setiap anak dilahirkan
cerdas. Inilah paradigma baru pendidikan yang sedang berkembang di dunia.
Kenyataan ini memang berlawanan dengan persepsi yang diyakini selama ini bahwa
anak cerdas berjumlah terbatas, seakan-akan mereka menempati strata tertentu. Adanya
penemuan terbaru ini memang diharapkan akan mengubah pendekatan pendidikan yang
selama ini terlanjur mapan.
Menurut Dr Thomas Amstrong, pakar
pendidikan dari Amerika setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi yang
memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Sifat yang menjadi bawaan itu antara
lain : keingintahuan, daya eksplorasi terhadap lingkungan, spontanitas,
vitalitas, dan fleksibilitas. Dipandang dari sudut ini maka tugas setiap orang
tua dan guru hanyalah mempertahankan sifat-sifat yang mendasari kecerdasan ini
agar bertahan sampai anak-anak itu tumbuh dewasa. Mengapa demikian? Karena
ternyata diketahui kualitas kecerdasan ini bisa rusak karena adanya sebab
tertentu.
Ironisnya pengaruh kuat yang merusak
potensi kecerdasan itu ternyata datang dari lingkungan terdekat mereka : rumah
dan sekolah!
Situasi rumah yang menimbulkan
depresi dan keterasingan berperan memupus bakat alamiah ini. Tekanan juga bisa
datang dari orang tua yang karena sebab tertentu malah menghambat kreatifitas,
keingintahuan, kegembiraan dalam bermain anak-anak. Ambisi orang tua agar
anak-anak mereka meraih prestasi tertentu mendorong anak-anak ini untuk tumbuh
terlampau cepat melampaui usia mental mereka dan pada saat bersamaan
menghilangkan kegembiraan masa kecil mereka.
Padahal para ahli mengingatkan bahwa
anak belajar dari permainan mereka. Bagi anak-anak bermain bukan aktifitas
remeh melainkan aktifitas yang serius terutama bagi perkembangan mereka.
Sayangnya yang terlihat di
masyarakat kita justru kenyataan sebaliknya. Di usia sangat dini mereka harus
kehilangan kegembiraan masa kecil mereka. Anak-anak kerap menanggung beban
keinginan orang tua mereka sendiri dengan terpaksa mengikuti berbagai macam
kursus: mulai kursus bahasa asing, sempoa, piano dan sebagainya. Sebenarnya
mengikuti berbagai kursus itu tidak menjadi masalah asal keinginan itu datang
dan atas kemauan anak itu sendiri. Prinsipnya anak-anak itu tidak kehilangan
kegembiraan dalam menjalaninya dan tidak kehilangan masa bermain mereka.
Sementara itu di sekolah, perusakan
potensi kecerdasan alami itu terjadi lewat kurikulum yang terlampau kaku, tidak
fleksibel atau malah membebani. Situasi sekolah yang tidak menyenangkan, guru
yang mengajar dengan cara yang membosankan juga ikut andil menyumbang
terkuburnya potensi alami tersebut.
Bertolak dari kenyataan itulah perlu
dikembangkan pendekatan pendidikan yang menjadi alternatif bagi sekolah pada
umumnya. Sekolah alternatif ini haruslah dirancang atas pendekatan bahwa setiap
anak itu mempunyai kecerdasannya sendiri. Lingkungan sekolah dirancang agar
anak-anak tumbuh dengan kreatifitas mereka sendiri, tidak kehilangan
kegembiraan masa kecil mereka, dan membuka ruang yang lebar untuk
mengeksplorasi lingkungannya. Kecerdasan alami anak dirangsang lewat kegiatan
sederhana seperti bercerita, permainan, kunjungan ke tempat tertentu, dan
mengajukan pertanyaan kritis.
Sekolah tersebut haruslah juga
menghilangkan sistem ranking. Juga tidak ada tes psikologi untuk mengukur
kecerdasan seorang anak. Tes psikologi untuk mengukur IQ yang kita kenal
sekarang ini jauh dari memadai untuk mengukur kemampuan otak manusia. Sistem
rangking malah menciptakan pelabelan di sekolah. Ada anak pintar dan ada anak
bodoh. Pendekatan pendidikan terbaru dikembangkan atas keyakinan bahwa setiap
anak mempunyai kecerdasannya sendiri dengan cara yang benar-benar berbeda
dengan anak lain. Karena itu dalam sistem ini upaya membanding-bandingkan
antara anak satu dengan anak lainnya dihindari.
Sebagai konsekuensinya kegiatan
belajar mengajar menggunakan pendekatan Multiple Intelligences yang
dikembangkan oleh pakar neurosains Dr Howard Gardner. Menurut teori ini manusia
mempunyai delapan macam kecerdasan sementara sistem pendidikan pada umumnya
hanya mengembangkan dua kecerdasan. Kecerdasan itu adalah: kecerdasan
linguistik, matematis-logis, viso-spasial, musik, kinestetik, interpersonal,
intrapersonal, dan naturalis. Anak didik dipetakan menurut kedelapan kecerdasan
ini dan mendidik mereka dengan cara berbeda sesuai dengan tipe kecerdasan yang
dimiliki masing-masing anak. Karena itu metode pengajaran yang diterapkan bisa
sangat khas.
Dalam mengajarkan matematika
misalnya, maka cara mengajar untuk anak dengan tipe kecerdasan linguistik
berbeda dengan anak bertipe kecerdasan matematis-logis dan berbeda pula untuk anak
dengan tipe kecerdasan viso-spasial. Pada umumnya para pengajar akan
berkeberatan jika murid-murid mereka bergerak selama pelajaran berlangsung, di
sisi lain anak dengan tipe kecerdasan kinestetik yang selalu bergerak akan
tersiksa jika mereka harus duduk diam selama pelajaran berlangsung, padahal
anak dengan tipe ini akan sangat cepat menyerap pelajaran justru dengan
membiarkannya bergerak. Pola inilah yang dikenal dengan mendidik sesuai
kecerdasan anak.
Para pendidik di sekolah seperti ini
mempunyai keyakinan bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan waktu tersendiri
dalam mempelajari atau menguasai sesuatu. Jadi tidak perlu memaksa anak yang
belum bisa membaca untuk bisa membaca misalnya. Sebab jika tiba saatnya anak
ini akan mampu membaca dengan sendirinya bahkan kemampuannya bisa melampaui
anak yang mampu membaca di usia yang lebih dini. Sangat penting untuk disadari
adalah menciptakan kondisi yang mampu membuka gerbang kecintaan anak-anak akan
pembelajaran. Dengan cara itu diharapkan kita akan mewariskan generasi
pembelajar yang mampu untuk belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri
sepanjang hidup mereka. Dan hal itu bisa dicapai dengan cara menghindarkan
setiap kondisi yang membuat mereka justru berhenti atau bahkan membenci proses
pembelajaran itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar