1. Konkret dan dapat dilihat langsung
Anak dapat dilatih untuk membuat hubungan sebab-akibat
jika dapat dilihat secara langsung. Misalnya dengan menggunakan neraca atau
timbangan, anak dapat melihat dengan percobaan air mengalir dalam pipa, anak
dapat melihat kenaikan pipa dan arah aliran air. dalam proses belajar hendaknya
anak dapat berinteraksi dengan benda-benda, bermain, dan melakukan eksplorasi
agar mereka memperoleh pengalaman langsung.
2. Bersifat pengalaman
Pembelajaran hendaknya menekankan pada proses
mengenalkan anak dengan berbagai benda, fenomena alam, dan fenomena sosial.
Fenomena tersebut akan mendorong anak tertarik terhadap berbagai persoalan,
sehingga ia ingin belajar lebih lanjut. Guru hendaknya tidak memaksa anak untuk
dapat berfikir logis dan rasional sebagaimana orang dewasa untuk mengambil
kesimpulan dari fenomena tersebut.
3. Seimbang antara kegiatan fisik dan
mental
Dalam pembelajaran sains kegiatan anak
berinteraksi dengan benda dikenal dengan hans on science. Anak dapat
menggunakan kelima indranya untuk melakukan observasi terhadap berbagai benda,
gejala benda dan gejala peristiwa. Selanjutnya guru dapat memberikan pertanyaan
untuk menstimulasi anak agar dapat berfikir lebih jauh berdasarkan hasil
pengindraanya. Proses berfikir tersebut dikenal dengan minds-on. Oleh karena
itu sebaiknya guru mendesain kegiatan pembelajaran sedemikian rupa agar
kegiatan hands-on dan minds-on dapat seimbang.
4. Berhati-hati dengan pertanyaan
“mengapa”
Pada orang dewasa, pertanyaan mengapa biasanya
harus dijawab dengan suatu konsep atau hubungan sebab akibat yang masuk akal
atau “ilmiah”. Bagi anak usia dini, kemampuan menjawab dengan hubungan
sebab-akibat belum berkembang, pertanyaan “mengapa” sering di artikan “untuk
apa” sehingga jawabannya bukan hubungan sebab-akibat, melainkan hubungan
fungsional.
Pertanyaan “mengapa air sungai mengalir ke laut?”
mungkin akan dijawab anak dengan jawaban “agar laut tidak kering”.
5. Sesuai tingkat perkembangan anak
Pembelajaran untuk anak usia dini harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, baik usia maupun dengan kebutuhan
individual anak. Pada umumnya, anak normal pada usia yang sama memiliki tingkat
perkembangan yang sama. Oleh karena itu, pembelajaran anak usia dini harus
disesuaikan baik lingkup maupun tingkat kesulitannya dengan kelompok usia anak.
6. Sesuai kebutuhan individual
Selain disesuaikan dengan kelompok usia anak,
pembelajaran anak usia dini perlu memperhatikan kebutuhan individual. Disadari
sepenuhnya bahwa anak pada dasarnya unik, ia memiliki karakteristik, bakat,
minat sendiri yang berbeda dengan anak yang lain. Oleh karena itu,
pembelajaran, selain memperhatikan kelompok usia juga harus memperhatikan
kebutuhan individual, seperti bakat, minat, dan tingkat kecerdasan anak.
7. Mengembangkan kecerdasan
Pembelajaran anak usia dini hendaknya tidak
menjejali anak dengan hafalan, tetapi mengembangkan kecerdasaanya. Penelitian
di bidang neuroscience (ilmu tentang saraf) menemukan bahwakecerdasan sangat
dipengaruhi oleh banyaknya sel saraf otak, hubungan antar sel saraf otak, dan
keseimbangan kinerja otak kanan dan otak kiri. Pada saat lahir sel otak sudah
terbentuk semua yang jumlahnya mencapai 100-200 miliar, dimana setiap sel dapat
membuat hubungan dengan 20.000 sel saraf otak lainnya, atau dengan kata lain
dapat membentuk kombinasi 100 miliar x 20.000. Oleh karena itu, anak usia (0-8
Tahun) merupakan usia yang sangat kritis bagi pengembangan kecerdasan anak.
Sayangnya, banyak guru, orang tua, dan pendidik anak usia dini yang “mengunci
mati” sel otak tersebut untuk menjalankan fungsi kapasitasnya yang tak
terhingga (unlimited capacity to learn) (Semiawan, 4004). Oleh karena itu guru
dan orang tua perlu memahami teknik stimulasi otak yang tepat untuk
mengembangkan kecerdasan anak, bukan sekedar menjejali anak dengan informasi
hafalan.
8. Sesuai langgam belajar anak
Tipe kecerdasan dan modalitas belajar yang
berbeda menyebabkan anak-anak belajar dengan cara yang berbeda. Selain tipe
kecerdasan, cara anak belajar juga dipengaruhi oleh modalitas belajarnya. Bagi
anak yang memiliki kecerdasan kinestetik dan memiliki indera peraba yang baik,
ia lebih baik belajar dengan cara membongkar pasang, mengamati, dan menyentuh
objek yang dipelajari. Sebaliknya bagi anak yang memiliki kemampuan pendengaran
baik, ia belajar secara auditif. Sedangkan anak yang memiliki modalitas
penglihatan, ia akan belajar secara visual, seperti membaca dan mengamati
gambar.
9. Kontekstual dan multikonteks
Pembelajaran anak usia dini harus kontekstual dan
menggunakan banyak konteks. Apa yang dipelajari anak adalah persoalan nyata
sesuai dengan kondisi dimana siswa berada. Berbagai objek yang ada disekitar
siswa, kejadian, dan isu-isu yang menarik dapat diangkat sebagai tema persoalan
belajar.
10. Terpadu
Pembelajaran anak usia dini sebaiknya bersifat
terpadu atau terintegrasi. Anak tidak belajar mata pelajaran tertentu, seperti
IPA, Matematika, Bahasa secara terpisah, tetapi fenomena dan kejadian yang ada
disekitarnya. Melalui bermain dengan air anak dapat belajar berhitung
(matematika), mengenal sifat-sifat air (IPA), menggambar air mancur (seni), dan
fungsi air untuk kehidupan (IPS).
11. Menggunakan esensi bermain
Pembelajaran anak usia dini menggunakan prinsip
belajar, bermain, dan bernyanyi. Pembelajaran disusun sedemikian rupa sehingga
menyenangkan dan demokratis, sehingga anak tertarik untuk terlibat dalam setiap
kegiatan pembelajaran. Esensi bermain meliputi perasaan yang menyenangkan,
merdeka, bebas memilih, dan merangsang anak terlibat aktif. Jadi prinsip
bermain sambil belajar mengandung arti bahwa setiap kegiatan pembelajaran harus
menyenangkan, gembira, aktif dan demokratis.
12. Belajar kecakapan hidup
Pendidikan anak usia dini mengembangkan diri anak
secara menyeluruh (the whole child). Berbagai kecakapan dilatihkan agar anak
kelak menjadi manusia seutuhnya. Bagian dari diri anak yang dikembangkan
meliputi bidang fisik-motorik, intelektual, moral, sosial, emosi, kreativitas,
dan bahasa. Tujuannya ialah agar kelak anak berkembang menjadi manusia yang
utuh yang memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, cerdas dan terampil,
mampu bekerja sama dengan orang lain, mampu hidup berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.
13. Belajar dari benda konkret
Mengajarkan angka 1, 2, dan 3 akan lebih baik
jika berkoresponden dengan benda, misalnya 1 dengan 1 biji, 2 dengan 2 biji dan
3 dengan 3 biji. Perkembangan indranya yang pesat dan tenaganya yang tak pernah
habis memungkinkan anak-anak pada tahap ini untuk selalu bergerak, membongkar
pasang sesuatu, dan menyelidiki sesuatu.
1 komentar:
Untuk melengkapi informasi di atas bisa dilihat pada site :
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2838/1/Artikel_30401971.pdf
Posting Komentar