er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Mengajar Dengan Hati

SAYA berharap kolom ini bisa menjadi tip bagi guru atau praktisi pe ndidikan, tapi sesungguhnya juga bagi kita semua, bahwa komunikasi akan efektif kalau dilakukan dengan sepenuh hati.

Artinya, hatinya penuh dengan ketulusan dan kesungguhan. Pekerjaan apa pun yang tidak menyertakan hati akan terasa hambar. Hati ini di sini memiliki konotasi positif,hati yang bening sesuai dengan kodratnya. Bagi seorang guru, ketika datang ke sekolah setidaknya mesti memiliki tiga bekal primer. Pertama, mesti siap dengan materi yang akan diajarkan. Tanpa kesiapan dan penguasaan materi, apa yang hendak disampaikan kepada siswa? Ini juga berlaku bagi seorang dosen.

Terlebih ketika menghadapi siswa atau mahasiswa yang kritis,guru atau dosen yang miskin penguasaan materi pasti akan ketahuan dan menurunkan wibawanya di depan kelas. Guru atau dosen yang baik tak kalah rajin belajarnya ketimbang siswa atau mahasiswanya. Hanya saja cara belajarnya berbeda. Namun, prinsipnya, guru atau dosen yang berhenti belajar berarti dia juga harus berhenti mengajar.

Hubungan guru-murid jauh berbeda dari hubungan antara montir dan kendaraan rusak yang hendak diperbaiki.Sehebat-hebat dan semahal-mahal harga mobil mutakhir,tak akan mampu mengalahkan kepintaran montirnya sekalipun gajinya rendah karena mobil adalah benda mati, tidak tumbuh dan tidak berkembang. Namun,yang dihadapi seorang guru adalah anak-anak dengan potensi besar dan bakat berbedabeda.

Anak-anak datang dengan mimpi, cita-cita besar, dan membawa harapan orang tuanya untuk membangun masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu seorang guru, termasuk orang tua,mesti menjadi pendengar dan pemerhati yang baik bagi anak-anak. Mesti selalu menambah wawasan tentang perkembangan psikologi anak dan berbagai temuan metode yang baru dan cocok untuk diterapkan pada anak-anak. Bekal kedua bagi seorang guru ketika masuk kelas adalah keterampilan menerapkan metode pembelajaran yang tepat, efektif, dan menyenangkan.
Saya sendiri punya pengalaman, pernah memperoleh seorang dosen yang ilmunya dalam dan luas dalam mata kuliah yang dipegang, tetapi mengajarnya kurang efektif. Tidak menarik dan tidak efisien. Miskin dalam aspek metodenya.Jadi guru yang baik bukan saja yang menguasai materi ajar, tapi tak kalah penting adalah metode pengajarannya tepat sehingga anakanak akan senang menerimanya.
Dalam sebuah penelitian psikologi pembelajaran disebutkan,jika suasana belajar menyenangkan, daya serap anak akan meningkat, bahkan berlipat.Coba saja perhatikan, belajar bahasa sambil menyanyi hasilnya akan lebih baik ketimbang model hafalan yang menjemukan. Ini berlaku terutama bagi anak-anak.Anak-anak biasanya lebih cepat pintar diajar guru privatprofesional ketimbang diajar orang tua sendiri yang mudah marahmarah tidak sabaran.

Dalam suasana bosan dan tegang, otak akan menciut,daya serapnya sedikit. Berdasarkan prinsip di atas, maka terkenal konsep joyful learning. Sebuah pembelajaran yang menyenangkan, tetapi bukan berarti santai, tidak serius.Yang ditekankan adalah metodenya menyenangkan agar materi yang telah disiapkan terserap secara optimal. Sejalan dengan konsep ini, ruang kelas pun hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga terasa indah dan nyaman.

Ruang kelas yang semrawut dan warna cat temboknya kusam akan memengaruhi pikiran dan hati siswa juga ikut semrawut. Bekal ketiga, di samping penguasaan materi dan metode,adalah kesiapan mental berupa cinta kepada anak-anak. Seorang guru yang baik ketika masuk ruang kelas mesti dengan hati. Dengan energi dan vibrasi cinta kepada anak-anak. Mengajar tanpa hati akan terasa hambar. Anak-anak pun tidak akan mendengarkan dengan hati.

Kita semua pasti punya pengalaman, guru-guru yang mengajar dengan hati pasti kesannya akan lebih mendalam sekalipun telah berlalu puluhan tahun. Oleh karena itu,pandai-pandailah mengatur dan menjaga hati. Ketika dari rumah atau di jalanan muncul rasa kesal,misalnya,maka ketika kaki menginjak halaman sekolah mesti mampu menata hati agar rasa kesal itu tidak terbawa masuk ruangan kelas. Mengajar dengan hati kesal pengaruhnya akan dirasakan langsung oleh anak-anak.

Akan dirasakan oleh teman-teman sejawat. Pengaruhnya akan terlihat pada air mukanya, pada tutur katanya, dan pada perilakunya yang ujungnya proses dan suasana pembelajaran tidak efektif. Oleh karena itu, penting sekali seorang guru memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan psikologi komunikasi. Bahwa dalam komunikasi yang berlangsung tidak sekadar tukar-menukar kata dan ide, tetapi faktor emosi juga akan sangat memengaruhi. (*)
penulis: PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Kompetensi Guru Dicuekin, Mengajar Seenaknya

Kalau guru lain sudah canggih dalam metode mengajarnya maka saya masih kuno, yah begitu-begitu saja. Sadar terlambat lebih baik daripada tidak mau beranjak untuk memperbaiki diri. Kadang mengajar tidak lebih dari mengandalkan apa yang di kepala tanpa persiapan pun masuk kelas. Karena merasa ‘hebat’ untuk materi yang akan diajarkan. Alhasil guru hebat seperti itu ternyata menghasilkan siswa sekarat.

Para guru sakti, mengajarpun biasa dengan tangan kosong. Karena sangat saktinya ia tidak perlu membawa apapun ke kelas. Siswapun terkesima dengan kesaktian sang guru. Masih banyak-kah guru-guru sakti zaman sekarang? Sepertinya sudah mulai punah. Patut dilestarikan tuh. Sayangnya guru sakti begitu malah tidak dianjurkan oleh ‘pakem’ mengajar jaman sekarang.

Mengajar dengan tanpa persiapan hasilnya memang berantakan (seperti guru sakti itu). Ini adalah salah satu sebab mengapa siswa kita sering mengalami kesulitan memahami apa yang kita sampaikan. Atau kalau tidak karena salah cara menyiapkan prosedur pembelajarannya. Guru seperti itu kadang anehnya, menanyakan sampai mana pelajaran pada pertemuan terakhir. Ini indikasi guru tidak melakukan persiapan, yang tahu siswa kan. Tapi apa yang bisa siswa lakukan terhadap guru semacam itu.

Sangat disayangkan tidak sedikit guru yang menyiapkan perangkat pengajarannya hanya karena alasan administrasi atau mau disupervisi. Inilah potret nyata guru profesional yang katanya sudah mengantongi sertifikat pendidik. Kita, guru seolah pingsan, tidak menyadari tugas guru itu mulya dan amat berat. Tapi karena sistem di negeri ini masih amburadul maka hal itu merupakan kesempatan empuk bagi guru untuk berleha-leha dan malas belajar lagi.

Jumlah siswa yang tambun semestinya membuat guru selalu sibuk untuk menyiapkan segala sesuatunya. Tapi di ruang-ruang guru di negeri ini masih ada saja guru yang asyik mahsyuk ngerumpi. Padahal di mejanya terongok setumpuk buku siswa yang tak kunjung disentuh. Masih mending ia rajin membaca, mengali ilmu, berbagi ilmu dengan rekan seprofesi di daratan lain di negeri ini atau aktif diskusi di milis yang mencerahkan diri. Duh…

Guru-guru yang tidak tahu tugasnya semestinya membaca kembali tuntutan standar kompetensi guru. Misalnya membuat matrik apa yang belum dia kerjakan dan kuasai. Tapi apa ada sih guru yang tidak tahu tugas dan tanggung jawabnya? Ups, gak perlu dijawab yah. Kalau mau coba saja periksa pada kompetensi profesional itu sudahkan ia penuhi semua. Sayangnya belum semua guru tahu kompetensi profesionalnya itu apa saja. Halah jangankan melakukan, baca aja belum pernah. Sungguh terlalu…!

Jika kita para guru memahami kompetensi pedagogi yang berjumlah 10 bagian itu, maka barang kali kita tak punya waktu luang untuk santai saat di sekolah. Tapi nyatanya kita malah bisa santai sesantai-santainya. Jadi ingat, rekan kita guru di Singapore tak satupun yang terlihat ngobrol dengan sesamanya. Mereka sibuk dengan akitaivitasnya yang kalau di indonesia layaknya pegawai bank. Kita?!

Kompetensi guru, guru apapun kita terkait TIK yaitu pada kompetensi pedagogik: memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran, pada kompetensi profesional: memanfaatkan TIK untuk berkomunikasi dan pengembangan diri. Itu sebagian kecil saja dari kompetensi yang harus kita punya sebagai guru.

Anak Betah Sekolah karena Orangtua dan Gurunya

Sebagian orangtua pernah mengalami kesulitan mengajak anaknya ke sekolah. Balita yang baru akan mulai sekolah pun bisa menolak pergi ke sekolah. Motivasi seperti apa yang seharusnya diberikan kepada anak?

Michael Ungar, PhD, terapis pernikahan dan keluarga, mengatakan bahwa penelitian menunjukkan, anak dari berbagai usia, etnis, dan tempat tinggal menginginkan adanya ikatan emosi dengan sekolah.

Menurut Ungar, anak membutuhkan rasa memiliki yang kuat dengan apa pun terkait sekolah mereka. Bukan hanya atas dirinya atau teman sekolahnya, melainkan juga orangtua dan guru.
Caranya?

Panggil namanya, bukan sekadar “Nak”

Anak membutuhkan pengakuan, setidaknya melalui gurunya, yang menyapanya dengan memanggil namanya. Petugas administrasi atau orangtua saat mendaftarkan anak juga perlu mengenalkannya. Tak sekadar menyebut nama, tetapi juga mengakui keberadaan anak.

Belajar ilmu praktis yang bermanfaat untuk hidupnya
Anak merasa lebih nyaman jika sekolahnya mengajarkan bagaimana hidup, bagaimana membuat keputusan, dan ilmu praktis yang bisa diterapkan dalam keseharian. Skill sosial sangat dibutuhkan anak untuk mencari solusi dari sebuah masalah. Anak menjadi mengerti tentang hak-haknya serta bagaimana membela dirinya dan menyelesaikan suatu masalah.

Keterlibatan orangtua
Sekolah bukan hanya untuk anak. Orangtua perlu terlibat untuk kemajuan kepribadian anak dan sekolahnya. Anak cenderung betah dan akan menumbuhkan rasa memiliki atas sekolah, jika orangtuanya terlibat aktif dalam kegiatan apa pun di sekolah.

Masuk 10 besar, bukan itu tujuannya

Banyak bukti menunjukkan bahwa anak senang bersekolah meski rankingnya biasa saja. Ranking hanya salah satu aspek yang didapatkan anak di sekolahnya. Anak senang bersekolah, umumnya, karena melihat adanya keterlibatan orangtua dan gurunya. Anak nyaman saat ada monitoring dari orang dewasa. Sekadar menuntut anak masuk ranking sepuluh besar hanya akan membuat anak melihat sekolah sebagai beban.

Hubungan pertemanan saling menguatkan

Hubungan dengan teman satu kelas bisa saling menguatkan. Namun terlalu banyak jumlah anak dalam satu kelas juga tidak akan menumbuhkan ikatan. Memilih kelas dengan jumlah anak yang dibatasi akan lebih baik untuk perkembangan emosi anak, terutama dalam menjalin hubungan pertemanan.
Female. Kompas

5 Alasan Guru Takut Melakukan PTK

Dewasa ini banyak dijumpai guru yang belum melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di dalam proses pembelajarannya. Mengapa?
Ada 5 alasan utama yang menyebabkan guru takut melakukan PTK:


Kurang memahami profesi


Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia, sehingga hendaknya mereka menyadari ini. Guru harus dapat memahami peran dan fungsinya di sekolah, karena guru sekarang bukan hanya guru yang mampu mentransfer ilmu dengan baik, tetapi juga mampu digugu dan ditiru untuk memberi tauladan yang tidak hanya sebatas ucapan, tapi juga tindakan.

Profesi guru adalah profesi yang bukan hanya mulia di mata manusia, tetapi juga di mata Tuhan. Karena itu guru harus dapat mengajar dan mendidik dengan hatinya agar dapat menjadi mulia. Hati yang bersih dan suci akan terpancar dari wajahnya yang selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5 S dalam kesehariannya, yaitu Salam, Sapa, Sopan, Senyum, dan Sabar.

Malas membaca buku dan malas menulis

Masih banyak guru yang malas membaca, padahal dari membaca itulah akan terbuka wawasan luas. Kesibukan-kesibukan mengajar membuat guru merasa kurang sekali waktu untuk membaca. Ini nyata, dan terjadi di sekolah kita.

Bukan hanya di sekolah, di rumah pun guru malas membaca. Guru harus dapat melawan kebiasaan malas membaca. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu, namun bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa.

Guru yang rajin membaca, otaknya ibarat mesin pencari google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar.

Guru yang terbiasa membaca, maka akan terbiasa menulis. Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri. Guru yang rajin menulis, maka ia mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau.

Kurang sensitif terhadap waktu dan terjebak rutinitas


Guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik tidak akan banyak meraih prestasi dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang disia-siakan, sehingga guru harus sensitif terhadap waktu. Ia harus selalu terjaga dari sesuatu yang kurang bermanfaat.

Guru juga harus pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai terjebak rutinitasnya, yang justru tidak mengantarkan dia menjadi guru dan tidak dapat diteladani anak didiknya.

Guru harus pandai mensiasati pembagian waktu kerjanya. Buatlah jadwal yang terencana. Buang kebiasan-kebiasaan yang membawa guru untuk tidak terjebak di dalam rutinitas kerja, misalnya, membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda guru, di dalam blog internet, dan lain-lain. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi guru yang kurang berkualitas.

Kurang memahami PTK


Banyak guru kurang memahami penelitian tindakan kelas atau PTK. Guru menganggap PTK itu sulit. Padahal, PTK itu tidak sesulit yang dibayangkan, karena PTK dilakukan dari keseharian mereka mengajar.

Tidak ada yang sulit. Guru hanya perlu merenung sedikit dari proses pembelajarannya, mencatat masalah-masalah yang timbul, dan mencoba mencari solusinya. Ajaklah teman sejawat agar proses observasi dan refleksinya tidak terlalu subyektif.

PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Kompas.com

Citra Profesi Guru

Hanya ada dua profesi di dunia, yaitu guru dan bukan guru. Mungkin ini hanya sebuah pandangan subjektif, meskipun mungkin juga hal ini pun sangat benar adanya. Profesi guru menghasikan profesi lainnya, tetapi tidak sebaliknya. Ada sebagian orang yang jalan hidupnya berubah karena diinspirasi sosok guru. Guru, tak cukup pandai menjelaskan sajian materi pelajaran, tetapi lebih dari itu, guru adalah orang yang mampu membuat perbedaan bagi pribadi-pribadi siswanya karena perilakunya yang layak digugu dan ditiru.
Jika kita cermati sejarah perkembangan profesi guru di tahun 1960-an, profesi guru masih menjadi suatu profesi yang banyak diminati sehingga proses seleksinya pun relatif ketat. Alhasil, pada saat itu, mereka yang diterima untuk bisa belajar di lembaga pendidikan guru adalah para lulusan terbaik dari sekolah menengah (ranking I sampai III).

Siahaan, S. (2009), memiliki analisis tersendiri tentang fakta empiris terjaminnya kualitas mutu proses pendidikan guru di saat itu, di antaranya (1) lembaga pendidikan guru menerima peserta didik yang prestasi belajarnya termasuk dalam peringkat 3 besar, (2) selama mengikuti pendidikan guru, para peserta didik mendapat beasiswa atau tunjangan ikatan dinas, (3) selama mengikuti pendidikan guru, para peserta didik diasramakan sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber belajar yang tersedia, dan (4) setelah menyelesaikan pendidikan keguruan, mereka langsung ditempatkan sebagai guru di daerah asalnya masing-masing.

Satu lagi yang tak boleh dilupakan, di era tahun 1960-an, profesi guru tidak hanya dianggap prestisius di negeri sendiri, tapi diapresiasi juga oleh negara tetangga kita, Malaysia. Pemerintah Malaysia pada saat itu melihat para guru di Indonesia sebagai sosok yang memenuhi kualifikasi mereka untuk mengajar di Malaysia. Wajar jika kemudian mereka “mengimpor” guru-guru Indonesia untuk mengajar di Malaysia, serta “mengekspor” guru-guru mereka untuk mengikuti pendidikan guru di Indonesia. Era keemasan profesi guru di masa lampau.

Sampai di masa Orde Baru, profesi guru mengalami fase kemunduran. Tidak semua lulusan lembaga pendidikan guru memutuskan pilihan hidupnya sebagai guru. Terlebih ada juga sebagian lulusan lembaga pendidikan guru yang diangkat sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) tetapi tidak bekerja sebagai guru. Nyatanya, kondisi ini dipicu oleh persepsi yang berkembang mengenai situasi kekinian terkait dengan profesi guru, di antaranya: (1) gaji guru yang relatif rendah, (2) rumitnya prosedur birokrasi yang harus dihadapi guru dalam pengembangan karirnya, (3) merosotnya status guru di tengah-tengah masyarakat (Suparman, 2006). Akibatnya, lembaga pendidikan guru menjadi sangat sulit untuk mendapatkan lulusan sekolah menengah atas yang berprestasi dan memiliki keminatan menjadi guru. Tak dapat disangkal lagi, inilah sebab utama rendahnya ketersediaan guru-guru profesional di Bumi Pertiwi.

Terlebih, reposisi peran dan tanggung jawab lembaga pendidikan guru yang terus berkembang turut berpengaruh dalam menyiapkan profil guru yang berkualitas. Pendidikan Tenaga Penghasil Guru (PTPG), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP), Institut Pendidikan Guru (IPG), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), dan sekarang menjadi Universitas Pendidikan (Universitas Mantan IKIP, seperti Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Malang, dsb) merupakan proses transformasi dari lembaga pendidikan guru untuk menjawab kebutuhan penyediaan tenaga guru yang profesional dan berkarakter. Sayang seribu sayang, ketika tingkat kesejahteraan guru masih berada pada posisi yang relatif rendah, ini menjadi pemicu rendahnya minat para generasi muda untuk menjadi guru. Alasannya sangat sederhana, bekerja menjadi guru tidak menjamin penghidupan yang lebih baik. Wajar jika kemudian kita menemui fakta di lapangan bahwa sebagian besar orang memutuskan hidup menjadi guru hanya sebagai pilihan hidup yang kedua, ketiga, bahkan mungkin yang terakhir. Sungguh ironis.

Kini, pascaberlakunya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesi guru terkesan sedang diperhatikan dan hendak diangkat harkat martabatnya. Di sisi lain, kita malah makin mengkhawatirkan hadirnya banyak oknum yang mengaku guru dan tiba-tiba berubah pikiran untuk menjadi guru karena alasan yang satu ini. Segala cara dihalalkan. Pemalsuan sertifikat kian marak, satu dari sekian kasus curang yang dilakukan oknum guru yang tanpa sadar hendak menghancurkan nama baik korpsnya guru. Semua dilakukan semata untuk mendapatkan kenaikan upah satu kali gaji pokok, bukan atas dasar profesionalisme. Jika cara ini tidak diimbangi dengan upaya penguatan kapasitas lembaga pendidikan guru dan penataan sistem pengembangan profesional guru secara sistematis-berkelanjutan, kebijakan populer ini dirasa tak akan mampu menguatkan citra profesi guru di masyarakat. Yang ada malah kita sedang giat memproduksi musang berbulu domba, yaitu orang yang menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kekayaan materi dunia, bukan orang yang menjadikan kekayaan dunia sebagai alat untuk menyempurnakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru. Ini perkara yang patut dicermati seksama.

Jika kita mau belajar dari sejarah masa lampau, profesi guru hanya akan menjadi terhormat ketika pemerintah mau dan mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang memuliakan profesi mereka. Menurut Dedi Supriadi dalam bukunya Mengangkat Citra dan Martabat Guru (1999), berdasar berbagai studi yang dilakukan, tingkat kesejahteraan merupakan penentu yang amat penting bagi kinerja guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Jangan sampai perbaikan kesejahteraan bagi guru hanya untuk mengakomodasi kepentingan politis semata. Namun, langkah itu harus menjadi bagian dari proses pengembangan profesionalisme guru secara utuh.

Dua hal lain yang tak boleh dilupa, lakukan seleksi yang superketat bagi mereka yang hendak menjadi guru dengan memperhatikan aspek kemampuan akademis dan keminatan. Satu langkah strategis lainnya adalah melakukan upaya pembenahan dan penguatan kapasitas lembaga pendidikan guru sebagai tempat pertama dan utama untuk membina kapasitas profesional sekaligus membina akhlak karimah bagi para calon guru. Jika dua upaya ini tidak dilakukan, sesungguhnya kita tidak pernah sungguh-sungguh untuk menempatkan profesi guru pada singgasana yang terhormat.
( Lampung Post).

Mengembalikan Kehormatan Guru

Tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini profesi guru begitu terpuruk di mata masyarakat seperti saat ini. Seringnya guru mogok mengajar karena berdemonstrasi, citra guru yang rusak karena tuntutan ujian nasional, dan kebijakan pendidikan yang abai terhadap pengembangan profesional guru hanya beberapa kenyataan yang menunjukkan betapa kehormatan guru telah hilang. Mengembalikan kehormatan guru tak lagi bisa ditawar untuk menyelamatkan masa depan negeri ini. Tugas itu tak ringan dan memerlukan kerja sama banyak pihak sesuai cakupan tanggung jawab mereka. Hanya dengan pendekatan utuh dan sinergilah, kita dapat mengembalikan kehormatan guru.

Tiga sisi
Persoalan guru bisa diurai dengan melihatnya dari tiga sudut pandang: guru, negara, dan masyarakat. Pertama, persoalan yang penting direfleksikan oleh guru adalah bagaimana mereka tetap memiliki inspirasi pribadi yang memberi landasan nilai, makna bagi perkembangan dirinya sebagai guru. Inspirasi adalah sumber kekuatan, berupa nilai, prinsip pendidikan, dan tujuan hidup yang diyakini sebagai dasar bagi pengembangan panggilan pribadinya sebagai guru.

Memiliki inspirasi yang kuat sebagai guru berarti bahwa di tengah menumpuknya tugas rutin, guru tak pernah boleh kehilangan idealismenya sebagai pembelajar. Rutinitas dan keteraturan adalah ciri pendidikan formal. Persoalan seperti tugas administrasi, membuat silabus, satuan pelajaran adalah bagian dari kinerja guru. Oleh karena itu, beres secara administratif saja belum cukup. Lebih dari itu, mampu merefleksikan dasar terdalam panggilan sebagai guru bisa menjadi sumber rohani yang memungkinkan guru tetap menemukan makna di tengah tantangan dan kesulitan.

Memiliki inspirasi sangat penting sebab dengan itu, guru dapat mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan sebagai pengajar. Kebebasan adalah dasar dari pengembangan bermutu setiap profesi. Jika inspirasi tak ada, guru bisa kering nilai dan tanpa makna menjalani panggilan sebagai guru. Bahkan, guru bisa terpuruk sekadar jadi tukang yang melakukan sesuatu karena disuruh atau diperintah orang lain, atau sekadar taat aturan.

Tentu guru tak bisa bertindak seenak sendiri tanpa aturan yang sesuai dengan prosedur. Negara, dalam hal ini pemerintah, telah memberi rambu hukum dan peraturan yang membatasi profesi guru. Mengembalikan kehormatan guru tak mungkin terjadi secara efektif dan sistematis tanpa campur tangan negara.

Ruang kebebasan guru

Oleh karena itu, persoalan kedua yang mendesak dibuat oleh pemerintah untuk mengembalikan kehormatan guru adalah diberikannya ruang bagi guru untuk melaksanakan kebebasan profesionalnya sebagai guru dan pendidik. Ruang ini selama ini telah direnggut oleh UN. Pendidikan yang merupakan komunikasi antara anak didik dan guru jadi sebuah komunikasi teknis dan instrumental karena tak ada lagi keautentikan suasana pembelajaran yang terenggut karena tuntutan UN. Kehormatan guru tak akan pulih dengan efektif jika polemik seputar kebijakan UN tidak diselesaikan.

Negara memang telah memberi peraturan dan rambu untuk menyeleksi siapa saja yang layak dan pantas mengajar di depan kelas melalui peraturan perundang-undangan, terutama lewat sertifikasi. Namun, perlindungan atas profesi guru—negeri dan swasta—belum terjadi secara sinergis. Melindungi profesi guru dari terabasan berbagai kepentingan di luar dunia pendidikan, yang sering kali mempolitisasi guru, adalah hal yang mendesak.

Hal ketiga yang bisa membantu guru menemukan kembali kehormatan adalah tanggung jawab masyarakat sebagai rekan kerja utama para guru di sekolah, terutama orangtua. Mau tak mau, harus diakui, sekolah kita banyak diintervensi oleh orangtua dan masyarakat yang arogan, yang menganggap sekolah mesin produksi untuk memintarkan anak. Bahkan, ada yang sekadar menganggap sekolah lembaga pemberi ijazah. Mental dagang itu ada di masyarakat kita, dan guru harus berhadapan dengan kultur yang tak kondusif ini.

Mental dagang seperti tak mau terlibat dengan pendidikan anak karena sudah bayar mahal sekolah serta mental korup yang ada dengan membeli nilai atau ijazah adalah hal yang merugikan anak dan melecehkan martabat guru.

Namun, tak jarang juga mental dagang itu ada dalam diri guru sendiri. Gejala jual beli soal dan jawaban ujian, lobi orangtua untuk memperoleh nilai baik untuk anaknya dengan cara ”membeli” guru pun, sering juga tak disadari guru sebagai bagian yang sesungguhnya merusak martabatnya sebagai guru. Masyarakat perlu sadar bahwa kehormatan guru bisa pulih jika masyarakat membantu menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan guru dan anak didik. Tanpa bantuan masyarakat, pendidikan di sekolah tak akan berkesinambungan.

Mengembalikan kehormatan guru adalah hal mendesak. Tindakan yang bisa dibuat mesti sinergis dan simultan, serentak bersama-sama tiga pihak yang berkepentingan dengan pulihnya kehormatan dan martabat guru itu sendiri: guru, masyarakat, dan negara. Hari Guru Nasional yang kita peringati kemarin merupakan momentum untuk menyadari kembali, kehormatan guru harus segera dipulihkan demi perbaikan pendidikan di negeri ini.
( Kompas).