er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Anak Betah Sekolah karena Orangtua dan Gurunya

Sebagian orangtua pernah mengalami kesulitan mengajak anaknya ke sekolah. Balita yang baru akan mulai sekolah pun bisa menolak pergi ke sekolah. Motivasi seperti apa yang seharusnya diberikan kepada anak?

Michael Ungar, PhD, terapis pernikahan dan keluarga, mengatakan bahwa penelitian menunjukkan, anak dari berbagai usia, etnis, dan tempat tinggal menginginkan adanya ikatan emosi dengan sekolah.

Menurut Ungar, anak membutuhkan rasa memiliki yang kuat dengan apa pun terkait sekolah mereka. Bukan hanya atas dirinya atau teman sekolahnya, melainkan juga orangtua dan guru.
Caranya?

Panggil namanya, bukan sekadar “Nak”

Anak membutuhkan pengakuan, setidaknya melalui gurunya, yang menyapanya dengan memanggil namanya. Petugas administrasi atau orangtua saat mendaftarkan anak juga perlu mengenalkannya. Tak sekadar menyebut nama, tetapi juga mengakui keberadaan anak.

Belajar ilmu praktis yang bermanfaat untuk hidupnya
Anak merasa lebih nyaman jika sekolahnya mengajarkan bagaimana hidup, bagaimana membuat keputusan, dan ilmu praktis yang bisa diterapkan dalam keseharian. Skill sosial sangat dibutuhkan anak untuk mencari solusi dari sebuah masalah. Anak menjadi mengerti tentang hak-haknya serta bagaimana membela dirinya dan menyelesaikan suatu masalah.

Keterlibatan orangtua
Sekolah bukan hanya untuk anak. Orangtua perlu terlibat untuk kemajuan kepribadian anak dan sekolahnya. Anak cenderung betah dan akan menumbuhkan rasa memiliki atas sekolah, jika orangtuanya terlibat aktif dalam kegiatan apa pun di sekolah.

Masuk 10 besar, bukan itu tujuannya

Banyak bukti menunjukkan bahwa anak senang bersekolah meski rankingnya biasa saja. Ranking hanya salah satu aspek yang didapatkan anak di sekolahnya. Anak senang bersekolah, umumnya, karena melihat adanya keterlibatan orangtua dan gurunya. Anak nyaman saat ada monitoring dari orang dewasa. Sekadar menuntut anak masuk ranking sepuluh besar hanya akan membuat anak melihat sekolah sebagai beban.

Hubungan pertemanan saling menguatkan

Hubungan dengan teman satu kelas bisa saling menguatkan. Namun terlalu banyak jumlah anak dalam satu kelas juga tidak akan menumbuhkan ikatan. Memilih kelas dengan jumlah anak yang dibatasi akan lebih baik untuk perkembangan emosi anak, terutama dalam menjalin hubungan pertemanan.
Female. Kompas

5 Alasan Guru Takut Melakukan PTK

Dewasa ini banyak dijumpai guru yang belum melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di dalam proses pembelajarannya. Mengapa?
Ada 5 alasan utama yang menyebabkan guru takut melakukan PTK:


Kurang memahami profesi


Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia, sehingga hendaknya mereka menyadari ini. Guru harus dapat memahami peran dan fungsinya di sekolah, karena guru sekarang bukan hanya guru yang mampu mentransfer ilmu dengan baik, tetapi juga mampu digugu dan ditiru untuk memberi tauladan yang tidak hanya sebatas ucapan, tapi juga tindakan.

Profesi guru adalah profesi yang bukan hanya mulia di mata manusia, tetapi juga di mata Tuhan. Karena itu guru harus dapat mengajar dan mendidik dengan hatinya agar dapat menjadi mulia. Hati yang bersih dan suci akan terpancar dari wajahnya yang selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5 S dalam kesehariannya, yaitu Salam, Sapa, Sopan, Senyum, dan Sabar.

Malas membaca buku dan malas menulis

Masih banyak guru yang malas membaca, padahal dari membaca itulah akan terbuka wawasan luas. Kesibukan-kesibukan mengajar membuat guru merasa kurang sekali waktu untuk membaca. Ini nyata, dan terjadi di sekolah kita.

Bukan hanya di sekolah, di rumah pun guru malas membaca. Guru harus dapat melawan kebiasaan malas membaca. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu, namun bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa.

Guru yang rajin membaca, otaknya ibarat mesin pencari google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar.

Guru yang terbiasa membaca, maka akan terbiasa menulis. Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri. Guru yang rajin menulis, maka ia mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau.

Kurang sensitif terhadap waktu dan terjebak rutinitas


Guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik tidak akan banyak meraih prestasi dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang disia-siakan, sehingga guru harus sensitif terhadap waktu. Ia harus selalu terjaga dari sesuatu yang kurang bermanfaat.

Guru juga harus pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai terjebak rutinitasnya, yang justru tidak mengantarkan dia menjadi guru dan tidak dapat diteladani anak didiknya.

Guru harus pandai mensiasati pembagian waktu kerjanya. Buatlah jadwal yang terencana. Buang kebiasan-kebiasaan yang membawa guru untuk tidak terjebak di dalam rutinitas kerja, misalnya, membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda guru, di dalam blog internet, dan lain-lain. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi guru yang kurang berkualitas.

Kurang memahami PTK


Banyak guru kurang memahami penelitian tindakan kelas atau PTK. Guru menganggap PTK itu sulit. Padahal, PTK itu tidak sesulit yang dibayangkan, karena PTK dilakukan dari keseharian mereka mengajar.

Tidak ada yang sulit. Guru hanya perlu merenung sedikit dari proses pembelajarannya, mencatat masalah-masalah yang timbul, dan mencoba mencari solusinya. Ajaklah teman sejawat agar proses observasi dan refleksinya tidak terlalu subyektif.

PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Kompas.com

Citra Profesi Guru

Hanya ada dua profesi di dunia, yaitu guru dan bukan guru. Mungkin ini hanya sebuah pandangan subjektif, meskipun mungkin juga hal ini pun sangat benar adanya. Profesi guru menghasikan profesi lainnya, tetapi tidak sebaliknya. Ada sebagian orang yang jalan hidupnya berubah karena diinspirasi sosok guru. Guru, tak cukup pandai menjelaskan sajian materi pelajaran, tetapi lebih dari itu, guru adalah orang yang mampu membuat perbedaan bagi pribadi-pribadi siswanya karena perilakunya yang layak digugu dan ditiru.
Jika kita cermati sejarah perkembangan profesi guru di tahun 1960-an, profesi guru masih menjadi suatu profesi yang banyak diminati sehingga proses seleksinya pun relatif ketat. Alhasil, pada saat itu, mereka yang diterima untuk bisa belajar di lembaga pendidikan guru adalah para lulusan terbaik dari sekolah menengah (ranking I sampai III).

Siahaan, S. (2009), memiliki analisis tersendiri tentang fakta empiris terjaminnya kualitas mutu proses pendidikan guru di saat itu, di antaranya (1) lembaga pendidikan guru menerima peserta didik yang prestasi belajarnya termasuk dalam peringkat 3 besar, (2) selama mengikuti pendidikan guru, para peserta didik mendapat beasiswa atau tunjangan ikatan dinas, (3) selama mengikuti pendidikan guru, para peserta didik diasramakan sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber belajar yang tersedia, dan (4) setelah menyelesaikan pendidikan keguruan, mereka langsung ditempatkan sebagai guru di daerah asalnya masing-masing.

Satu lagi yang tak boleh dilupakan, di era tahun 1960-an, profesi guru tidak hanya dianggap prestisius di negeri sendiri, tapi diapresiasi juga oleh negara tetangga kita, Malaysia. Pemerintah Malaysia pada saat itu melihat para guru di Indonesia sebagai sosok yang memenuhi kualifikasi mereka untuk mengajar di Malaysia. Wajar jika kemudian mereka “mengimpor” guru-guru Indonesia untuk mengajar di Malaysia, serta “mengekspor” guru-guru mereka untuk mengikuti pendidikan guru di Indonesia. Era keemasan profesi guru di masa lampau.

Sampai di masa Orde Baru, profesi guru mengalami fase kemunduran. Tidak semua lulusan lembaga pendidikan guru memutuskan pilihan hidupnya sebagai guru. Terlebih ada juga sebagian lulusan lembaga pendidikan guru yang diangkat sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) tetapi tidak bekerja sebagai guru. Nyatanya, kondisi ini dipicu oleh persepsi yang berkembang mengenai situasi kekinian terkait dengan profesi guru, di antaranya: (1) gaji guru yang relatif rendah, (2) rumitnya prosedur birokrasi yang harus dihadapi guru dalam pengembangan karirnya, (3) merosotnya status guru di tengah-tengah masyarakat (Suparman, 2006). Akibatnya, lembaga pendidikan guru menjadi sangat sulit untuk mendapatkan lulusan sekolah menengah atas yang berprestasi dan memiliki keminatan menjadi guru. Tak dapat disangkal lagi, inilah sebab utama rendahnya ketersediaan guru-guru profesional di Bumi Pertiwi.

Terlebih, reposisi peran dan tanggung jawab lembaga pendidikan guru yang terus berkembang turut berpengaruh dalam menyiapkan profil guru yang berkualitas. Pendidikan Tenaga Penghasil Guru (PTPG), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP), Institut Pendidikan Guru (IPG), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), dan sekarang menjadi Universitas Pendidikan (Universitas Mantan IKIP, seperti Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Malang, dsb) merupakan proses transformasi dari lembaga pendidikan guru untuk menjawab kebutuhan penyediaan tenaga guru yang profesional dan berkarakter. Sayang seribu sayang, ketika tingkat kesejahteraan guru masih berada pada posisi yang relatif rendah, ini menjadi pemicu rendahnya minat para generasi muda untuk menjadi guru. Alasannya sangat sederhana, bekerja menjadi guru tidak menjamin penghidupan yang lebih baik. Wajar jika kemudian kita menemui fakta di lapangan bahwa sebagian besar orang memutuskan hidup menjadi guru hanya sebagai pilihan hidup yang kedua, ketiga, bahkan mungkin yang terakhir. Sungguh ironis.

Kini, pascaberlakunya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesi guru terkesan sedang diperhatikan dan hendak diangkat harkat martabatnya. Di sisi lain, kita malah makin mengkhawatirkan hadirnya banyak oknum yang mengaku guru dan tiba-tiba berubah pikiran untuk menjadi guru karena alasan yang satu ini. Segala cara dihalalkan. Pemalsuan sertifikat kian marak, satu dari sekian kasus curang yang dilakukan oknum guru yang tanpa sadar hendak menghancurkan nama baik korpsnya guru. Semua dilakukan semata untuk mendapatkan kenaikan upah satu kali gaji pokok, bukan atas dasar profesionalisme. Jika cara ini tidak diimbangi dengan upaya penguatan kapasitas lembaga pendidikan guru dan penataan sistem pengembangan profesional guru secara sistematis-berkelanjutan, kebijakan populer ini dirasa tak akan mampu menguatkan citra profesi guru di masyarakat. Yang ada malah kita sedang giat memproduksi musang berbulu domba, yaitu orang yang menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kekayaan materi dunia, bukan orang yang menjadikan kekayaan dunia sebagai alat untuk menyempurnakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru. Ini perkara yang patut dicermati seksama.

Jika kita mau belajar dari sejarah masa lampau, profesi guru hanya akan menjadi terhormat ketika pemerintah mau dan mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang memuliakan profesi mereka. Menurut Dedi Supriadi dalam bukunya Mengangkat Citra dan Martabat Guru (1999), berdasar berbagai studi yang dilakukan, tingkat kesejahteraan merupakan penentu yang amat penting bagi kinerja guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Jangan sampai perbaikan kesejahteraan bagi guru hanya untuk mengakomodasi kepentingan politis semata. Namun, langkah itu harus menjadi bagian dari proses pengembangan profesionalisme guru secara utuh.

Dua hal lain yang tak boleh dilupa, lakukan seleksi yang superketat bagi mereka yang hendak menjadi guru dengan memperhatikan aspek kemampuan akademis dan keminatan. Satu langkah strategis lainnya adalah melakukan upaya pembenahan dan penguatan kapasitas lembaga pendidikan guru sebagai tempat pertama dan utama untuk membina kapasitas profesional sekaligus membina akhlak karimah bagi para calon guru. Jika dua upaya ini tidak dilakukan, sesungguhnya kita tidak pernah sungguh-sungguh untuk menempatkan profesi guru pada singgasana yang terhormat.
( Lampung Post).

Mengembalikan Kehormatan Guru

Tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini profesi guru begitu terpuruk di mata masyarakat seperti saat ini. Seringnya guru mogok mengajar karena berdemonstrasi, citra guru yang rusak karena tuntutan ujian nasional, dan kebijakan pendidikan yang abai terhadap pengembangan profesional guru hanya beberapa kenyataan yang menunjukkan betapa kehormatan guru telah hilang. Mengembalikan kehormatan guru tak lagi bisa ditawar untuk menyelamatkan masa depan negeri ini. Tugas itu tak ringan dan memerlukan kerja sama banyak pihak sesuai cakupan tanggung jawab mereka. Hanya dengan pendekatan utuh dan sinergilah, kita dapat mengembalikan kehormatan guru.

Tiga sisi
Persoalan guru bisa diurai dengan melihatnya dari tiga sudut pandang: guru, negara, dan masyarakat. Pertama, persoalan yang penting direfleksikan oleh guru adalah bagaimana mereka tetap memiliki inspirasi pribadi yang memberi landasan nilai, makna bagi perkembangan dirinya sebagai guru. Inspirasi adalah sumber kekuatan, berupa nilai, prinsip pendidikan, dan tujuan hidup yang diyakini sebagai dasar bagi pengembangan panggilan pribadinya sebagai guru.

Memiliki inspirasi yang kuat sebagai guru berarti bahwa di tengah menumpuknya tugas rutin, guru tak pernah boleh kehilangan idealismenya sebagai pembelajar. Rutinitas dan keteraturan adalah ciri pendidikan formal. Persoalan seperti tugas administrasi, membuat silabus, satuan pelajaran adalah bagian dari kinerja guru. Oleh karena itu, beres secara administratif saja belum cukup. Lebih dari itu, mampu merefleksikan dasar terdalam panggilan sebagai guru bisa menjadi sumber rohani yang memungkinkan guru tetap menemukan makna di tengah tantangan dan kesulitan.

Memiliki inspirasi sangat penting sebab dengan itu, guru dapat mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan sebagai pengajar. Kebebasan adalah dasar dari pengembangan bermutu setiap profesi. Jika inspirasi tak ada, guru bisa kering nilai dan tanpa makna menjalani panggilan sebagai guru. Bahkan, guru bisa terpuruk sekadar jadi tukang yang melakukan sesuatu karena disuruh atau diperintah orang lain, atau sekadar taat aturan.

Tentu guru tak bisa bertindak seenak sendiri tanpa aturan yang sesuai dengan prosedur. Negara, dalam hal ini pemerintah, telah memberi rambu hukum dan peraturan yang membatasi profesi guru. Mengembalikan kehormatan guru tak mungkin terjadi secara efektif dan sistematis tanpa campur tangan negara.

Ruang kebebasan guru

Oleh karena itu, persoalan kedua yang mendesak dibuat oleh pemerintah untuk mengembalikan kehormatan guru adalah diberikannya ruang bagi guru untuk melaksanakan kebebasan profesionalnya sebagai guru dan pendidik. Ruang ini selama ini telah direnggut oleh UN. Pendidikan yang merupakan komunikasi antara anak didik dan guru jadi sebuah komunikasi teknis dan instrumental karena tak ada lagi keautentikan suasana pembelajaran yang terenggut karena tuntutan UN. Kehormatan guru tak akan pulih dengan efektif jika polemik seputar kebijakan UN tidak diselesaikan.

Negara memang telah memberi peraturan dan rambu untuk menyeleksi siapa saja yang layak dan pantas mengajar di depan kelas melalui peraturan perundang-undangan, terutama lewat sertifikasi. Namun, perlindungan atas profesi guru—negeri dan swasta—belum terjadi secara sinergis. Melindungi profesi guru dari terabasan berbagai kepentingan di luar dunia pendidikan, yang sering kali mempolitisasi guru, adalah hal yang mendesak.

Hal ketiga yang bisa membantu guru menemukan kembali kehormatan adalah tanggung jawab masyarakat sebagai rekan kerja utama para guru di sekolah, terutama orangtua. Mau tak mau, harus diakui, sekolah kita banyak diintervensi oleh orangtua dan masyarakat yang arogan, yang menganggap sekolah mesin produksi untuk memintarkan anak. Bahkan, ada yang sekadar menganggap sekolah lembaga pemberi ijazah. Mental dagang itu ada di masyarakat kita, dan guru harus berhadapan dengan kultur yang tak kondusif ini.

Mental dagang seperti tak mau terlibat dengan pendidikan anak karena sudah bayar mahal sekolah serta mental korup yang ada dengan membeli nilai atau ijazah adalah hal yang merugikan anak dan melecehkan martabat guru.

Namun, tak jarang juga mental dagang itu ada dalam diri guru sendiri. Gejala jual beli soal dan jawaban ujian, lobi orangtua untuk memperoleh nilai baik untuk anaknya dengan cara ”membeli” guru pun, sering juga tak disadari guru sebagai bagian yang sesungguhnya merusak martabatnya sebagai guru. Masyarakat perlu sadar bahwa kehormatan guru bisa pulih jika masyarakat membantu menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan guru dan anak didik. Tanpa bantuan masyarakat, pendidikan di sekolah tak akan berkesinambungan.

Mengembalikan kehormatan guru adalah hal mendesak. Tindakan yang bisa dibuat mesti sinergis dan simultan, serentak bersama-sama tiga pihak yang berkepentingan dengan pulihnya kehormatan dan martabat guru itu sendiri: guru, masyarakat, dan negara. Hari Guru Nasional yang kita peringati kemarin merupakan momentum untuk menyadari kembali, kehormatan guru harus segera dipulihkan demi perbaikan pendidikan di negeri ini.
( Kompas).

Apa yang Diharapkan Guru TK?

Saat masuk TK, guru berharap murid-muridnya telah memiliki beberapa keterampilan dasar.
Keterampilan personal

Berkomunikasi yang bisa dipahami orang lain

Meski diantar dan dijemput, anak sudah tahucara pulang ke rumah.

Bisa mengurus sendiri kebutuhannya, seperti ke kamar kecil, mencuci tangan, makan, dan memakai baju sendiri.

Keterampilan sosial

Bisa bermain dengan anak lain

Mengikuti kegiatan rutin harian.

Menyesuaikan diri dengan anak-anak lain dengan cara yang wajar.
Berbagi.

Membereskan mainan setelah selesai bermain.

Keterampilan akademis

Mengungkapkan gagasan dalam kalimat

Mendengarkan cerita tanpa banyak menginterupsi.

Mengenal namanya dalam bentuk tulisan.

Bisa berkonsentrasi saat mengerjakan tugas setidaknya selama 10 menit.

Sudah mengenal warna dasar merah, kuning, biru, hitam, cokelat, hijau.

Bisa menghitung hingga sepuluh.

Mengenali angka hingga 5.

Bisa membedakan objek yang sama dan berbeda.

Pendidikan Guru

Pendidikan sebuah bangsa tidak terlepas dari masa lalu sebuah bangsa. Indonesia yang memiliki sejarah panjang pembentukan sebuah negara berproses dari: masa kerajaan yang terpecah-pecah, masa penjajahan Belanda,masa penjajahan Jepang, dan masa Kemerdekaan.Masa yang dialami bangsa ini, juga dialami oleh bidang pendidikan, terutama pendidikan guru.
Pendidikan Guru merupakan pendidikan yang disengaja untuk membentuk guru yang profesional dalam kerangka menbangun sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter.
Periode Utama Pendidikan ini di Indonesia antara lain :
1.Masa Penjajahan Belanda: Masa Sistem Segregasi Pendidikan Guru
2.Masa Penjajahan Jepang: Masa Sistem yang Egaliter
3.Masa Kemerdekaan: Masa Sistem Pembaharuan Pendidikan yang Khas Indonesia.
Selintas Pendidikan Guru
H.AR Tilaar, 50 tahun Pengembangan Pendidikan Nasional 1945-1995, pendidikan ini cenderung mengalami generalisasi, dari pendidikan yang khusus ditujukan kepada siapa saja yang berkeinginan menjadi guru, menjadi model pendidikan yang umum.

Adapun pendidikan ini dibagi menjadi beberapa periodisasi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.Periode 1945 – 1949: Periode Rehabilitasi Sistem Pendidikan Guru
o Terjadi pada tahun 1945-1949
o Pemerintah melakukan langkah-langkah untuk memulihkan pendidikan guru.
2.Periode 1950-1965: Periode Ekspansi Sistem Pendidikan Guru
o Terjadi pada tahun 1950-1965
o Penambahan sekolah guru, baik dari tingkat:
o Kursus, yaitu Kursus Pengantar untuk Pengajar Kewajiban Belajar (KPKPKB)
o Pendidikan guru jenjang pendidikan tinggi seperti PTPG/Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
3.Periode 1969-1984: Periode Modernisasi Pendidikan Guru
Terjadi pemutakhiran dengan cara:
oMemperkenalkan metode-metode pembelajaran terbaru.
oMemperkenalkan perlengakapan tekonologi pembelajaran baru.
4.Periode 1984-1988: Periode Ambivalensi Lembaga Pendidikan Guru
5.Periode ini terjadi pada tahun 1984 –1988.
Ambivalensi muncul karena adanya keinginan untuk mencapai status yang setara dengan universitas, yaitu perguruan tinggi yang oleh masyarakat dipandang paling bergengsi.

Ada diksriminasi di tingkat DEPDIKNAS, bahwa lembaga IKIP tidak diperkenankan untuk membuat laboratori keilmuan dan atau melarang mahasiswa mengikuti kompetisi keilmuan. Seperti mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS), mahasiswa IKIP hanya boleh ikut kompetisi bidang pendidikan.

Hal ini menjadikan para pengelola IKIP berkeinginan mengubah ke lembagaanya menjadi universitas.

6.Periode 1989-1998: Periode Rasionalisasi
7.Periode ini terjadi tahun 1989-sekarang, dan muncul 3 persoalan kritis yaitu:
oDisyahkannya UU No. 2 Tahun 1989: Sistem Pendidikan Nasional
o Terjadinya reformasi politik, dari sentralisasi ke desentralisasi.
o Mulainya konversi status kelembagaan dari IKIP menjadi Universitas.
o Mulainya konversi status kelembagaan dari IKIP menjadi Universitas. Semua IKIP menjadi Universitas, baik berbentuk:
o Universitas Pendidikan, seperti UPI.
o Universitas Negeri, seperti UNJ, UNY, UNNES, UNESA, Unegeri Malang, UNIMED, dan lain-lain.
Konsekuensinya membuat konsep kompetensi mengajar menjadi makin kabur dan ruwet .
AnneAhira.com