang terlihat ngobrol dengan sesamanya. Mereka sibuk dengan akitaivitasnya yang kalau di indonesia layaknya pegawai bank. Kita?!

Kompetensi guru, guru apapun kita terkait TIK yaitu pada kompetensi pedagogik: memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran, pada kompetensi profesional: memanfaatkan TIK untuk berkomunikasi dan pengembangan diri. Itu sebagian kecil saja dari kompetensi yang harus kita punya sebagai guru.

Anak Betah Sekolah karena Orangtua dan Gurunya

Sebagian orangtua pernah mengalami kesulitan mengajak anaknya ke sekolah. Balita yang baru akan mulai sekolah pun bisa menolak pergi ke sekolah. Motivasi seperti apa yang seharusnya diberikan kepada anak?

Michael Ungar, PhD, terapis pernikahan dan keluarga, mengatakan bahwa penelitian menunjukkan, anak dari berbagai usia, etnis, dan tempat tinggal menginginkan adanya ikatan emosi dengan sekolah.

Menurut Ungar, anak membutuhkan rasa memiliki yang kuat dengan apa pun terkait sekolah mereka. Bukan hanya atas dirinya atau teman sekolahnya, melainkan juga orangtua dan guru.
Caranya?

Panggil namanya, bukan sekadar “Nak”

Anak membutuhkan pengakuan, setidaknya melalui gurunya, yang menyapanya dengan memanggil namanya. Petugas administrasi atau orangtua saat mendaftarkan anak juga perlu mengenalkannya. Tak sekadar menyebut nama, tetapi juga mengakui keberadaan anak.

Belajar ilmu praktis yang bermanfaat untuk hidupnya
Anak merasa lebih nyaman jika sekolahnya mengajarkan bagaimana hidup, bagaimana membuat keputusan, dan ilmu praktis yang bisa diterapkan dalam keseharian. Skill sosial sangat dibutuhkan anak untuk mencari solusi dari sebuah masalah. Anak menjadi mengerti tentang hak-haknya serta bagaimana membela dirinya dan menyelesaikan suatu masalah.

Keterlibatan orangtua
Sekolah bukan hanya untuk anak. Orangtua perlu terlibat untuk kemajuan kepribadian anak dan sekolahnya. Anak cenderung betah dan akan menumbuhkan rasa memiliki atas sekolah, jika orangtuanya terlibat aktif dalam kegiatan apa pun di sekolah.

Masuk 10 besar, bukan itu tujuannya

Banyak bukti menunjukkan bahwa anak senang bersekolah meski rankingnya biasa saja. Ranking hanya salah satu aspek yang didapatkan anak di sekolahnya. Anak senang bersekolah, umumnya, karena melihat adanya keterlibatan orangtua dan gurunya. Anak nyaman saat ada monitoring dari orang dewasa. Sekadar menuntut anak masuk ranking sepuluh besar hanya akan membuat anak melihat sekolah sebagai beban.

Hubungan pertemanan saling menguatkan

Hubungan dengan teman satu kelas bisa saling menguatkan. Namun terlalu banyak jumlah anak dalam satu kelas juga tidak akan menumbuhkan ikatan. Memilih kelas dengan jumlah anak yang dibatasi akan lebih baik untuk perkembangan emosi anak, terutama dalam menjalin hubungan pertemanan.
Female. Kompas