Metode di TK
Secara umum, mungkin alasan tersebut bisa diterima. Akan berbeda jadinya bila terjadi case tertentu, misalnya, pada anak yang dominan aspek intrapersonalnya atau aspek eksistensial-nya; merupakan tipikal anak yang cenderung perenung, suka memikirkan sesuatu hingga mendalam, maka tampilannya mungkin akan terlihat introvert, penakut dan tidak mudah untuk menjalin relationship dengan sembarang orang. Anak seperti ini akan terlihat bermasalah dalam pandangan guru TK dan pasti akan semakin digiatkan agar ia dapat bertingkahlaku sebagaimana umumnya target anak bersekolah di TK; agar dapat bersosialisasi. Wah, pertanda mulai akan terjadi penghancuran dalam diri anak. Karena anak akan dipaksa secara halus maupun terang-terangan untuk mulai merubah karakter atau watak dasarnya. Tidak heran kalau kemudian timbul berbagai persoalan dalam proses belajar. Anakpun menjadi tidak nyaman dengan sekolahnya. Kalo anak terlihat tidak nyaman dengan sekolahnya pertanda sekolah tersebut tidak pas dengan dirinya jangan dibalik bahwa anak tersebut yang bermasalah sehingga tidak dapat menyesuaikan diri.
Seorang tokoh pendidikan, Piaget namanya, menyebutkan adanya konsep "keseimbangan" (Equilibrium), dimana hal ini akan tercapai bila input dari luar/lingkungan sesuai atau pas dengan pengetahuan dalamnya (inner knowledge), Piaget percaya bahwa setiap anak yang lahir sudah membawa pengetahuan atau content tertentu dalam dirinya, nah fungsi pendidik adalah mencari dari lingkungan atau semesta sekitarnya "sesuatu" yang pas dengan content tersebut agar tercapai keseimbangan. Tentunya "sesuatu" itu sangat spesifik pada setiap anak. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ki Hajar Dewantoro tentang pendidikan berbasis kultur artinya pendidikan harus mampu mencapai kesempurnaan lahir dan batin (luar dan dalam, inner to outer). Pendidikan yang baik harus mampu menyentuh aspek jiwa atau batin seseorang tidak hanya terfokus pada capaian raga semata. Jadi, kita harus mulai teliti mengamati kekhas-an anak kita yang dapat dikenali dari kecenderungannya, minatnya, tipikal kepribadiannya. Walaupun minat dan kecenderungan tersebut juga belum tentu minat sejatinya, karena peran lingkungan turut mewarnai pilihan anak terhadap sesuatu. Paling tidak pengamatan kita bisa menjadi data awal yang akan membantu proses pengenalan dirinya sendiri.
Beranjak ke alasan kedua, lazimnya setiap jenjang adalah proses persiapan untuk mengikuti jenjang berikutnya. Maka anak masuk TK agar siap masuk SD, anak masuk SD agar mudah mengikuti fase berikutnya, nah kalo sudah diperguruan tinggi bagaimana? Apakah bila kita masuk perguruan tinggi agar mudah mengikuti materi pelajaran di S2? Atau bagaimana? Karena masuk lapangan kerja pun mereka tidak siap pakai, Perguruan tinggi selalu berdalih bahwa mereka bukan bengkel kerja yang siap menelurkan montir. Anyway, balik ke TK lagi deh, kalo targetnya adalah untuk mempersiapkan anak masuk SD, guru kemudian cenderung memberikan materi bayangan atau bahkan materi sesungguhnya yang akan dipelajari di SD, umumnya yang disebut calistung (baca, tulis, hitung) itu. Yang terjadi kemudian anak seperti dijejalkan materi-materi sejak awal, pelajarannya dipercepat, setiap hari mereka bersikejar dengan pencapaian keterampilan baru.
Bila anak tidak mampu mengikuti, akan dilabeli sebagai anak bermasalah. Treatment yang diberikan adalah drill terhadap sesuatu yang justru menjadi kelemahannya, misal, bila anak tertinggal membaca, maka ia harus mengikuti pelajaran tambahan membaca. Bisa dibayangkan kemampuan seorang anak yang sebenarnya sangat kompleks kemudian di kerutkan hanya dominan pada domain calistung itu. Bukannya fokus pada aspek kekuatan/kelebihan anak, melainkan fokus pada kelemahan anak. Tidak heran kalo generasi sekarang adalah generasi yang cenderung minder, selalu melihat keluar, tidak bangga dengan apa yang ada dalam dirinya, tidak punya inisiatif karena kita cenderung hanya berpatokan pada trend. Contohnya, karena negara luar dianggap hebat, semenjak dini anak-anak kita masukkan ke sekolah yang berbahasa pengantar Inggris atau mandarin. Bukan tidak penting sih belajar bahasa asing, tapi belum pas untuk usia dasar, ada waktu yang tepat bagi anak untuk mulai belajar bahasa atau kebudayaan asing. kita perlu paham kapan waktunya anak kita mulai belajar sesuatu. Pada tiap tahapan usia ada aspek yang perlu dibangun kokoh terlebih dahulu sebelum beranjak belajar materi-materi praktis.
Sekarang balik lagi nih, kalo ada pertanyaan untuk apa sih sebenarnya anak masuk TK? Kalo menurut saya sih untuk menumbuhkan minat dia dalam memahami sesuatu dan sebisa mungkin mengakomodir kebutuhannya. Ada beberapa metode yang memungkinkan seorang anak diakomodir sesuai minat dan keinginannya, misalnya: metoda Multiple Intelegences dimana pembelajaran dimulai dari mengenali minat anak terhadap sesuatu. Misalnya saja bila anak minat di musik, maka dia akan distimulasi dengan berbagai materi yang akan menguatkan minat tersebut. Walaupun harus disadari juga bahwa minat belum tentu sinergi dengan bakat. Harus hati-hati jangan sampai ia frustrasi karena ia merasa suka musik tapi kok sulit memainkan alat musik.
Harus diamati kecenderungan temporer anak pada umumnya yang sangat dipengaruhi karakter perkembangan yang khas dan bentukan lingkungan sekitar. Bagaimanapun seorang anak sangat kompleks, memiliki keterampilan ganda, dan tidak partial, sangat memungkinkan bagi seseorang untuk menguasai berbagai keterampilan dengan baik, tidak hanya spesifik pada satu hal. Karena itu anak perlu dikayakan dengan banyak mengenal berbagai hal agar terpancing keingin-tahuannya, bila "sesuatu" yang dikenalkan itu telah menyentuh aspek rasa anak, menyentuh pengetahuan dalam, aspek batinnya, maka seperti yang dikatakan Piaget; ia telah mencapai keseimbangan, yang akan membuat ia kuat dalam menghadapi gempuran pembelajaran praktis di fase selanjutnya. "Keseimbangan" tersebut akan menentukan bagaimana seorang anak menghadapi persoalan dalam hidupnya kelak. Karena itu penting bagi orangtua maupun pendidik untuk mengenal jati diri seorang anak yang merupakan innate dari Tuhan yang Kuasa.
Demikian pula menurut Ki Hajar Dewantoro yang secara lebih spesifik menyatakan bahwa bagaimanapun metoda yang diaplikasi sebuah TK yang baik harus mampu memberi kesempatan bagi anak untuk dapat mengenal: kesenian, keindahan, rasa agama dan kesusilaan. Keempat hal tersebut merupakan dasar yang bila terbentuk dengan baik akan membuat anak mencapai "kematangan". "kematangan" tersebut penting karena merupakan tanda bahwa anak telah siap dalam menjalani kehidupan dengan baik, siap untuk belajar menghadapi fase pembelajaran dijenjang berikutnya yang cenderung praktis, dogmatis dan hapalan. "kematangan" yang dimaksud adalah tidak terlepas dari persoalan pengenalan jati diri anak.
Berikut, sedikit ajaran KiHajar dari ke-empat hal mendasar yang perlu dipenuhi dalam usia dini:
Kesenian, mengapa kesenian menjadi hal utama? Sebab kesenian adalah representasi dari khasanah suatu daerah, yang mengandung filosofi tertentu, tercakup didalamnya nilai yang dianut suatu suku tertentu, kebiasaan hidup, karakter masyarakat, bahkan kondisi geografisnya. Setiap daerah memiliki ke-jati-diri-an masing-masing. Sebelum mengenal jati diri individu setiap anak, penting untuk menenal jati diri tempat dimana ia dibesarkan atau budaya orangtuanya, karena setiap anak merupakan archetype dari orangtuanya. Dalam kitab suci, bahkan bahasa suatu daerah pun diajarkan langsung oleh malaikat atau "orang-orang terang". Suatu daerah mengandung misi ke-Illahiyah-an yang tinggi. Beruntung kita hidup di nusantara yang sangat kaya khasanah budaya dan seninya, perkenalkan anak dengan keragaman musik tradisional tersebut, dengan sering melihat pertunjukan langsung pentas seni tradisional, misalnya. Dalam tarian misalnya, tema tari-tarian menunjukkan apa yang menjadi aspek penting dalam masyarakat tertentu. Dari tarian minang temanya seperti; tari panen, tari piring, tari alang babega yang gerakannyapun cenderung maskulin, lebar, terentang (large muscle), sering menghentak kaki, musiknyapun jenis tetabuhan yang mudah ditebak ritmenya, sesuai dengan karakter mereka yang cenderung apa adanya, ekspresif, sedikit agresif, tanpa tedeng aling-aling.
Walau ada juga aspek romantismenya yang digambarkan dari alat musik saluang, biasanya digunakan untuk acara penyambutan tamu atau menyambut pengantin. Sementara tari jawa dan sunda diawali dengan tarian yang bertema seorang gadis yang sedang berdandan bersiap untuk dipinang, tahapan berikutnya, bercerita tentang kinerja seorang istri yang digambarkan dalam tari Bondan; bagaimana seorang ibu menina-bobo-kan anaknya, mencucikan pakaian sekaligus menjemur. Gerakan tari jawa cenderung halus, mengalir, langkahnya kecil-kecil, sangat feminin dan pantang mengangkat tangan melebihi ketiak. Musiknyapun sangat mengalir sehingga bila tidak konsentrasi dengan baik tidak bisa mendeteksi pergantian musik dan gerak. Tentu terkait dengan karakter masyarakatnya pula. Wah, menarik sekali kalau dikulik lebih dalam dan detil, dari satu kegiatan seni saja akan bercerita banyak tentang kompleksitas masyarakatnya dan terlihat keindahannya.
Rasa agama, nah ini menarik, karena rasa agama ini sering dipelesetkan dengan memberikan anak hapalan ayat-ayat sebanyak mungkin. Semakin banyak hapalan atau semakin sering melakukan sholat dianggap telah tumbuh rasa agamanya. Tidak mengapa bila memang keinginan tersebut tumbuh dari diri anak, misalnya saat dia mulai bertanya apa sih yang dibaca ketika sholat dan apa artinya, baru boleh orangtua mengajarkan. Tapi bila anak belum tergugah jangan dipaksa, jangan sampai waktu kecil ia terlihat mau sholat dan hapal ayat, ketika keluar dari rumah orangtuanya, itu tidak dijalankan lagi. Atau mungkin tetap menjalankan sholat tapi malah menjadi seorang yang keras, kaku, yang kerjanya menghujat orang dan merasa benar sendiri. Rasa agama mau tidak mau harus distimulasi dari orangtuanya sendiri, kalau ia menyaksikan betapa damai wajah orangtuanya selesai menjalankan ibadah, betapa menyejukkan mendengarkan orangtua yang membaca Al-Qur'an dengan kesungguhan, niscaya akan lebih menggugah ia. Tapi rasa agama ini juga tidak terbatas pada aspek ritual semata, ketika mulai tumbuh pertanyaan tentang semesta, misal, kalo orang meninggal atau hewan kesayangannya mati pergi kemana, laut yang dalam isinya apa, Tuhan dilangit sedang apa, aku dilahirkan untuk apa kalo jadinya malah sering dimarahi papa-mama? Merupakan pertanda mulai tumbuh keinginan untuk mengenal sesuatu yang lebih sejati.
Kesusilaan, pada aspek ini, anak diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama, dengan semesta, termasuk dengan benda-benda mati. Umumnya anak, kalo kejeduk pintu misalnya cenderung memukul pintu itu sebagai ekspresi kekesalannya, kita bisa ajarkan misalnya dengan mengataka;, maaf ya de, pintunya pingin ngasih tau ade agar hati-hati eh ga kedengaran suaranya jadi kejeduk deh. Yang pada intinya adalah agar kita pun menjaga interaksi dengan barang yang menjadi amanah kita. mulai belajar mengahargai sesuatu yang ada disekeliling kita, pun terhadap benda mati.
Contoh lain ketika ia ingin memetik bunga, kita katakan: bunga, maaf ya aku suka kamu, boleh aku petik ya, satu aja, nanti bunga tumbuh yang banyak lagi ya. Kesusilaan hendaknya lahir dari kesadaran anak, boleh saja diajarkan tapi sekali lagi jangan memaksa, misalnya, memaksa anak agar selalu menggunakan tangan kanannya untuk merespon pertama kali entah untuk salaman, makan, menulis, mengambil sesuatu dan sebagainya. Perhatikan, respon awal bayi dan anak kecil adalah menggunakan tangan kiri, karena terkait dengan kreatifitas. terlalu fokus dengan penggunaan satu tangan tertentu saja akan mematikan aspek kemampuan lainnya. Kesempatan bagi orangtua untuk mengoptimalkan penggunaan kedua tangannya, misalnya diajarkan memegang alat tulis menggunakan kedua tangannya, salaman dengan menggunakan kedua tangannya (ala sunda), makan dengan menggunakan tangan secara bergantian. Pada fase tertentu mereka akan mencapai kematangan untuk menentukan kapan ia menggunakan tangan kanan, kiri atau keduanya.
Sekarang yang perlu kita siapkan sebagai langkah awal adalah menajamkan pengamatan terhadap perkembangan masing-masing anak. Dan mulai menghargai anak dengan tidak memaksakan kehendak maupun nilai-nilai sepandangan kita. Bahwa mereka memiliki kekhas-an masing-masing -yang hanya mereka sendiri yang dapat menemukannya- dan memiliki masa depan yang mungkin tidak terimajinasi dalam pikiran kita.
0 komentar:
Posting Komentar