er Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Inteligensi dan IQ

Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :

Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.

Faktor lingkungan

Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.

Inteligensi dan IQ

Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.

Pengukuran Inteligensi

Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.

Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.

Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.

Inteligensi dan Kreativitas

Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.

Kelebihan dan Kelemahan Pendidikan Di Taman Kanak-Kanak

Guru sebagai pendidik di sekolah yang secara langsung maupun tidak langsung mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan. Anak didik adalah subyek utamanya. Anak membutuhkan pertolongan dan bimbingan, naik jasmani maupun rohani.

Kelebihan dan Kelemahannya
Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) yang sudah maju semuanya lengkap (tersedia): peralatannya lengkap, alat bermainnya banyak, juga gedungnya sudah memenuhi syarat untuk melaksanakan KBK. Masalah danapun tidak terhambat, semuanya berjalan lancar. Tapi kalau TK yang tidak maju, peralatannya kurang, alat bermainnya sedikit, gedungnya belum rapi (tidak memenuhi syarat). Memang semua itu membutuhkan dana. Dananya tergantung pada orang tua anak didik dan masyarakat. Walaupun begitu kita sebagai guru harus mendukung terhadap anak didik. Sebagai guru harus yang efektif seperti yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakat. Karakteristik guru yang efektif adalah sabar, ramah, hangat, tegas dan adil. Pendidikan di TK perlu ditingkatkan, terutama alat permainannya, karena di TK adalah belajar sambil bermain.

Metode Bercakap-cakap

1.Pengertian metode bercakap-cakap bagi anak TK.
Arti metode bercakap-cakap.
a. Saling mengomunikasikan pikiran, perasaan dan kebutuhan secara verbal.
b. Mewujudkan kemampuan bahasa reseptif dan bahasa eksresif.
Hal-hal yang harus dilakukan:
1. Mengukur pemahaman yang didengarnya secara pasti.
2. Bila mengetahui bahwa pesan yang disampaikan itu tidak jelas, ia dapat memberitahukan kepada si pembaca.
3. Ia dapat menentukan informasi tambahan yang dibutuhkan agar dapat menerima pesan tersebut.


2.Manfaat kegiatan Bercakap-cakap bagi anak TK
Bercakap-cakap diperlukan kemampuan berbahasa, baik secara reseptif maupun ekspresif.

3.Tujuan Kegiatan Bercakap-cakap bagi anak TK

Dalam kegiatan belajar dengan menggunakan metode bercakap-cakap yakni keberanian mengaktualisasi diri dengan bahasa ekspresif, menyatakan apa yang dilakukan sendiri atau orang lain.

4.Tema/Topik Kegiatan Bercakap-cakap bagi anak TK

Untuk menggunakan metode bercakap-cakap antara lain:
- Tema binatang
- Tema bulan, bintang, matahari
- Tema makanan dan minuman
- Tema keluargaku
- Tema pekerjaan
- Tema kendaraan

5.Rancangan Kegiatan Bercakap-cakap bagi anak TK
a. Rancangan persiapan guru
b. Rancangan pelaksanaan kegiatan bercakap-cakap
c. Rancangan penilaian kegiatan bercakap-cakap

6.Pelaksanaan Kegiatan Bercakap-cakap bagi anak TK

Langkah-langkah Kegiatan Bercakap-cakap:
a. Kegiatan pra pengembangan
b. Kegiatan pengembangan
c. Kegiatan penutup

7.Penilaian Kegiatan Bercakap-cakap bagi anak TK
Penilaian yang dilakukan guru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan belajar dengan menggunakan metode bercakap-cakap.

Anak-Anak Mengikuti Perbuatan yang Dilakukan Orangtua

Seorang anak yang melihat ayahnya selalu berzikir dan bertahlil, bertahmid, dan bertasbih, maka dia pun akan mudah untuk mengucapkan: Laa ilaaha illalloh, Subhanallah, dan Allahu akbar.

Begitu pula seorang anak yang dibiasakan untuk mengirim sedekah pada malam hari karena diutus oleh orangtuanya kepada fakir miskin secara rahasia, jelas akan berbeda dengan seorang anak yang disuruh oleh orangtuanya pada malam hari untuk membeli narkoba atau rokok.

Seorang anak yang selalu melihat ayahnya berpuasa senin dan kamis, ikut serta dalam shalat berjama’ah di masjid jelas akan berbeda dengan seorang ayah yang melihat ayahnya berada di tempat perjudian atau bioskop serta tempat-tempat hiburan yang lainnya.

Anda akan melihat seorang anak yang selalu mendengarkan suara adzan mengulang-ngulang lantunan adzan, dan Anda akan melihat seorang anak yang selalu mendengarkan lagu yang dilantunkan orangtuanya, melantunkannya pula.

Sungguh indah andaikata seorang ayah adalah pribadi yang slelu berbuat baik kepada kedua orangtuanya dengan berdo’a untuk mereka dan memohon ampunan kepada Allah bagi keduanya, selalu menanyakan keadaannya dan tenang berada bersama keduanya, selalu memenuhi kebutuhan keduanya dan memperbanyak berdo’a dengan ungkapan:

Robbigh firli waliwali dayya

“Ya Allah ampunilah aku dan kedua orangtuaku”

Dia akan selalu mengucapkan:

Robbbirhamhuma kama robbayani shoghiro

“Ya Allah, kasihanilah mereka berdua sebagaiaman mereka telah mendidikku diwaktu kecil”

Dia pun berziarah ke makam kedua orangtuanya, bersedekah untuk keduanya, menghubungkan kekerabatan dengan orang-orang yamg dekat dengan keduanya, juga memberi kepada orang-orang yang selalu diberi oleh keduanya.

Jika seorang anak melihat perangai orangtuanya yang sedemikain, maka dengan izin Allah anak itu akan meniru apa yang dilakukan orangtuanya. Dia akan selalu memohon kepada Allah ampunan bagi kedua orangtuanya, dan sealu melakukn sesuatu yang biasa dilakukan oleh kedua orangtunya kepada kakek dan neneknya.

Seorang anak yang dididik shalat oleh orangtuanya jelas akan berbeda dengan seorang anak yang biasa diajarkan menonton film, musik atau sepak bola.

Sesungguhnya jika seoarang anak melihat kedua orangtuanya melakukan shalat malam dengan menangis karena takut kepada Allah juga dengan membaca alqur’an, niscaya dia akan berfikir kenapa ayahnya menangis? Kenapa dia melakuakn shalat? Dan kenapa dia meninggalkan tempat tidur yang empuk lagi hangat? Kenapa dia memilih air wudhu yang dingin ?!

Kenapa dia meninggalkan tempat tidurnya dengan memilih memohon kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap?

Semua pertanyaan ini akan selalu tertanam di dalam pikiran seorang anak dan selalu memikirkannya yang pada akhirnya si anak dengan izin Allah akan meniru apa saja yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.

Demikian pula anak perempuan yang melihat ibunya selalu berhijab dan menutup diri dari laki-laki lain, dia telah dihiasi dengan rasa malu dan sikap menjaga kehormatan, kesucian dirinya telah menjadikan dirinya mulia. Jika ibunya demikian niscaya anaknya juga akan belajar menanamkan rasa malu, menjaga kehormatan dan kesucian dari ibunya. Sedangkan anak perempuan yang melihat ibunya selalu berhias diri di depan setiap laki-laki, bersalaman, dan bercampur baur, tertawa dan tersenyum dengan laki-laki lain bahkan berdansa dengan mereka, maka anaknya pun akan belajar yang demikian itu darinya.

Maka bertakwalah kalian wahai para ibu dan ayah! Jagalah anak-anak kalian, dan jadilah kalian sebagai suri tauladan bagi mereka dnegna perangai yang baik dan tabiat yang mulia. Sebelum itu semua, jadilah kalian sebagai suri tauladan dengan memegang teguh agama Allah juga Nabi-Nya.

Maroji’:
Ensiklopedi Pendidikan Anak hal 38 (Fiqh Tarbiyatil Abnaa’ wa Thaa-ifatun min Nashaa-ihil Athibba’), Mushthafa al-’Adawi

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Pra Sekolah

Snowman (1993 dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun). Ciri-ciri yang dikemukakan meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak.
Tugas Perkembangan Pada Masa Usia Pra Sekolah
Havighurst (1961) mengartikan tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya, sementara apabila gagal maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya.

Tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku atau keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh individu sesuai dengan usia atau fase perkembangannya, seperti tugas yang berkaitan dengan perubahan kematangan, persekolahan, pekerjaan, pengalaman beragama dan hal lainnya sebagai prasyarat untuk pemenuhan dan kebahagiaan hidupnya.
Menurut Elizabeth Hurlock (1999) tugas-tugas perkembangan anak usia 4 – 5 tahun adalah sebagai berikut:
1.Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang umum
2.Membangun sikap yang sehat mengenal diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh
3.Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya
4.Mulai mengembangkan peran social pria atau wanita yang tepat
5.Mengembangkakn keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung
6.Mengembangkkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.
7.Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tingkatan nilai
8.Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok social dan lembaga-lembaga
9.Mencapai kebebasan pribadi

Pertumbuhan Fisik
Penampilan maupun gerak gerik anak usia prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya. a) Anak prasekolah umumnya aktif. Mereka telah memiliki penguasaan atau kontrol terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri. b) Setelah anak melakukan berbagai kegiatan, anak membutuhkan istirahat yang cukup, seringkali anak tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat cukup. Jadwal aktivitas yang tenang diperlukan anak. c) Otot-otot besar pada anak prasekolah lebih berkembang dari kontrol terhadap jari dan tangan. Oleh karena itu biasanya anak belum terampil, belum bisa melakukan kegiatan yang rumit, seperti mengikat tali sepatu. d) Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokuskan pandangannya pada obyek-obyek yang kecil ukurannya, itulah sebabnya koordinasi tangan masih kurang sempurna. e) Walaupun tubuh anak lentur, tetapi tengkorak kepala yang melindungi otak masih lunak (soft).

Perkembangan Motorik

Di usia prasekolah, gerakan tangan anak (handstroke) sudah pada taraf membuat pola (pattern making). Ini tingkat paling sulit karena anak harus membuat bangun/bentuk sendiri. Jadi, betul-betul dituntut hanya mengandalkan imajinasinya. Sedangkan pada keterampilan motorik kasar, anak usia prasekolah sudah mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan-gerakan seperti berlari, memanjat, naik-turun tangga, melempar bola, bahkan melakukan dua gerakan sekaligus seperti melompat sambil melempar bola.

Perkembangan Kreativitas
Kreativitas imajiner (orang, benda, atau binatang yang diciptakan anak dalam khayalannya) dan animasi (kecenderungan mengganggap benda mati sebagai benda hidup) yang merupakan kreativitas awal di masa batita sudah mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, anak prasekolah cenderung melakukan dusta putih (white lie) atau membual. Tujuannya bukan untuk menipu orang lain, tapi karena ia merasa yakin hal itu benar. Ia ingin bualannya didengar. Perlu diketahui, pada masa prasekolah, anak sudah mulai menunjukkan ego dan otoritasnya. Misal, ia melihat seekor naga hitam melintas di depan rumah. Anak ini merasa yakin dan ingin orang lain juga turut meyakininya.
Kelak, sejalan dengan pertambahan usianya dimana anak mulai membedakan antara khayalan dan kenyataan, kebiasaan membual mulai hilang. Sebaliknya, orang dewasa juga jangan membiarkan anak untuk terus-terusan membual berlebihan. Sebab, bila hal ini dibiarkan, membual dan melebih-lebihkan yang dilakukan dengan tujuan mengesankan orang lain, malah berbuah menjadi kebohongan yang mungkin menjadi kebiasaan.

Perkembangan Emosi

Salah satu tolak ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan kian stabil pula kepribadiannya. Untuk anak usia prasekolah, kemampuan mengekspresikan diri bisa dimulai dengan mengajari anak mengungkapkan emosinya.

Jadi, anak prasekolah dapat diajarkan bersikap asertif, yaitu sikap untuk menjaga hak-haknya tanpa harus merugikan orang lain. Saat mainannya direbut, kondisikan agar anak melakukan pembelaan. Entah dengan ucapan, semisal, “Itu mainan saya. Ayo kembalikan!”, atau dengan mengambil kembali mainan tersebut tanpa membahayakan siapa pun.

Ciri Emosional Pada Anak Prasekolah : a) Anak TK cenderung mengekspreseikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut. b) Iri hati pada anak prasekolah sering terjadi, mereka seringkali memperebutkan perhatian guru.(Ananda 2010).

Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial, dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma- norma kehidupan bermasyarakat.

Usia prasekolah memberi kesempatan luas kepada anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Di usia inilah ia mulai melihat dunia lain di luar dunia rumah bersama ayah-ibu. Kemampuan bersosialisasi harus terus diasah. Sebab, seberapa jauh anak bisa meniti kesuksesannya, amat ditentukan oleh banyaknya relasi yang sudah dijalin. Banyaknya teman juga membuat anak tidak gampang stres karena ia bisa lebih leluasa memutuskan kepada siapa akan curhat.

Ciri Sosial Ciri Anak Prasekolah atau TK a) Umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti, mereka umumnya dapat cepat menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan teman. Sahabat yang dipilih biasanya yang sama jenis kelaminnya, tetapi kemudian berkembang sahabat dari jenis kelamin yang berbeda. b) Kelompok bermain cenderung kecil dan tidak terorganisasi secara baik, oleh karena kelompok tersebut cepat berganti-ganti. c) Anak lebih mudah seringkali bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar. Parten (1932) dalam social participation among preschool children melalui pengamatannya terhadap anak yang bermain bebas di sekolah, dapat membedakan beberapa tingkah laku sosial: a) Tingkah laku unoccupied. Anak tidak bermain dengan sesungguhnya. Ia mungkin berdiri di sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melakukan kegiatan apapun. b) Bermain soliter. Anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan, berbeda dari apa yang dimainkan oleh teman yang berada di dekatnya, mereka berusaha untuk tidak saling berbicara. c) Tingkah laku onlooker anak menghasilkan tingkah laku dengan mengamati. Kadang memberi komentar tentang apa yang dimainkan anak lain, tetapi tidak berusaha untuk bermain bersama. d) Bermain pararel. Anak-anak bermain dengan saling berdekatan, tetapi tidak sepenuhnya bermain bersama dengan anak lain, mereka menggunakan alat mainan yang sama, berdekatan tetapi dengan cara tidak saling bergantung. e) Bermain asosiatif. Anak bermain dengan anak lain tanpa organisasi. Tidak ada peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri-sendiri. f) Bermain Kooperatif. Anak bermain dalam kelompok di mana ada organisasi. Ada pemimpinannya, masing-masing anak melakukan kegiatan bermain dalam kegiatan, misalnya main toko-tokoan, atau perang-perangan.

Perkembangan Moral
Kemampuan sosialisasi yang berkembang membawa anak usia prasekolah masuk ke dalam berbagai kelompok baru di luar rumah, yaitu sekolah dan lingkungan sekitarnya. Sebagai bagian dari kelompok, anak prasekolah belajar mematuhi aturan kelompok dan menyadari konsekuensinya bila tidak mengikuti aturan tersebut.
Anak usia prasekolah belajar perilaku moral lewat peniruan. Itulah sebabnya, orang-orang dewasa harus menghindari melakukan hal-hal yang buruk, semisal bicara kasar, memukul, mencela, dan lain-lainnya di depan anak.

Sosialisasi juga membawa anak pada risiko konflik, terutama dengan teman sebaya. Oleh karenanya, kemampuan memecahkan konflik merupakan modal yang harus dimiliki anak. Semakin baik kemampuannya dalam hal ini, maka kepribadiannya akan semakin stabil. Anak yang pandai mengatasi konflik umumnya akan mudah pula mengatasi masalah dalam hidupnya, entah di sekolah, di rumah, ataupun kelak di tempat bekerja.

Perkembangan Kognitif

Ciri Kognitif Anak Prasekolah atau TK a) Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa. Sebagian dari mereka senang berbicara, khususnya dalam kelompoknya, sebaiknya anak diberi kesempatan untuk berbicara, sebagian dari mereka dilatih untuk menjadi pendengar yang baik. b) Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Ainsworth dan Wittig (1972) serta Shite dan Wittig (1973) menjelaskan cara mengembangkan agar anak dapat berkembang menjadi kompeten dengan cara sebagai berikut: a) Lakukan interaksi sesering mungkin dan bervariasi dengan anak. b) Tunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan anak. c) Berikan kesempatan kepada anak untuk meneliti dan mendapatkan kesempatan dalam banyak hal. c) Berikan kesempatan dan dorongan maka untuk melakukan berbagai kegiatan secara mandiri. e) Doronglah anak agar mau mencoba mendapatkan ketrampilan dalam berbagai tingkah laku. f) Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan oleh lingkungannya. g) Kagumilah apa yang dilakukan anak. h) Sebaiknya apabila berkomunikasi dengan anak, lakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati.

Keterampilan Gender
Anak prasekolah sudah mampu membedakan pria dan wanita yang dilihat dari penampilan yang berbeda, pakaian yang berbeda dan rambut yang berbeda. Beberapa anak juga mulai memahami organ-organ tubuh yang berbeda pada pria dan wanita karena orang tua mereka mulai memperkenalkannya, entah lewat pengamatan langsung atau lewat buku-buku. Tetapi tidak semua anak di usia ini punya keterampilan membedakan melalui anatomi fisik/organ intim karena beberapa orang tua masih enggan membicarakan soal peran seks pada anak mereka di usia prasekolah. (Santi Hartono, 2010)

Stimulasi Perkembangan Anak Usia 4-5 Tahun

Kemampuan dan tumbuh kembang anak perlu dirangsang oleh orang tua agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan sesuai umurnya. Stimulasi adalah perangsangan (penglihatan, bicara, pendengaran, perabaan) yang datang dari lingkungan anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang bahkan tidak mendapat stimulasi (Kania 2010).

Stimulasi yang diperlukan anak usia 4-5 tahun adalah :

1.Gerakan kasar, dilakukan dengan member kesempatan anak melakukan permainan yang melakukan ketangkasan dan kelincahan
2.Gerakan halus, dirangsang misalnya dengan membantu anak belajar menggambar
3.Bicara bahasa dan kecerdasan, misalnya dengan membantu anak mengerti satu separuh dengan cara membagikan kue
4.Bergaul dan mandiri dengan melatih anak untuk mandiri, misalnya bermain ke tetangga. (Suherman, 2000)
iini08.student.ipb.ac.id

Masuk SD Usia Dini

TAK semua anak punya perkembangan ntelektual yang ‘normal’ atau rata-rata. Adaanak ‘gifted’ atau ‘talented’ “yaitu dikaruniai kecerdasan atau bakat luar biasa- yang tingkat intelektualitasnya jauh melampuai anak-anak lain seusianya. Sayangnya,
kadang anak gifted ini baru diketahui setelah ia masuk SD. Coba kalau bisa diketahui saat ia masih di preschool, kan bisa masuk SD lebih cepat.


Tapi, bagaimana peluang anak berbakat ini? Gimana orangtua mengetahui kalau anaknya berbakat? Sebenarnya bisa saja lho, anak yang belum berusia 6 tahun bersekolah di sekolah dasar. Sebab yang lebih penting sebenarnya kesiapan umur mental si anak, yakni kemampuan mental dan intelektual, bukan umur kalendernya.
“Contoh, anak umur 4 tahun tapi umur mentalnya 6 tahun, berarti mereka sudah siap masuk SD,” papar Prof Dr. S.C . Utami Munandar, guru besar psikologi anak Universitas Indonesia.

Cuma, untuk mengetahui apakah umur mental anak siap, orangtua mesti
mengeceknya dengan melakukan tes umur mental ke psikolog. Dari sini,
nanti bisa diketahui IQ anak, dengan rumus: (umur mental/umur kalender) x 100 = IQ. Bila skor IQ anak di atas 130, jauh di atas anak normal (skor IQ 85-115), bisa saja ia dipandang gifted dan dipertimbangkan masuk SD lebih awal, setelah mempertimbangkan
aspek-aspek lainnya.

Menurut Utami, jumlah anak berbakat di Indonesia sekitar 2-5% dari
Keseluruhan anak. Namun sejauh ini belum semuanya mendapat pendidikan khusus. Tak semua sekolah mempunyai fasilitas, sarana, dan prasarana yang bermutu, ataupun kelas unggulan yang bisa mengembangkan dan melihat anak-anak yang berbakat.
Padahal sebenarnya dengan bakat di bidang intelektual, tak menutup kemungkinan balita bisa masuk SD. Akibatnya banyak anak yang umur mentalnya sudah tinggi namun tidak terstimulasi dengan baik, sehingga mereka bosan di kelas karena merasa materi yang diajarkan guru terlalu mudah.

Kemungkinan anak yang masih usia TK bisa masuk SD juga dibenarkan Dra.
Shinto B. Adelaar, M.Sc., psikolog perkembangan anak. Namun menurutnya bukan semata-mata karena IQ saja yang kelewat tinggi dibanding anak-anak lain. Si anak juga mesti punya tingkat kematangan yang mampu menghadapi stres dan situasi sekolah. “Sebab situasi dan cara belajar di SD berbeda dengan di TK. Di SD, anak lebih banyak duduk diam di tempat daripada bergerak atau jalan-jalan. Ia juga harus tekun mengerjakan tugas dalam waktu yang lebih panjang serta mau mematuhi instruksi guru. Berarti, dari segi pemikiran, si anak harus lebih matang,” Shinto menjelaskan.

Secara emosi, anak juga harus lebih matang, agar mampu mengontrol diri dan tidak lagi bertingkah laku berdasarkan keinginannya sendiri. Jadi, meski anak IQ-nya tinggi, belum tentu EQ-nya tinggi. Kalau anak itu masih dependent (bergantung pada orangtua), sikap bekerjanya belum terbentuk, masih banyak sikap bermainnya, kemungkinan besar bila anak dimasukkan ke SD ia bisa mengalami tekanan dan stres, sehingga menimbulkan reaksi malas belajar atau tidak mau sekolah.

Selain berefek malas, anak yang terlalu dipaksakan lompat jenjang
pendidikan bisa menimbulkan masalah psikologis. Kasihannya, pada anak balita itu. Di usia itu mereka masih ingin main, sementara anak lainnya sudah tidak ingin main lagi. Di jenjang pendidikan berikutnya, misalnya saat di perguruan tinggi dan si anak baru berusia 15 tahun, secara emosional dan sosial ia belum sematang teman lainnya. Tak jarang temannya akan mengangap dia sebagai anak kecil, karena mungkin dari segi fisik belum berkembang sepenuhnya. Jadi dari segi sosial ada hambatan. Atau karena susah bergaul karena komunikasinya sering tidak nyambung, anak lebih senang membenamkan diri pada buku.

Memperdalam, bukan Mempercepat

Kadang orangtua yang punya anak berbakat yang mulai bosan di playgroup atau TK, jadi geregetan dan ingin menaikkan anak ke SD. Namun menurut Shinto, ini bukan solusi yang baik, apalagi jika hanya karena orangtua melihat anak itu lebih cerdas dibanding anak lainnya.

“Jika ingin memasukkan anak ke SD di usianya yang belum cukup,
sepatutnya melihat dulu kondisi anak, karena apapun yang dipaksakan sebelum waktunya akan mengundang risiko. Kalau anak itu enjoy, bisa bergaul dengan lingkungan sosialnya dan senang belajar, tak masalah. Silakan saja melompatkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi jika tidak, jangan dipaksakan, karena orangtua hanya akan merampas waktu bermain anak.”


Lebih baik menurutnya, perkaya pengetahuan dan kematangan anak. Orangtua tidak perlu ‘mempercepat’ tapi lebih ‘memperdalam’ pengetahuan anak.
Misalnya anak TK A, pengetahuannya baru sampai C, kita asah pengetahuan anak hingga sampai F. Tapi levelnya tetap TK A. Tujuannya, supaya nanti si anak tumbuh menjadi anak yang pintar dan kreatif dan punya kepribadian yang matang. “Saya percaya kematangan kepribadian itu lebih banyak menunjang keberhasilan anak, daripada
semata-mata kecerdasaan intelektual saja.”

Menaikkan anak ke kelas yang lebih tinggi, misalnya tidak masuk kelas 1 tapi langsung kelas 2, juga bukan solusi yang baik. Sebab dengan menaikkan kelas anak, berarti ada materi tertentu yang tertinggal. Sebaiknya, untuk anak berbakat ini dimasukkan ke kelas akselerasi. Disana mereka akan memperoleh kurikulum lebih singkat dan padat tanpa harus kehilangan satu materi pun. Toh sekarang banyak sekolah unggulan yang menyenggarakan kelas akselerasi.
Dengan masuk kelas akselerasi dan bergabung dengan anak lain yang
Punya kemampuan yang sama, anak lebih terstimulasi. Sebab anak yang sangat cerdas jalan pikirannya tidak sesuai dengan anak seusianya. Bila ngobrol ia tidak ‘nyambung’. Bagi anak yang kecerdasaannya rata-rata, anak yang terlalu cerdas ini jadi membosankan, menganggap si anak terlalu serius karena omongannya jauh ke depan dari anak yang lain.

Amati Tanda-tanda Awal

Agar orangtua tak terlalu lama mengetahui kalau si kecil berbakat,
sebaiknya orangtua melihat dan memperhatikan kemampuan anak sejak dini. Tanda-tanda anak berbakat dapat dilihat dari pertanyaan yang ia ajukan. Pertanyaan si anak biasanya mendalam, kritis, dan tidak cepat puas dengan jawaban yang sekedarnya. Anak memberikan reaksi yang lebih matang dari usia sebayanya, cepat bisa membaca sendiri tanpa
diajarkan.

Caranya, dengan memberi rangsangan dan sarana yang bisa merangsang
bakat anak, misalnya menyediakan aneka permainan. Dengan begitu, selain anak akan terpacu intelektualitas dan kreativitasnya. Supaya tidak salah langkah, orangtua perlu memeriksakan anak ke psikolog untuk mengetahui apakah anak itu berbakat, sebelum memasukkan anak ke SD pada usia dini.

Shinto menyarankan, orangtua yang punya anak berbakat dengan IQ
tinggi, tapi emosinya belum berkembang, sebaiknya tidak meloncatkan anaknya ke kelas atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebab belajar di SD itu lebih susah, apalagi SD di Jakarta. Anak terlalu banyak di-drill sehingga banyak mengurangi minat anak untuk belajar. Lebih baik anak tetap di TK tapi ia diberi tambahan pengetahuan yang
banyak.”
episentrum.com