er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Iklim Sekolah Kaitannya dengan Hasil Akademik dan Non Akademik Siswa

Iklim sekolah didefinisikan orang secara beragam dan dalam penggunaanya kerapkali dipertukarkan dengan istilah budaya sekolah. Iklim sekolah sering dianalogikan dengan kepribadian individu dan dipandang sebagai bagian dari lingkungan sekolah yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis serta direfleksikan melalui interaksi di dalam maupun di luar kelas. Halpin dan Croft (1963) menyebutkan bahwa iklim sekolah adalah sesuatu yang bersifat intangible tetapi memiliki konsekuensi terhadap organisasi.

Tagiuri (1968) mengetengahkan tentang taksonomi iklim sekolah yang mencakup empat dimensi, yaitu: (1) ekologi; aspek-aspek fisik-materil, seperti bangunan sekolah, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK dan sejenisnya (2) milieu: karateristik individu di sekolah pada umumnya, seperti: moral kerja guru, latar belakang siswa, stabilitas staf dan sebagainya: (3) sistem sosial: struktur formal maupun informal atau berbagai peraturan untuk mengendalikan interaksi individu dan kelompok di sekolah, mencakup komunikasi kepala sekolah-guru, partispasi staf dalam pengenbilan keputusan, keterlibatan siswa dalam pengambilan keputusan, kolegialitas, hubungan guru-siswa; dan (4) budaya: sistem nilai dan keyakinan, seperti: norma pergaulan siswa, ekspektasi keberhasilan, disiplin sekolah.

Berdasarkan berbagai studi yang dilakukan, iklim sekolah telah terbukti memberikan pengaruh yang kuat terhadap pencapaian hasil-hasil akademik siswa. Hasil tinjauan ulang yang dilakukan Anderson (1982) terhadap 40 studi tentang iklim sekolah sepanjang tahun 1964 sampai dengan 1980, hampir lebih dari setengahnya menunjukkan bahwa komitmen guru yang tinggi, norma hubungan kelompok sebaya yang positif, kerja sama team, ekspektasi yang tinggi dari guru dan adminstrator, konsistensi dan pengaturan tentang hukuman dan ganjaran, konsensus tentang kurikulum dan pembelajaran, serta kejelasan tujuan dan sasaran telah memberikan sumbangan yang berharga terhadap pencapaian hasil akademik siswa.

Hubungan sosial antara siswa dengan guru yang mutualistik merupakan unsur penting dalam kehidupan sekolah. Guru yang memiliki interes, peduli, adil, demokratis, dan respek terhadap siswanya ternyata telah mampu mengurangi tingkat drop out siswa, tinggal kelas, dan perilaku salah suai di kalangan siswa (Farrell, 1990; Fine, 1989; Wehlage & Rutter, 1986; Bryk & Driscoll, 1988). Studi yang dilakukan oleh Wentzel (1997) mengungkapkan bahwa iklim sekolah memiliki hubungan yang positif dengan motivasi belajar siswa. Sementara itu, studi longitudional yang dilakukan oleh Roeser & Eccles (1998) membuktikan bahwa guru yang bersikap adil dan jujur memiliki dampak ke depannya bagi penguasaan kompetensi akademik dan nilai-nilai (values) akademik. Studi yang dilakukan Stockard dan Mayberry (1992) menyimpulkan bahwa iklim sekolah, yang mencakup : ekspektasi prestasi siswa yang tinggi, lingkungan sekolah yang teratur, moral yang tinggi, perlakuan terhadap siswa yang positif, penyertaan aktivitas siswa yang tinggi dan hubungan sosial yang positif ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan hasil-hasil akademik siswa.

Selain berdampak positif pada pencapaian hasil akademik siswa, iklim sekolah pun memiliki kontribusi positif terhadap pencapaian hasil non akademik, seperti pembentukan konsep diri, keyakinan diri, dan aspirasi (Brookover et al., 1979; McDill & Rigsby, 1973; Mitchell, 1968; Anderson, 1982). Studi yang dilakukan Battistich dan Hom (1997) mengungkapkan bahwa adanya perasaan akan komunitas (sense of community) dapat mengurangi secara signifikan terhadap munculnya perilaku bermasalah seperti, keterlibatan narkoba, kenakalan remaja dan tindak kekerasan. Iklim sekolah yang positif juga dapat menurunkan tingkat depresi (Roeser & Eccles 1998). Studi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1983 yang menguji tentang kesehatan perilaku, gaya hidup dan konteks sosial pada kalangan anak muda di 28 negara menunjukkan bahwa keterlibatan peran dalam pengambilan keputusan di sekolah, perasaan memperoleh dukungan dari guru dan siswa lainnya ternyata berkorelasi dengan semakin berkurangnya kebiasaan merokok, tingginya aktivitas fisik, serta tingkat kesehatan dan kualitas hidup yang baik (Currie et al. 2000). Iklim sekolah juga berpengaruh terhadap pembentukan nilai-nilai kewarganegaraan (civic values). Sebagai contoh: hubungan guru-siswa yang saling menghormati, adanya kebebasan untuk menyatakan tidak setuju, mau mendengarkan siswa meski dalam perspektif yang berbeda telah memberikan dampak terhadap tingkat kekritisan siswa tentang berbagai isu yang terkait dengan kewarganegaraan (Newmann, 1990). Selain itu, siswa juga lebih toleran terhadap perbedaan (Ehman, 1980) dan lebih mengenal terhadap berbagai hubungan internasional (Torney-Purta & Lansdale, 1986).

Adaptasi dan disarikan dari : Les Gallay and Suet-ling Pong. 2004. School Climate and Students’ Intervention Strategies on line www.pop.psy.edu

Kode Etik Guru Indonesia

1.Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila
2.Guru memiliki dan melaksanakan kewjujuran professional
3.Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan
4.Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar
5.Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan
6.Guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu da martabat profesinya
7.Guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional
8.Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
9.Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan

Ciri Guru Ideal

Ciri guru ideal yang bagaimanakah yang harus dimiliki oleh setiap pendidik?
Guru adalah sosok manusia yang memiliki kelebihan dan kemampuan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran.Sosok guru merupakan hal terpenting bagi keberhasilan sistem pendidikan.
Di era global ini, idealnya guru harus terus belajar, kreatif mengembangkan diri dan potensinya, mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kualitas pendidikannya.

Ciri guru ideal di era global sekarang ini adalah guru yang profesional dalam peranannya sebagai pendidik, pengajar,pelatih, inovator sekaligus sebagai motivator untuk mencerdaskan peserta didiknya.

Adapun ciri- ciri guru ideal menurut penulis antara lain sebagai berikut:
1.Pintar dan berwawasan luas.
2.Disiplin
3.Mampu menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi.
4.Berkepribadian yang mantap, stabil, dewasa,arif dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berahklak mulia.
5.Menjaga hubungan baik dan harmonis dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
6.Berpenampilan sederhana, menarik, rapi, dan sopan.
7.Memandang bahwa pekerjaan mendidik, mengajar merupakan sesuatu yang menarik dan menantang serta merupakan tanggung jawab pribadi seorang pendidik.
8.Bersedia melayani peserta didik yang lamban dengan penuh kesabaran.
9.Bersikap realitis terhadap peserta didik.

Bagaimana Menjadi Guru Ideal

Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan contoh atau keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami.

Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Tapi, dia pun harus bisa menerima kritikan dari peserta didiknya. Dari kritik itulah dia dapat belajar dari para peserta didiknya. Guru ideal justru harus belajar dari peserta didiknya. Dari mereka guru dapat mengetahui kekurangan cara mengajarnya, dan melakukan umpan balik (feedback). Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini? Apakah guru ideal hanyalah guru yang sudah lulus sertifikasi guru? Benarkah demikian?

Dari hasil perenungan yang mendalam, dan juga hasil wawancara dengan teman-teman guru di mana penulis bertugas didapatkan pendapat yang beragam dan mengerucut pada tiga pendapat tentang guru ideal. Guru ideal yang diperlukan saat ini adalah pertama, guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Senyum, Salam, Sapa, Syukur, dan Sabar).

Kedua, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki sifat selalu berkata benar, penyampai yang baik, kredibel, dan cerdas. Guru yang memiliki keempat sifat itu adalah guru yang mampu memberikan keteladanan dalam hidupnya karena memiliki budi pekerti yang luhur. Selalu berkata benar, mengajarkan kebaikan, dapat dipercaya, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Sifat tersebut di atas harus dimiliki oleh guru dalam mendidik anak didiknya karena memiliki motto iman, ilmu, dan amal. Memiliki iman yang kuat, menguasai ilmunya dengan baik, dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain.

Selain itu, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan perilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat.

Kelima kecerdasan itu adalah:

1.kecerdasan intelektual

2.kecerdasan moral

3.kecerdasan social

4.kecerdasan emosional

5.kecerdasan motorik

Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, mengapa?

Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses. Segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus plagiarisme (menjiplak karya tulis ilmiah milik orang lain) dan korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan.

Selain kecerdasan intelektual dan moral, kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh guru ideal agar tidak egois, dan selalu memperdulikan orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Dia pun harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar guru tidak mudah marah, tersinggung, dan melecehkan orang lain. Dia harus memiliki sifat penyabar dan pemaaf.

Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal. Kecerdasan motorik harus senantiasa dilatih agar guru dapat menjadi kreatif dan berprestasi. Dia memiliki ambisi dan cita-cita yang tinggi seperti menggapai bintai di langit. Tak salah bila pada akhirnya peserta didik mengatakan, “guruku mampu menggapai bintang di langit.”

Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila anda berprofesi sebagai seorang guru harus mampu berlomba-lomba untuk menjadi sosok guru yang ideal. Ideal di mata peserta didik, ideal di mata masyarakat, dan ideal di mata Sang Maha Pemberi. Bila semakin banyak guru ideal yang tersebar di sekolah-sekolah kita, maka sudah dapat dipastikan akan banyak pula sekolah-sekolah berkualitas yang mampu membentuk karakter siswa untuk memiliki budi pekerti yang luhur. Mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang diharapkan oleh para leluhur bangsa.

Semoga sosok guru ideal semakin banyak dalam dunia pendidikan kita.

Pentingnya Rasa Cinta dalam Pendidikan

Sebagai salah satu bentuk emosi individu, rasa cinta bisa hadir dalam subjek dan objek serta situasi yang beragam. Dalam pendidikan pun sebenarnya terdapat rasa cinta, baik yang dialami oleh guru, siswa, atau orang lainnya yang terlibat dalam pendidikan. Sebagai perwujudan dari sikap profesionalnya, selain dituntut untuk dapat memiliki rasa cinta terhadap pekerjaan yang digelutinya, seorang guru juga penting untuk dapat memiliki rasa cinta terhadap peserta didiknyaBentuk manifestasi cinta guru terhadap peserta didiknya tentunya berbeda dengan bentuk manifestasi jenis cinta lainnya, seperti cinta erotis, cinta Tuhan, atau cinta orang tua. Walau pun dalam kasus-kasus tertentu didapati tumpang tindih dalam mewujudkan rasa cintanya, dimana kecintaan terhadap peserta didik berubah menjadi cinta erotis, yang tentu saja menjadi sangat berbeda dan bertolak belakang dari makna yang sesungguhnya.

Perasaan cinta guru terhadap seluruh peserta didiknya merupakan hal yang amat penting dan dianggap sebagai alat utama dalam pendidikan. Hal yang menjadi tragis ketika para pendidik senantiasa disibukkan dan dituntut untuk menguasai bahan ajar atau mengembangkan metode dan teknologi pembelajaran tertentu, tetapi mereka justru melupakan pentingnya rasa cinta terhadap peserta didik. Penguasaan bahan ajar dan metode dan teknologi pembelajaran oleh guru memang penting, tetapi jika proses pendidikan harus melupakan aspek cinta sebagai alat utamanya maka pendidikan akan terasa menjadi kering dan kehilangan ruhnya.

Mungkin kita bertanya, kenapa mahasiswa berdemo secara anarkis? Kenapa ada sekelompok siswa perempuan membentuk gank yang menebarkan kebencian? Kenapa ada orang berpendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana, tetapi mereka justru menimbulkan kesengsaraan kepada banyak orang melalui perilaku korupsinya? Tampaknya disinilah pentingnya pendidik untuk dapat mengembangkan rasa cintanya secara konstruktif dalam berhubungan dengan siswanya, yang diwujudkan dalam bentuk rasa empati, memperhatikan kebahagiaan, kesejahteraan dan perkembangan dari para peserta didiknya, melakukan berbagai upaya dan turut membantu para peserta didiknya untuk mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemajuan.

Melaui proses pendidikan yang didasari rasa cinta, pada gilirannya selain dapat mengantarkan seseorang memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, meraih kedudukan yang terhormat dan kekayaan yang melimpah, juga diharapkan dapat membelajarkan kepada peserta didiknya untuk mengenal dan memiliki rasa cinta, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi sosok -manusia yang penuh kecintaan, baik terhadap dirinya, sesamanya dan Tuhannya.

Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah

Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.

Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu.

Freud (Calvin S. Hall, 1993) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:

Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.
Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting (dorongan Id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan impulsif.
Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma

Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh para siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakan proses psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang siwa mengalami kecemasan atau tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan berusaha mengenali simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor yang melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.

Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan pra sarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa.yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.

Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.

Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu ada upaya-upaya tertentu untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, diantaranya dapat dilakukan melalui:

1.Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang digunakan hendaknya berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkspresikan diri dan dapat mengambil peran aktif dalam proses pembelajarannya.
2.Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyanya dapat mengembangkan “sense of humor” dirinya maupun para siswanya. Kendati demikian, lelucon atau “joke” yang dilontarkan tetap harus berdasar pada etika dan tidak memojokkan siswa.
3.Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi “game” atau “ice break” tertentu, terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan guru dalam mengembangkan dinamika kelompok tampaknya sangat diperlukan.
4.Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas.
5.Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan menyebabkan siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi tidak juga terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi.
6.Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan sesama siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan reinforcement negatif (hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner pada siswanya.
7.Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self assessment) atas tugas dan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pada saat berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi yang tidak mencekam, namun dengan tetap menjaga ketertiban dan objektivitas. Berikanlah umpan balik yang positif selama dan sesudah melaksanakan suatu asesmen atau pengujian.
8.Di hadapan siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang otoritas yang dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan.
9.Pengembangan menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa, seperti ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan yang nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin sekolah yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan fisik maupun psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru, teman maupun orang-orang yang berada di luar sekolah.
10.Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan inti di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam hal ini, ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya menjadi mutlak adanya.

Melalui upaya – upaya di atas diharapkan para siswa dapat terhindar dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat secara fisik maupun psikis, yang pada gilirannya dapat menunjukkan prestasi belajar yang unggul.