er Maret 2011 | Pendidikan Guru TK - Guru Taman Kanak Kanak

Profesionalisme Guru Dan Kualitas pendidikan

Produk pendidikan sebetulnya bukan hanya menjadi kebutuhan orang-orang pendidikan saja, tetapi semua aspek kehidupan kita membutuhkan produk pendidikan tersebut. Produk pendidikan itu berkaitan dengan tenaga pendidik yaitu guru. Sekarang ini tentang profesionalisme guru sedang marak dibicarakan dan dicari solusinya. Pertanyaannya mengapa sedemikian penting guru itu harus profesional? Apakah pengaruhnya dari profesionalisme guru itu terhadap produk pendidikan? Inilah permasalahan-permasalahan yang hendaknya dicari solusinya.

Sekarang ini kita hidup pada era globalisasi dengan menghadapi sejumlah tantangan. Global atau globalisasi merupakan kata-kata klise yang sering diungkapkan di mana-mana. Globalisasi merupakan fenomena tidak adanya batas-batas antara negara di dunia ini. Peristiswa yang terjadi di suatu negara, maka dalam sekejap akan diketahui oleh orang-orang di negara lainnya. Globalisasi pada awalnya hanya terjadi pada tiga aspek yaitu 3 F, food atau makanan, fashion atau pakaian, dan fun atau hiburan. Namun sekarang ini globalisasi sudah merambah ke berbagai kehidupan. Implikasinya berhubungan dengan persaingan, perdagangan, bahkan produk, inilah yang menadi tantangan dunia global. Oleh karena itu kita harus menguasai kunci-kunci untuk bisa bergaul secara global untuk merebut peluang dalam persaingan-persaingan di era global ini. Dalam dunia yang yang sudah global ini perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung sangat cepat karena pengaruh informasi yang datang silih berganti sehingga susah untuk dikendalikan. Tantangan lainnya adalah terjadinya konflik dan krisis di mana-mana. Perubahan-perubahan itu ada pula yang menunjukkan sejumlah kemajuan-kemajuan yang juga memberikan tantangan, seperti kemajuan dalam bidang sains dan teknologi, revolusi teknologi informasi dan komunikasi, bahkan bidang politik yaitu demokrasi pun berkembang dengan cepat, meskipun di kalangan kita masih ada yang tidak demokratis. Di samping itu pun kita menghadapi berbagai macam ancaman seperti adanya gap antara yang kuat dengan yang lemah maupun yang kaya dengan yang miskin, dan sebagainya yang kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Persoalannya, bahwa kita sudah mempunyai Undang-Undang yang di dalamnya ada standar-standar pendidikan nasional yang harus dicapai.

Di dalam Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, mengembangkan kesehatan dan akhlak mulia dari peserta didik. Selanjutnya membentuk peserta didik yang terampil, kreatif, dan mandiri. Tujuan ini merupakan tantangan bagi para pendidik (guru), karena tujuan itu merupakan modal dasar bagi peserta didik dalam mengarungi kehidupan abad sekarang dan masa datang yang sudah mengglobal dan penuh tantangan. Peserta didik dituntut untuk terampil dan penuh dengan keterampilan mengembangkan kreatifitasnya. Tantangan lainnya adalah efek negatif dari perkembangan sains dan teknologi seperti berbagai tampilan atau tontonan dari alat-alat teknologi informasi, meskipun efek positifnya lebih banyak. Untuk mencapai tujuan pendidikan dan memecahkan permasalahan pendidikan diperlukan guru yang professional.

Guru Profesional KBM Berkualitas Pendidikan Berkualitas SDM Berkualitas

Profesionalisme Guru
Profesionalisme guru berkorelasi dengan kualitas produk pendidikan. Guru yang professional menjadikan pendidikan atau proses pembelajaran yang berkualitas, sehingga peserta didik pun senang mengikuti proses pembelajaran tersebut, sehingga sumber manusia yang dihasilkan dari lulusan sekolah berkualitas dan nantinya bisa bersaing di era globalisasi. Sebaliknya guru yang tidak profesional bisa menjadikan pendidikan yang tidak berkualitas. Peningkatan profesionalisme guru ini misinya yaitu terwujudnya penyelenggaraan pendidikan atau pembelajaran sesuai denan prinsip-prinsip profesionalilitas, untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu. Berdasarkan berbagai penelitian kualitas pendidikan ditentukan oleh 60% kualitas guru. Jika kualitas gurunya jelek, maka 60% jelek pula kualitas pendidikan. Sebaliknya jika kualitas gurunya baik, maka 60% kualitas pendidikan juga baik dan 40% lainnya dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya. Artinya jika pendidikan ingin maju, maka harus dimulai dulu dari gurunya. Guru memang benar-benar faktor kunci kalau ingin memajukan pendidikan. Itulah sebabnya lahirlah Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menyatakan bahwa guru dan dosen adalah jabatan professional. Jabatan professional adalah jabatan yang memerlukan kemampuan tertentu dan latar belakang pendidikan tertentu. Guru akan meningkat secara professional dan meningkat pula kesejahteraannya. Jadi di samping penuh beban juga ada kesempatan untuk memperoleh kesejahteraan.

Guru itu kalau mau benar-benar dihargai dan dihormati orang, maka harus menjadi jabatan profesional. Orang yang bukan lulusan fakultas keguruan tidak akan menjadi guru bagaimanapun pintarnya, tetapi prakteknya terkadang siapa saja bisa jadi guru. Oleh karena itulah pemerintah menertibkannya dengan mensyaratkan bahwa untuk menjadi guru harus lulusan S1 dari perguraan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan yang terakreditasi, dan harus memperoleh sertifikat sebagai tenaga pendidik. Di dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20. Tahun 2005, dinyatakan bahwa lembaga pendidikan yang tidak punya hak mengeluarkan ijazah sarjana tetapi mengeluarkan ijazah tersebut, maka akan dituntut dan dijatuhi hukuman dengan denda satu milyar rupiah atau penjara selama dua tahun.

Kedudukan guru sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Guru berfungsi meningkatkan martabat dan perannya sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta meningkatkan mutu pendidikan nasional. Tujuan guru adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Kedudukan guru sebagai tenaga pengajar professional mempunyai visi dan misi. Visinya adalah terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Misinya adalah mengangkat martabat tenaga pengajar, menjamin hak dan kewajiban tenaga pengajar, meningkatkan kompetensi tenaga pengajar, memajukan profesi serta karier tenaga pengajar, meningkatkan mutu pembelajaran, meningkatkan mutu pendidikan nasional, mengurangi kesenjangan ketersediaan tenaga pengajar antardaerah dari segi jumlah, mutu kualifikasi akademik, dan kompetensi. Misi lainnya adalah mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah dan meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.

Guru menurut Undang-Undang tentang Guru (2003:2) adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa prinsip profesi guru. Profesi guru merupakan bidang khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.
2.Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.
3.Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas.
4.Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
5.Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
6.Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
7.Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
8.Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
9.Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan.

Profesionalisasi guru masih merupakan sesuatu hal yang ideal, namun bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, justeru profesionalisasi guru akan menjadi tantangan bagi siapa saja yang berkecimpung dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan sebagai guru. Oleh karena itu tantangan tentang guru profesional itu diharapkan dapat lebih mendekatkan kepada suatu tujuan produk pendidikan yang baik. Keahlian seorang guru secara profesional belum dapat menjamin sepenuhnya bahwa cara-cara atau prosedur kerja dan teknik yang digunakan dalam mengajar akan dapat menyebabkan peserta didik memperoleh hasil belajar sesuai dengan yang diinginkan. Suatu cara yang cocok digunakan untuk mengajar suatu materi pembelajaran kepada individu atau sekelompok individu, belum tentu cocok untuk yang lain. Demikian pula di tangan seorang guru mungkin suatu cara efektif, namun di tangan yang lain tidak efektif.

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Kemudian, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Selain itu, bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran. Agar guru dapat melaksanakan fungsinya keprofesionalannya, maka harus mempunyai ciri-ciri, yaitu mempunyai penguasaan ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik. memiliki kemampuan mengajar, meliputi perencanaan, pelaksanaan mengajar dan efisiensi, guru perlu menciptakan suasana belajar yang memungkinkan peserta didik mau belajar, dengan cara membina hubungan kepercayaan satu sama lainnya, dan mengembangkan minat mengajarkan ilmunya kepada peserta didik. Jika guru mempunyai minat besar untuk mengajar, maka akan selalu berusaha untuk meningkatkan efektivitas mengajarnya. Oleh karena itu dituntut kompetensi atau kemampuan profesional dari seorang guru.

Kompetensi Guru
Kompetensi atau kemampuan ini ditunjang oleh konsep dan teori yang mantap. Hal ini menyebabkan prosedur kerja serta teknik melaksanakan pekerjaan itu membawa hasil yang jelas. Secara sederhana kompetensi berarti kemampuan. Suatu jenis pekerjaan tertentu dapat dilakukan seseorang jika ia memiliki kemampuan. Jika dikaji lebih dalam lagi, kompetensi ternyata mempunyai arti cukup luas karena kompetensi bukan semata-mata menunjukkan pada keterampilan dalam melakukan sesuatu. Lebih dari itu, kompetensi ditunjang oleh latar belakang pengetahuan, adanya penampilan atau performance, kegiatan yang menggunakan prosedur dan teknik yang jelas hingga mendapatkan hasil. Kajian tentang kompetensi sangat besar artinya dalam membina dan mengembangkan suatu jenis perkerjaan tertentu. Karena kompetensi merupakan ciri dari suatu jabatan atau pekerjaan tertentu. Dengan mengenali ciri-ciri itu, dapatlah dilakukan analisis tugas tentang suatu pekerjaan berdasarkan kompetensi.

Kompetensi guru erat kaitannya dengan profesionalisasi guru. Profesi keguruan merupakan jabatan yang dilandasi oleh berbagai kemampuan dan keahlian yang bertalian dengan keguruan. Oleh karena itu untuk memahami tugas pekerjaan guru, maka dapatlah dilakukan pengenalan terhadap kompetensinya. Kompetensi profesional guru menggambarkan tentang kemampuan yang dituntutkan kepada seseorang yang memangku jabatan sebagai guru. Artinya kemampuan yang ditampilkan itu menjadi ciri keprofesionalannya. Tidak semua kompetensi yang dimiliki seseorang menunjukkan bahwa ia adalah profesional. Ada berbagai variasi kemampuan atau kompetensi yang dimiliki. Variasi itu menunjukkan pada tingkat jabatan yang dipangkunya. Karena kompetensi profesional tidak hanya menunjukkan kepada apa dan bagaimana melakukan pekerjaan semata-mata. Melainkan juga menguasai rasional mengapa hal itu dilakukan berdasarkan konsep dan teori tertentu.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru menjelaskan bahwa kompetensi yang diperlukan oleh guru terbagi atas empat kategori, yaitu kompetensi pedagogik (akademik), kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial (kemasyarakatan). Keempat macam kompetensi ini dijadikan landasan dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan tenaga kependidikan. Oleh karena itu dapatlah dipandang, bahwa keempat macam kompetensi di atas sebagai tolok ukur bagi keberhasilan pendidikan tenaga kependidikan.

Kompetensi pedagogik atau akademik ini merujuk kepada kemampuan guru untuk mengelola proses belajar mengajar, termasuk didalamnya perencanaan dan pelaksanaan, evaluasi hasil belajar mengajar dan pengembangan peserta didik sebagai individu-individu. Guru tidak hanya mengajar tetapi juga mampu mendidik. Kompetensi pribadi yaitu mengkaji dedikasi dan loyalitas guru. Mereka harus tegar, dewasa, bijak, tegas, dapat menjadi contoh bagi para peserta didik dan memiliki kepribadian/akhlak mulia. Kompetensi sosial (kemasyarakatan) merujuk kepada kemampuan guru untuk menjadi bagian dari masyarakat, berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan para peserta didik, para guru lain, staf pendidikan lainnya, orang tua dan wali peserta didik serta masyarakat. Guru memiliki kemampuan bersosialisasi, kemampuan menjadi agent of change di dalam lingkungan masyarakat. Kompetensi profesional merujuk pada kemampuan guru untuk menguasai materi pembelajaran. Guru harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai subyek yang diajarkan, mampu mengikuti kode etik profesional dan menjaga serta mengembangkan kemampuan profesionalnya.

Kompetensi-kompetensi ini harus dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Jadi kompetensi ini dibangun bukan hanya melalui Strata 1(S1) atau Diploma IV (D IV), tetapi juga melalui pendidikan profesi yang nantinya memperoleh sertifikat sebagai pendidik. Guna memiliki kompetensi-kompetensi ini, maka guru hendaknya menyiapkan dan menunjukkan sebuah portofolio profesional sebagai profesionalisasi seorang guru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007, untuk memperoleh sertifikat profesional sebagai guru, guru harus menunjukkan kemampuan “melakukan refleksi untuk memperbaiki kualitas pembelajaran” menggunakan hasil refleksi untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dalam mata pelajaran mereka dan “mengembangkan profesionalisme mereka.” Salah satu cara membantu guru melakukan refleksi untuk memperbaiki kualitas pembelajaran adalah dengan dibuatnya format refleksi pembelajaran yaitu catatan yang harus guru tulis untuk mengetahui kemajuan pembelajaran yang disajikannya. Manfaatnya membantu guru menuliskan pengalaman, perasaan dan informasi yang dipelajari. Format ini berisikan materi pembelajaran yang menarik dan ingin ditindaklanjuti lebih mendalam. Tulisan ini akan berlaku secara kontinyu dan terus berkembang, Format ini mendeskripsikan reaksi guru terhadap apa saja yang telah dipelajari, dan bukan hanya rangkuman materi pembelajaran yang dibacanya. Tulisan refleksi ini dapat memberitahu diri sendiri apa yang telah guru pelajari. Guru dapat menilai kemajuan yang telah dilakukan. Guru pun dapat memperhatikan kesenjangan antara pengetahuan dan keterampilan yang dikuasainya.

Secara nasional komposisi guru menunjukkan bahwa guru Taman Kanak-kanak (TK) termasuk Raudathul Atfal (RA yang sederajat dengan TK) yang masih jenjang atau lulusan SLTA jumlahnya sebanyak 110.000 orang dari jumlah 174.000 guru TK, jadi lulusan S1-nya baru 18.000 orang, kemudian yang lulusan D3 hanya 3000 orang, lulusan D2 berjumlah 32.000 orang, dan lulusan D1 sebanyak 9000 orang. Kemudian guru SD jumlahnya 1.454.000 orang termasuk MI, sehingga secara nasional jumlah guru semuanya 2.857.000, tetapi masih ada yang jadi permasalahan yaitu yang belum lulus S1 sebanyak 1.800.000 orang, sedangkan pendidikan profesi harus tuntas dalam waktu 10 tahun setelah undang-undang dilaksanakan. Undang-undang ini dikeluarkan tahun 2005. Jadi pada tahun 2015 harus sudah tersertifikasi dan mereka harus lulus S1 telebih dahulu. Sekarang kita lihat guru madrasah yang jumlahnya 513 orang dan berapa orang yang sudah S1, mungkin kurang dari separuhnya saja dan sisanya kurang lebih 300 orang belum S1. Oleh karena itu ada kebijakan yang sedang dirancang yaitu sistem belajar dualmode system.

Permasalahan dalam Meningkatkan Profesionalisasi Guru
Dalam mewujudkan tuntutan kemampuan profesionalisasi guru seringkali dihadapkan pada berbagai permasalahan yang dapat menghambat perwujudannya. Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan kemampuan profesional para guru melaksanakan pembelajaran dapat digolongkan ke dalam dua macam, yaitu permasalahan yang ada dalam diri guru itu sendiri (internal), dan permasalahan yang ada di luar diri guru (eksternal). Permasalahan internal menyangkut sikap guru yang masih konservatif, rendahnya motivasi guru untuk mengembangkan kompetensinya, dan guru kurang/tidak mengikuti berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan permasalahan eksternal menyangkut sarana dan prasarana yang terbatas.

a.Sikap Konservatif Guru
Suatu perubahan dalam menerapkan ide atau konsep menuntut adanya perubahan dalam pola kerja pelaksanaan tugas kependidikan. Agar pola kerja itu sesuai, maka perlu pula dimiliki berbagai kemampuan yang ditunjang oleh wawasan dan pengetahuan baru yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang hal itu. Namun hal ini akan mendapatkan hambatan jika guru memiliki sikap konservatif. Sikap konservatif guru menunjukkan pada tingkah laku guru yang lebih mengarah pada mempertahankan cara yang biasa dilakukan dari waktu ke waktu dalam melaksanakan tugas, atau ingin mempertahankan cara lama (konservatif), mengingat cara yang dipandang baru pada umumnya menuntut berbagai perubahan dalam pola-pola kerja. Guru-guru yang masih memiliki sikap konservatif, memandang bahwa tuntutan semacam itu merupakan tambahan beban kerja bagi dirinya. Guru-guru semacam ini biasanya mengaitkan tuntutan itu dengan kepentingan diri sendiri semata-mata, tanpa memperdulikan tuntutan yang sebenarnya dari hasil pelaksanaan tugasnya.
Tumbuhnya sikap konservatif di kalangan guru, diantaranya dikarenakan oleh adanya pandangan yang dimiliki guru yang bersangkutan tentang mengajar. Guru yang berpandangan bahwa mengajar berarti menyampaikan materi pembelajaran, cenderung untuk bersikap konservatif atau cenderung mempertahankan cara mengajar dengan hanya sekedar menyampaikan materi pembelajaran. Sebaliknya, guru yang berpandangan bahwa mengajar adalah upaya memberi kemudahan belajar, selalu mempertanyakan apakah tugas mengajar yang dilaksanakan sudah berupaya memberi kemudahan bagi peserta didik untuk belajar. Guru demikian biasanya selalu melihat hasil belajar peserta didik sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas. Hasil belajar peserta didik dijadikan balikan untuk menilai keberhasilan dirinya dalam mengajar. Berdasarkan balikan itu selalu diupayakan untuk memperbaiki, sehingga kualitas atau mutu keberhasilannya selalu meningkat. Para guru sepatutnya menyadari, bahwa menduduki jabatan profesional sebagai guru, tidak semata-mata menuntut pelaksanaan tugas sebagaimana adanya, tetapi juga memperdulikan apa yang seharusnya dicapai dari pelaksanaan tugasnya. Dengan adanya keperdulian terhadap apa yang seharusnya dicapai dalam melaksanakan tugas, dapat diharapkan tumbuh sikap inovatif, yaitu kecenderungan untuk selalu berupaya memperbaiki hasil yang selama ini telah dicapai, sehingga tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya selalu dilaksanakan dan diupayakan untuk selalu meningkat.

b.Rendahnya Motivasi Guru untuk Meningkatkan Kompetensinya

Motivasi untuk meningkatkan kompetensi melaksanakan tugas profesional sebagai guru bisa muncul dari dalam diri sendiri atau motivasi yang dirangsang dari luar dirinya. Motivasi dari dalam diri (intrinsik) seperti keinginan, minat dan ketertarikan untuk melakukan suatu pekerjaan. Motivasi untuk melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan akan muncul jika kegiatan yang dilakukan dirasakan mempunyai nilai intrinsik atau berarti bagi dirinya sendiri. Hal ini mempunyai keterkaitan dengan pemenuhan kebutuhan. Jadi, dorongan untuk meningkatkan kemampuan profesional dapat muncul jika peningkatan kemampuan tersebut mempuyai dampak terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan. Sedangkan motivasi dari luar diirinya (ekstrinsik) seperti ingin mendapatkan hadiah atau pengahargaan. Motivasi yang muncul dari dalam diri sendiri lebih berarti dibandingkan dengan dorongan yang muncul dari luar diri. Motivasi semacam ini tidak bersifat sementara, dan menjadi prasyarat bagi tumbuhnya upaya meningkatkan kemampuan. Jika dorongan itu ada, maka rintangan atau hambatan apapun, serta betapapun beratnya tugas yang dihadapi akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

c.Kurang/Tidak Mengikuti Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dewasa ini telah banyak dicapai berbagai perkembangan dalam dunia pendidikan yang bertujuan meningkatkan mutu hasil belajar peserta didik. Informasi mengenai hal itu banyak diperoleh dari berbagai literatur, buku-buku teks, majalah, jurnal, pemberitaan berbagai media massa, dan dari hasil teknologi informasi dan komunikasi, seperti komputer dengan internetnya.. Setiap perkembangan atau kemajuan yang dicapai merupakan alternatif bagi guru untuk berupaya meningkatkan mutu pembelajaran yang dilaksanakan. Dari berbagai alternatif itu dapat dipilih alternatif mana yang akan digunakan. Bagi guru yang mengikuti berbagai perkembangan dan kemajuan yang dicapai dalam dunia pendidikan, mengikuti berbagai perkembangan tersebut, merupakan kebutuhan untuk meningkatkan prestasi kerja. Di samping itu, guru yang bersangkutan pun menganggap bahwa hal semacam itu merupakan tambahan pengetahuan yang dapat memperkaya wawasan. Dengan dibarengi motivasi yang tinggi serta sikap inovatif, berbagai informasi yang didapat bukan hanya memperkaya alternatif pilihan untuk melaksanakan tugas, tetapi juga dapat menjadi dasar membuat kreasi dari perpaduan berbagai alternatif, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan kerjanya. Ini berarti, dia pun telah memberi sumbangan yang berarti bagi dunia pendidikan dan upaya meningkatkan mutu pendidikan. Sebaliknya, bagi guru yang tidak mengikuti berbagai perkembangan dan kemajuan, beranggapan bahwa semua kemajuan yang dicapai tidak mempunyai arti, baik bagi dirinya maupun bagi peserta didiknya. Dengan demikian, dia pun cenderung untuk mempertahankan pula pola kerja yang selama ini dipegang dan tidak ada upaya untuk meningkatkan kemampuan profesional dirinya sendiri.

d.Sarana dan Prasarana yang Terbatas

Pendidikan biasanya menuntut tersedianya sarana dan prasarana yang memadai dan mendukung. Sarana dan prasarana itu tidak harus berupa berbagai peralatan yang canggih, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan yang memungkinkan untuk diwujudkan. Betapa pun lengkap dan canggihnya sarana yang tersedia, jika masih ada masalah-masalah seperti gurunya konservatif tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi serta motivasi untuk meningkatkan kinerja lemah, maka ada kecenderungan pengadaan sarana dan prasarana kurang bermanfaat. Sebaliknya, jika masalah-masalah itu dapat diatasi, sarana dan prasarananya terbatas, maka tidak akan mendukung keberhasilan pendidikan atau pembelajaran.

Alternatif Upaya Peningkatan Kemampuan Pribadi Guru
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dalam meningkatkan profesionalisasi guru tersebut, diantaranya dapat dilakukan dengan menumbuhkan kreativitas guru di lapangan yang menjadi “ujung tombak” dalam penyelenggaraan pendidikan. Kreativitas secara umum dipengaruhi kemunculannya oleh adanya berbagai kemampuan yang dimiliki, sikap dan minat yang positif tinggi pada bidang pekerjaan yang ditekuni, serta kecakapan melaksanakan tugas-tugas. Kreativitas guru, bisanya diartikan sebagai kemampuan menciptakan sesuatu dalam sistem pendidikan atau proses pembelajaran yang benar-benar baru dan orisinil (asli ciptaan sendiri), atau dapat saja merupakan modifikasi dari berbagai proses pembelajaran yang ada sehingga menghasilkan bentuk baru.

Dalam praktek kependidikan, pada umumnya perubahan-perubahan yang terjadi menggunakan prosedur yang menimbulkan kesan seolah-olah para guru sebagai pelaksana di lapangan kurang memiliki kreativitas untuk memperbaiki mutu hasil belajar peserta didiknya. Padahal ada kemungkinan para guru mempuyai ide yang kreatif yang dapat menjadi sumber berharga bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Guru adalah orang yang paling mengetahui kondisi dan permasalahan belajar yang dihadapi oleh para peserta didiknya karena hampir setiap hari berhadapan dengan mereka. Guru kreatif selalu mencari cara bagaimana agar proses belajar mencapai hasil sesuai dengan tujuan, serta berupaya menyesuaikan pola-pola tingkah lakunya dalam mengajar sesuai dengan tuntutan pencapaian tujuan, dengan mempertimbangkan faktor situasi kondisi belajar peserta didik. Kreativitas yang demikian, memungkinkan guru yang bersangkutan menemukan bentuk-bentuk mengajar yang sesuai, terutama dalam memberi bimbingan, rangsangan dorongan, dan arahan agar peserta didik dapat belajar secara efektif. Tumbuhnya kreativitas di kalangan para guru memungkinkan terwujudnya ide perubahan dan upaya peningkatan secara terus menerus, dan sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat di mana sekolah berada. Di samping itu, tuntutan untuk meningkatkan kemampuan profesional pun muncul dari dalam diri sendiri, tanpa menunggu ide ataupun perintah dari pihak manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Biggs, Morris L., (1982). Learning Teories for Teaching. New York: Harper & Row, Publisher.
Chauhan, S.S., (1979). Innovation in Teaching Learning Process, New Delhi: Vikas Publishing Hoyse, Pvt.Ltd.
Decentralized Basic Education Project, (2007). Better Teaching Learning. Jakarta: AED.

Gurumu Tidak Serba Tahu

?Wahai Musa aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan kamu (Musa) mengetahui apa yang tidak aku mengetahui.? (kisah nabi Khidlir HR. Bukhari)

Setetes ilmu dilautan samudra ilmu

Apa yang membuat kita menjadi seorang guru yang tidak mau belajar, bukankah banyak hal yang tidak ketahui dibandingkan dengan yang kita ketahui. bukankah ilmu yang kita miliki laksana setes air diparuh burung laut dan ilmu Allah itu seluas samudra yang membentang. Jadi alasan apa dihadapan sang pencipta nanti ketika kita berkilah sebagai guru alasan kita tidak belajar menuntut ilmu.

?apakah kalian menyuruh mansia kepada kebaikan sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, apakah tidak kalian berakal? (Alquran)

Sering kali kita meminta anak didik kita untuk giatbelajar, tapi lihat diri kita berapa banyak waktu yang kita lakukan untuk melakukan proses belajar. proses sertifikasi guru yang semestinya menjadi triger untuk belajar malahan menjadi lahan baru dosa yang kita kerjakan karena ketidak mauaan kita untuk belajar. Tidaklah kita takut dan merah muka kita karena bila nanti dibukakan sejatinya diri kita di depan anak didik kita seberapa sungguh-sungguh kita untuk terus belajar.

Kami banyak tidak tahu nak?

Bapak ibu guru banyak hal yang harus kita akui, kita tidak serba tahu sebagai pendidik, maka tidak perlu kita malu untuk sama-sama mencari tahu dengan anak didik kita, belum terlambat kiranya jiwa ini untuk mengatakan kepada anak didik kita : ?Nak bapak belum tahu masalah itu, yuk kita cari tahu sama-sama semoga Allah membukakan hati dan kefahaman untuk kita mudah memahaminya?. Doa kami untukmu nak lebih baik dari kami guru mu yang memiliki banyak ketidak tahuan. wallahu a?lam

Cara Mengajar yang Efektif

Ketika mengajar adalah hal yang kompleks dan karena murid-murid itu bervariasi, maka tidak ada cara tunggal untuk mengajar yang efektif untuk semua hal. Guru harus menguasai beragam perspektif dan strategi, dan harus bisa mengaplikasikannya secara fleksibel. Hal yang dibutuhkan dua hal utama yaitu: (1) Pengetahuan dan keahlian profesional; (2) komitmen dan motivasi.

PENGETAHUAN DAN KEAHLIAN PROFFESIONAL

Guru yang efektif menguasai materi pelajaran dan keahlian atau keterampilan mengajar yang baik. Guru yang efektif memiliki strategi pengejaran yang baik dab didukung oleh metode penetapan tujuan, perencanaan pengajaran, dan manajemen kelas. Mereka tahu bagaimana memotivasi, berkomunikasi, dan berhubungan secara efektif dengan murid-murid dari berbagai latar belakang kultural. Mereka juga mengetahui cara menggunakan teknologi yang tepat guna di dalam kelas. Berikut adalah masing-masing penjelasan dari beberapa kriteria di atas.

1.Penguasaan materi pelajaran

Guru yang efektif harus berpengetahuan, fleksibel, dan memahami materi. Tentu saja, pengetahuan subjek materi tidak hanya mencakup fakta, istilah, dan konsep umum. Ini juga membutuhkan pengetahuan dasar pengorganisasian materi, mengkaitkan berbagai gagasan, cara berpikir dan berargumentasi.

2.Strategi Pengajaran

Dalam hal ini bagaimana guru dapat membuat pengajaran materi dapat dikuasai oleh murid. Pada pendidikan model lama (tradisional) terlalu menekankan murid harus duduk diam, menjadi pendengar pasif dan menyuruh murid untuk menghafal informasi yang relevan dan tidak relevan. Kemudian berganti pada prinsip konstruktivisme, yaitu menekankan agar murid secara aktif menyusun dan membangun pengetahuan dan pemahamannya. Namun tidak semua ahli setuju dengan cara di atas, tetapi yang terpenting adalah walaupun anda menggunakan salah satu strategi di atas, masih banyak hal yang harus diketahui, hal-hal yang memberikan pengaruh dalam pengajaran yang efektif.

3.Penetapan tujuan dan keahlian perencanaan instruksional
Guru yang efektif tidak sekadar mengajar di kelas, entah dia menggunakan perspektif tradisional atau konstruktivisme di atas. Mereka juga harus menentukan tujuan pembelajaran dan menyusun rencana untuk mencapai tujuan itu.

4.Keahlian manajemen kelas

Aspek penting lainnya untuk menjadi guru yang efektif adalah mampu menjaga kelas tetap aktif bersama dan mengorientasikan kelas ke tugas-tugas. Guru yang efektif dapat mempertahankan lingkungan belajar yang kondusif.

5.Keahlian motivasional

Guru yang efektif mempunyai strategi yang baik untuk memotivasi murid agar mau belajar. Guru yang efektif tahu bahwa murid akan termotivasi saat mereka bisa memilih sesuatu yang sesuai dengan minatnya. Guru yang baik akan memberi kesempatan murid untuk berpikir kreatif dan mendalam untuk proyek mereka sendiri.

6.Keahlian komunikasi

Hal yang perlu diperlukan untuk mengajar adalah keahlian dalam berbicara, mendengar, mengatasi hambatan komunikasi verbal, memahami komunikasi non verbal dari murid, dan memapu memecahkan konflik secara konstruktif.

7.Bekerja secara efektif dengan murid dari berbagai kultur yang berbeda
Guru yang efektif harus mengetahui dan memahami anak dengan latar belakang kultural yang berbeda-beda, dan sensitif terhadap kebutuhan mereka. Mendorong murid satu dengan murid yang lain untuk berhubungan positif.

8.Keahlian teknologi

Guru yang efektif tahu cara menggunakan komputer dan cara mengajar murid menggunakan komputer untuk menulis dan berkreasi. Teknologi itu sendiri tidak selalu meningkatkan kemampuan belajar murid perlu kesesuaian antara kurikulum dengan teknologi yang sesuai dalam pengajaran.


KOMITMEN DAN MOTIVASI


Menjadi guru yang efektif juga membutuhkan komitmen dan motivasi. Aspek ini mencakup sikap yang baik dan perhatian kepada murid. Komitmen sangat dibutuhkan dalam pengajaran, bagaimana guru memberikan tenaga dan pikiran untuk memberikan pengajaran yang dapat diterima oleh murid dengan baik. Guru yang efektif juga mempunyai kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka dan tidak akan membiarkan emosi negatif melunturkan motivasi mereka.
Daftar Pustaka
Santrock, John, W. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencan Prenada Media Group

Cara Mengajar yang Baik

Seperti apakah guru ideal itu? Setiap orang bisa menyodorkan daftar panjang berisi kriteria-kriteria untuk menjawab pertanyaan ini. Daftar tadi bisa jadi merujuk pada berbagai referensi—kesiapan materi, cara memperlakukan anak didik, tingkah laku, dan lain-lain—yang bisa jadi berbeda-beda bagi setiap orang. Tapi, daripada pusing menyusun berbagai macam kriteria, mengapa tidak kita tanya saja anak-anak tentang guru yang baik menurut mereka? EENET Asia menurunkan sebuah laporan tentang guru ideal dalam pandangan anak-anak di China dan Pakistan, tetapi agaknya berlaku pula universal.

Simaklah beberapa komentar anak-anak di China.

Ibu guru Gao seperti ibu bagiku. Dia mendengar semua masalah dan keluh kesah kami serta membantu kami menyelesaikan masalah.

Guru Shan selalu melucu dalam kelas menulis kami dan membuat kami sangat tertarik dalam pelajaran itu. Tanpa saya sadari, saya jadi sangat suka menulis dan secara bertahap, saya mempelajari beberapa trik untuk menulis dengan baik.

Dia memperlakukan tiap siswa dengan setara. Dalam kebaikan hatinya, dia tidak pernah memihak. Sebagai murid, ini adalah hal yang paling berharga tentang guru… Dalam kelas guru Chen, kami merasa santai dan hidup (bersemangat). Dia selalu “tanpa sengaja” mengajukan pertanyaan atau membuat kesalahan agar kami dapat membetulkannya. Jika kami mengatakan sesuatu yang salah, tidak menyalahkan kami. Dia bahkan akan berkata sambil tersenyum: “Kesalahan Bagus! Kesalahan membantu kami menemukan masalah-masalah”. Tidak seberapa lama kemudian, bahkan siswa yang paling pemalu mau mengangkat tangan dan menjawab pertanyaannya.

Anak-anak di Pakistan berpendapat tentang guru yang baik:
Guru kami tahu nama tiap anak.
Dia menjelaskan pelajaran di papan tulis. Jika seseorang tidak paham, dia akan mendudukan anak itu disebelahnya dan menjelaskan lagi pelajaran itu.

Dia menghormati anak-anak, dia selalu memanggil mereka ‘aap’. (aap adalah bentuk sopan ‘kamu’ di Pakistan)

Guru kami selalu memperhatikan tiap anak ketika mengajar.

Paragraf terakhir pada tulisan tersebut agaknya mengena dan menggambarkan secara jelas bagaimana seharusnya seorang guru ideal:

Guru yang baik pada dasarnya adalah manusia yang baik. Mereka memiliki kepribadian penyayang, baik, hangat, sabar, tegas, luwes dalam perilaku, bekerja keras, serta berkomitmen pada pekerjaan mereka. Pusat perhatian mereka bukanlah pada buku teks atau kurikulum, tetapi pada anak! Mereka sangat menyadari beragamnya cara anak-anak belajar, perbedaan antar anak-anak dan pentingnya metode beragam untuk mendorong siswa mampu belajar. Anak-anak yang belajar dengan guru semacam itu tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk mengikuti les sepulang sekolah.

Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini

Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung.Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.

1.Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

2.Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.

3.Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

4.Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5.Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Dari sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di sekolah maupun dirumah.

Bahkan belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya yaitu:
1.Out of Law / Tidak taat aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah, dsb)
2.Bad Habit / Kebiasaan jelek (misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.)
3.Maladjustment / Penyimpangan perilaku
4.Pause Playing Delay / Masa bermain yang tertunda

Perlu diketahui juga, awalnya banyak pendapat yang menyatakan keberhasilan anak dan pendidikan anak sangat tergantung pada IQ (intelligence quotient). Namun memasuki dekade 90-an pendapat itu mulai berubah. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa keberhasilan anak sangat tergantung pada kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang dimiliki. Jadi IQ bukanlah satu satunya yang mempengaruhi keberhasilan anak, masih ada emotional intelligence yang juga perlu diperhatikan.
Ini adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasaan, dan mengatur suasana hati.

Dari berbagai penjelasan diatas, tentu banyak sekali tugas kita sebagai orangtua dalam mendidik anak kita baik mulai dari masa kecil mereka maupun hingga besar nantinya. Semua adalah tanggung jawab yang mulia, sebagaimana anak adalah karunia dan titipan tuhan kepada kita. Maka dari itu kita lah yang harus merawat dan memperhatikan perkembangan mereka, dan akhirnya kita pula yang akan tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka. Marilah kita memulai belajar mengenali dan mendidik anak mulai dari sekarang.


Perkembangan Kognitif Masa Awal Anak Anak

Dunia kognitif masa anak anak prasekolah adalah kreatif, bebas, dan penuh imajinasi. Di dalam seni mereka, matahari kadang kadang berwarna hijau, dan langit berwarna kuning. Mobil mengambang di awan, dan manusia seperti kecebong. Imajinasi anak anak prasekolah terus bekerja, dan daya serap mental mereka tentang dunia semakin meningkat. Bahasan tentang perkembangan kognitif masa awal anak anak kali ini berfokus pada tahap pemikiran praoperasional piaget.
Pada tahap masa awal anak, seorang anak telah memasuki perkembangan kognitif tahap praoperasional. Menurut piaget, tahap ini terjadi pada usia anak mencapai 2 hingga 7 tahun. Pada tahap inilah konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental muncul, egosentrisme mulai kuat dan kemudian melemah, serta keyakinan pada hal hal yang magis terbentuk.

Pemikiran praoperasional adalah awal kemampuan untuk merekonstruksi pada tingkat pemikiran apakah seorang anak dalam melakukan sesuatu. Pemikiran praoperasional juga mencakup peralihan penggunaan simbol dari yang primitif kepada yang lebih canggih. Pemikiran praoperasional dapat dibagi ke dalam dua subtahap: subtahap fungsi simbolis dan subtahap pemikiran intuitif.

Subtahap Fungsi Simbolis

Subtahap Fungsi Simbolis (symbolic function subtange) adalah subtahap pertama pemikiran praoperasional yang terjadi sekitar usia 2 hingga 4 tahun. Pada subtahap ini, anak anak mengembangkan kemampuan untuk membayangkan secara mental suatu objek yang tidak ada. Kemampuan untuk berpikir simbolis semacam ini disebut dengan fungsi simbolis dan kemampuan itu mengembangkan secara cepat dunia mental anak. Hal yang paling bisa diamati adalah anak kecil menggunakan desain corat coret untuk menggambarkan manusia, rumah, mobil, awan, dan lain lain.
Anak anak kecil tidak terlalu peduli dengan realitas, gambar gambar yang mereka buat penuh daya cipta. Matahari biru, langit kuning, dan mobil mengambang diawan, semua itu adalah dunia simbolis dan imajinatif mereka.
Egosentrisme (egocentrism) adalah suatu ciri pemikiran praoperasional yang menonjol. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan perspektif diri dengan perspektif oranglain. Anak belum memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan, dilihat dan dipikirkan oleh oranglain, ia lebih cenderung untuk melihat sesuatu dari sudut padang dirinya sendiri.


Animisme (animism) adalah bentuk lain pemikiran praoperasional. Animisme adalah keyakinan bahwa objek yang tidak bergerak memiliki suatu kehidupan dan dapat bertindak. Anak kecil dapat menunjukkan pemikiran animisme dengan mengatakan seperti: “Ma, pohon itu mendorong daunnya biar bergerak gerak agar daunya jatuh”. Anak kecil menggunakan animisme karena sulit membedakan kejadian kejadian yang tepat bagi penggunaan perspektif manusia dan buka manusia.

Namun sebagian developmentalis percaya bahwa animisme merupakan pengetahuan dan pemahaman yang kurang lengkap, bukan suatu pemahaman menetap tentang dunia. Perlu untuk menjelaskan lebih lanjut agar terbentuk pemahaman yang lebih lengkap tentang dunia.

Subtahap Pemikiran Intuitif

Subtahap pemikiran intuitif (intuitive thought substage) adalah subtahap kedua pemikiran praoperasional yang terjadi sekira usia 4 hingga 7 tahun. Pada tahap ini, anak anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaban atas semua bentuk pertanyaan.

Piaget menyebut pada periode waktu ini anak anak tampaknya begitu yakin tantang pengetahuan dan pemahaman mereka, tetapi belum begitu sadar bagaimana mereka tahu apa yang mereka ketahui itu. Lebih jelasnya mereka mengatakan mengetahui sesuatu, tetapi mengetahuinya dengan cara tidak menggunakan pemikiran rasional.

Centration terbukti paling jelas terjadi pada awal anak anak yang kekurangan pemahaman conservation. Conservation adalah suatu keyakinan akan keabadian atribut objek atau situasi tertentu terlepas dari perubahan yang bersifat dangkal. Seorang dewasa akan dapat membedakan dengan jelas jumlah suatu cairan (air) yang dipindah dari sebuah piring kedalam gelas dengan mengatakan jumlah cairan tetap sama. Tetapi tidak dengan anak kecil, sebaliknya mereka tertipu oleh tinggi cairan akibat tinggi gelas.

Karakteristik lain anak anak praperasional adalah mereka menanyakan serentetan pertanyaan. Pertanyaan pertanyaan anak yang paling awal tampak kira kira pada usia 3 tahun, dan pada usia 5 tahun mereka membuat pusing orang orang dewasa disekitarnya karena lelah menjawab pertanyaan pertanyaan ”mengapa” mereka.

Pertanyaan pertanyaan meraka menunjukkan akan perkembangan mental dan mencerminkan rasa ingin tahu intelektual mereka.Ppertanyaan pertanyaan ini menandai munculnya minat anak anak akan penalaran dan penggambaran kenapa sesuatu seperti itu. Seperti mengapa matahari bersinar, mengapa adik ada diperut ibu, mengapa ada orang di televisi, dan lain lain.

Dengan mengetahui dan membahas sejumlah karakteristik perkembangan kognitif anak pada tahap pemikiran praoperasional, diharapkan bisa membantu anda mengingat karakteristik ini untuk memahami bagaimana taraf berpikir anak pada usia awal anak anak.

ketika Guru Menjadi Belenggu

Kesombongan Guru

Menjadi guru kadang menjadikan kita menjadi pribadi sombong seolah-olah semua ilmu sumbernya dari kita. Buktinya kita secara sadar atau tidak menjadikan diri kita sebagai satu-satunya sumber belajar pada anak dengan pendekatan kita yang membuat anak didik kita tergantung kepada kita. Kita sebgai guru tidak membiarkan mereka untuk bereksplorasi dari berbagai sumber belajar untuk memecahkan masalah anak didik kita. Secara sadar atau tidak kita telah menjadikan diri kita sebagai satu-satunya sumber kebenaran untuk anak didik kita.

Bingkai Guru

Tahukah kita bahwa ilmu pengetahuan dan keterampilan terus berkembang maju kedepan dan ilmu yang kita ajarkan kepada anak didik kita pada saat ini sangat mungkin sudah kadaluarsa mengingat sangat cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada saat sekarang ini. Apa yang terjadi bila kita menjadi bingkai yang membatasi anak didik kita untuk mencari sumber belajar maka anak kita akan menjadi sebuah katak yang terkurung dalam tempurung yang terjajah oleh pola pikir yang diwariskan oleh kita yang mendidiknya sehingga mereka tidak terbuka untuk menerima kebenaran karena tidak memiliki keterampilan untuk mengakses belajar dan kebijaksanaan selain dari kita gurunya yang telah menelikungnya.

Prioritas Pendidikan

Keasyikan kita sebagai guru sebagai sumber ilmu menjadikan kita lebih memfokuskan diri kita menjadi manusia super di depan anak didik kita sehingga semua kebenaran ada di kita, sehingga yang terjadi menjadikan kita fokus untuk menjejali anak didik kita dengan pngetahuan dan keterampilan yang tidak bermakna untuk mereka karena tidak bisa mereka aplikasikan dalam masalah dalam keseharian mereka. Nilai yang mestinya menjadi fokus kita agar mereka mampu menyaring informasi, berkarakter dan mampu untuk mengakses sumber belajar lebih luas ketika kita tidak bersama mereka menjadi hal yang terlewatkan bahkan tidak menjadi prioritas dalam pengajaran kita sehingga jadilah proses KBM hanya sebatas proses pembelajaran bukan proses pendidikan sebagai pewarisan nilai untuk menjadikan anak kita kedepan bisa menghadapi zamannya yang berbeda secara aktual sehingga memerlukan cara berpikir yang berbeda dengan cara berpikir kita sekarang ini.

Hisab diri

Sebagai guru kita perlu untuk menyadari bahwa kita bukan orang yang sudah benar tapi mengikuti kebenaran sehingga menjadikan kita lebih rendah hati untuk tidak menjadikan kita sebgai belenggu dan bingkai untuk anak didik kita, bersabar unuk mereka berproses dan menjadi diri mereka serta fokus terhadap pewarisan nilai mudah-mudahan menjadikan mereka lebih siap menghadapi masa yang jauh lebih komplek dari zaman kita sekarang ini, semoga Allah yang Maha Agung selalu mengingatkan kita dari menjadika diri kita sebagai ?tuhan? untuk anak didik kita. Wallahu a?lam

Tak Sekedar Menjadi Guru

Gu’ dalam bahasa sansekerta berarti kegelapan, dan ‘ru’ berarti menghalau berarti kata ‘guru’ lebih mangacu kepada orang yang menghalau kegelapan serta membawa lebih banyak pemahaman dan pencerahan
guru adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mendidik, mengajar, membimbing mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dalam semua tingkatan dunia pendidikan (tingkat dasar, menengah dan tinggi) baik formal maupun non formal

Arti Guru
Makna kata guru dalam wikipedia adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia guru adalah orang yg pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar;
Dalam pasal 1 Undang-undang No. 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”
Menurut Noor Jamaluddin (1978: 1) Menurutnya guru adalah pendidik yang mempunyai tugas mengoraganisir pelaksanaan interaksi belajar-mengajar di suatu kelas atau pada waktu kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Dalam khazanah pendidikan didaerah timur tengah, istilah guru dikenal dengan banyak istilah disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabbiy, mudarris, dan mu’addib.
Ustadz mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Mu’allim mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, serta menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya, dan berusaha membangkitkan peserta didik untuk mengamalkannya. Murabbiy yang menjadikan tugas guru adalah mendidik dan dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi. sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mursyid Kata mursyid biasa digunakan untuk guru dalam Thariqah atau kelompok aliran agama yang menganut faham dan mazhab tertentu. Mudarris guru adalah berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat. minat dan kemampuannya. Mu’addib menjadikan guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkuaiitas di masa depan.
Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa guru adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mendidik, mengajar, membimbing mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dalam semua tingkatan dunia pendidikan (tingkat dasar, menengah dan tinggi) baik formal maupun non formal.

Bukan Sekedar Guru

Bila kita melihat pengertian diatas maka menjadi seorang guru pada umumnya tidak ada yang mengatakan sebagai pekerjaan tercela, namun yang perlu menjadi catatan kita adalah guru pada pengertian diatas hendaknya bukan sebagai lilin yang menerangi orang sekitarnya tapi membakar dirinya sendiri. Posisi guru semestinya sebagai posisi setiap orang yang ingin menambah terus khazanah kebaikannya karena tidak mungkin bertambah amalan bila kita hanya mengandalkan amalan kita sendiri, tapi denganmenjadi guru amalan kita bertambah dengan menunjuki anak didik kita kepada kebaikan sehingga bila dia menjalankan kebaikan itu maka kita akan mendapatkan amal saleh yang terus mengalir tiada henti, terlebih bila kebaikan itu terus disampaikan kepada generasi berikutnya lagi. Semoga amalan kita sebagai guru bukan sekedar guru tapi jadi amal saleh untuk bekal kita dikemudian hari. Wallahu a’lam.

Eliminasi Kecemburuan Guru

Selama ini ada kesepakatan tak tertulis antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi nasional yang menghimpun guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan metode meningkatkan kesejahteraan beriringan dengan peningkatan keprofesionalan para guru itu sendiri.
Di dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, atau yang lazim disebut Undang-Undang Guru, disebutkan bahwa keprofesionalan guru akan ditingkatkan, antara lain, ke depan harus berpendidikan minimal sarjana pendidikan, menguasai kompetensi pedagogik, menguasai kompetensi profesional, dan sebagainya. Di sisi yang lain, guru yang profesional berhak menerima kesejahteraan lebih, antara lain, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan tunjangan khusus.

Dalam realitas sekarang ini, memang terlihat ada usaha guru untuk meningkatkan keprofesionalannya meski dengan upaya yang berat dan memerlukan dana, misalnya, guru yang belum berpendidikan sarjana segera menempuh S-1, guru yang jarang berseminar mulai rajin berseminar, dan sebagainya.

Tunjangan Profesi
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Guru bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih, dsb (Pasal 1), yang pengakuan keprofesionalannya dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Pasal 2), maka pemerintah pun segera menyelenggarakan proses sertifikasi pendidik. Dalam konteks guru, proses sertifikasi pendidik itu berlaku bagi semua guru yang mengajar di semua jenjang dan satuan pendidikan dari TK dan RA s/d SMK dan MAK.

Guru yang lolos sertifikasi dan mendapatkan sertifikat pendidik diberi tunjangan profesi yang besarnya minimal 1,5 juta rupiah. Angka ini relatif tinggi bagi kebanyakan guru di Indonesia, terutama bagi guru swasta. Seorang guru SMA negeri di Kediri sangat senang menerima tunjangan profesi yang nilainya sekitar Rp 2 juta meski penghasilannya di atas Rp 5 juta. Demikian pula seorang guru SMP swasta di Prigen, Pasuruan, gembira bukan kepalang karena menerima tunjangan profesi yang nilainya sekitar empat kali lipat gaji yang diterima setiap bulan.

Tunjangan profesi memang bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga guru. Itulah sebabnya, tidak ada seorang pun di antara ribuan guru yang kami temui dari seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak senang menerima tunjangan profesi.
Pemberian tunjangan profesi bagi guru memang positif, tetapi bukan tanpa masalah. Masalah yang kini sedang melilit sekolah (dan madrasah) adalah pemberian tunjangan profesi yang tidak merata. Realitasnya, di suatu sekolah terdapat sebagian guru yang sudah mendapatkan tunjangan profesi dan sebagian tidak mendapatkannya. Jangankan mendapatkan tunjangan profesi, mendapatkan giliran diikutkan sertifikasi saja belum pernah.

Keadaan tersebut menimbulkan kecemburuan di antara para guru yang ujung-ujungnya menurunkan produktivitas pembelajaran. Ketika di sekolah ada kerjaan, maka guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi menjadi malas mengerjakannya. Mereka merasa pekerjaan itu seharusnya dikerjakan teman-temannya yang sudah mendapatkan tunjangan profesi. Demikian juga kalau kepala sekolah atau kepala dinas meminta guru meningkatkan kinerja pengajarannya, guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi kurang bergairah untuk melaksanakannya.

Kecemburuan pun makin memuncak ketika para guru yang menerima tunjangan profesi menggencarkan tuntutan agar nilai tunjangannya dinaikkan seiring dengan naiknya gaji tanpa memedulikan rekannya yang belum mendapatkan tunjangan tersebut.
Pendek kata, para guru yang belum menerima tunjangan profesi merasa menjadi warga sekolah kelas dua setelah guru yang sudah menerima tunjangan profesi. Di sekolah-sekolah swasta tertentu, bahkan, guru yang sudah menerima tunjangan profesi dikucilkan karena dianggap sebagai ”anak emas pemerintah” yang berkurang kadar keswastaannya. Ini semua tentu menurunkan produktivitas pembelajaran di sekolah.

Peran Pemerintah
Kecemburuan antarguru tersebut kiranya wajar saja. Bahwa di dalam realitasnya telah menurunkan produktivitas pembelajaran, itu harus segera diatasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, peran pemerintah sangat diperlukan.

Munculnya kecemburuan antarguru sebenarnya disebabkan belum meratanya pemberian tunjangan profesi. Belum meratanya pemberian tunjangan profesi disebabkan terbatasnya anggaran pendidikan. Terbatasnya anggaran pendidikan disebabkan belum terpenuhinya tuntutan minimal anggaran di satu sisi dan relatif tingginya kebocoran anggaran di sisi lain. Jadi, untuk meratakan tunjangan profesi bagi para guru, pemerintah harus berani mengalokasikan tuntutan minimal anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD sebagaimana ditulis dalam UUD 1945 dan UUD Sisdiknas dan segera membayarkannya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tempo hari.
Secara teknis, Departemen Pendidikan harus pandai menekan kebocoran baik kebocoran yang disebabkan adanya kesalahan perencanaan (misplaning) maupun adanya ulah manusia yang berupa korupsi.

Untung, sampai sekarang para guru kita masih baik hati. Mereka cukup menunjukkan sikap cemburu terhadap rekan-rekannya yang sudah menerima tunjangan profesi. Meski demikian kecemburuan tersebut harus segera dieliminasi.
Hal itu menjadi bahan renungan bersama bagi Depdiknas dan PGRI yang telah bersepakat meningkatkan kesejahteraan dan keprofesionalan guru tanpa menimbulkan kecemburuan.

Oleh Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd
Anggota Dewan Kehormatan Guru Indonesia dan direktur Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa Jogjakarta

Ditunggu, Kontribusi Positif Guru

Saat ini, lembaga-lembaga pendidikan guru masih berkutat dengan konsep dan proses-proses pembelajaran yang belum mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan (old fashion). Untuk itu, di antara berbagai permasalahan yang dihadapinya, baik di sekolah atau di rumah, mulai dari kebijakan pemerintah dan sekolah sampai urusan di dapur, guru tetap harus memikirkan sesuatu untuk memberikan kontribusi yang positif ke berbagai pihak.

Guru harus membuat anak didiknya berpikir bahwa di sekitarnya ada orang lain, sehingga mereka merasa wajib menjaga kelangsungan dunia ini.
– Paulina Pannen

Demikian diungkapkan Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidkan (STKIP) Kebangkitan Bangsa atau Sampoerna School of Education (SSE) Paulina Pannen tentang visi dan misi digelarnya Kongres Guru Indonesia (KGI) 2010.

Untuk itu, kata Paulina, kongres tersebut membawa tiga misi penting, yang diharapkan mampu memperkuat komitmen guru untuk bisa memberikan kontribusi positifnya ke berbagai pihak.

“Pertama, kita ingin, guru yang memang benar-benar sebagai praktisi di lapangan itu bisa menyadarkan kita semua, bahwa segala perubahan harus disikapi secara sistematik oleh berbagai pihak,” ucap Paulina kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (19/5/2010).
Kedua, kata dia, guru perlu menyadarkan semua pihak, bahwa perubahan yang diharapkan itu bertujuan untuk pembangunan yang berkelanjutan. “Kita, di dunia pendidikan saat ini, tak bisa lagi memikirkan hari ini, tetapi juga hari esok,” tambahnya.

Menjadi guru, sejatinya, adalah untuk masa depan anak-anak sebagai para calon pemimpin bangsa. Guru tak bisa lagi egois mencekoki anak-anak didiknya untuk mengejar nilai, tetapi harus bisa mendukung mata rantai kehidupannya, kelak.

“Artinya, anak didik kita harus mampu berpikir bahwa di sekitarnya ada orang lain, sehingga mereka akan merasa wajib menjaga kelangsungan dunia ini,” kata Paulina.
Di antara berbagai permasalahan yang dihadapinya, baik di sekolah atau di rumah, mulai dari kebijakan pemerintah dan sekolah sampai urusan di dapur, guru tetap harus memikirkan sesuatu untuk memberikan kontribusi yang positif ke berbagai pihak, baik itu terhadap lembaga guru, pemerintah, sekolah, dan semuanya.

Guru sudah berusaha berbuat banyak untuk menghadapi perubahan itu meskipun belum maksimal. Ke depan, tugas dan kewajiban guru memang kian berat.
Kompas.com

"Peranan Guru"

Guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar dan pendidik, maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan. Secara teoritis dalam peningkatan mutu pendidikan guru memilki peran antara lain :
a. Sebagai salah satu komponen sentral dalam system pendidikan,

b. Sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam suatu instansi pendidikan (sekolah maupun kelas bimbingan)

c. Penentu mutu hasil pendidikan dengan mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya diri, disiplin, dan bertnggung jawa.

d. Sebagai factor kunci, mengandung arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan untuk mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan

e. Sebagai pendukung serta pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan meneruskan estafet pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan nasional serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang semakin spektakuler

f. Sebagai pelayan kemanusiaan di lingkungan masyarakat

g. Sebagai pemonitor praktek profesi

3 Sifat Utama Anak

Dalam mendidik anak, tidak hanya cukup hanya dengan dicukupi materinya saja. Perhatian dan kasih sayang dari orang tua mutlak dibutuhkan oleh sang anak. Terutama pada usia-usia Pra Sekolah sampai usia MI/SD. Peran serta orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk karakter sang anak. Bahkan tak jarang sang anak sengaja membuat atau berbuat kenakalan hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang dewasa. Nah untuk mengatasi kenakalan anak tersebut perlu diketahui beberapa sifat utama anak.
Sifat utama anak inilah yang dapat dimanfaatkan untuk mendidik anak dan mengarahkan anak sehingga dapat mematuhi nasehat maupun menuruti ajaran guru dan orang tua. Sifat-sifat utama tersebut akan kami paparkan berikut ini :

a. Dorongan Imitasi, yaitu dorongan untuk meniru perbuatan atau kebiasaan orang lain. Dorongan atau daya meniru ini terdapat dalam setiap anak. Daya – daya itu sedemikian kuatnya sehingga banyak hal yang dipelajari. Misalnya saja ketika anak melihat Ibu sedang memandikan bayi, maka iapun meniru memandikan bonekanya. Dari dorongan inilah anak – anak memperoleh sebagian besar pelajaran yang dipelajarinya. Dan dorongan meniru merupakan sarat yang dapat memperkuat kepatuhan.
b. Dorongan Identifikasi, yaitu dorongan untuk menyamakan diri atau merasa sama dengan orang lain. Dorongan identifikasi ini juga sangat kuat dalam diri anak. Anak umumnya akan menyamakan dirinya dengan ayah ibunya. Apa yang dianggap bagus oleh ayah ibunya, anakpun akan menganggapnya bagus. Anak juga akan merasa sedih jika melihat orang tuanya berduka cita. Hubungan antara anak dengan orang tuanya yang dibangun berdasarkan identifikasi sangat berguna untuk menambah kepatuhan.
c. Sugestibel, yaitu sifat anak yang mudah dipengaruhi, lebih mudah dari orang dewasa. Anak – anak mempunyai daya pikir yang belum berkembang. Pemikiran mereka masih sederhana. Oleh sebab itu mereka mempunyai kepercayaan yang bulat terhadap orang tuanya ataupun gurunya. Kepercayaan yang bulat ini menjadi alat penolong untuk menganjurkan ia menjadi anak yang patuh. Sugesti merupakan cara yang terbaik untuk menyuruh anak agar menurut, namun jika anak sudah besar dan daya pikirnya sudah berkembang maka ia tidak lagi percaya pada kata – kata sugesti.


Istilah-istilah Motorik

Ada beberapa istilah yang sering dipergunakan dalam belajar motorik yaitu :

1.Perkembangan Motorik (Motor Development)

Perkembangan motorik terutama dimaksudkan untuk mempelajari perilaku ditinjau dari pandangan perkembangannya. Adapun perilaku yang diperhatikan dalam konteks ini adalah perilaku dalam bentuk motorik.

2.Belajar Motorik (Motor Learning)

Belajar motorik terdiri dari dua kata yaitu belajar dan motorik. Belajar dapat dinyatakan sebagai perubahan internal individu yang disimpulkan dari perkembangan prestasinya yang relatif stabil, sebagai hasil latihan.Sedangkan motorik menunjukkan keadaan /sifat bentuk apa yang telah dihasilkan dalam proses berlatih.

3.Keterampilan (skill)

Keterampilan adalah tindakan yang memerlukan aktivitas gerak dan harus dipelajari agar supaya mendapatkan bentuk yang benar.

4.Kemampuan (ability)

Edwin Fleishman menyatakan bahwa kemampuan (ability) merupakan suatu kapasitas umum yang berkaitan dengan prestasi berbagai macam keterampilan.

5.Pola gerak (Movement Pattern)


Menurut Godfrey dan Kephart movement pattern adalah sebagai rangkaian tindakan motorik ekstensif yang dibentuk dengan tingkatan lebih rendah dibandingkan dengan tindakan yang dikategorikan sebagai keterampilan (skill).

Pengertian Motorik

Istilah motor menyiratkan adanya gerak otot, yang seakan-akan tidak banyak melibatkan aspek-aspek kognitif dan perseptual. Tetapi kenyataannya adalah keterampilan-keterampilan yang dilakukan biasanya merupakan sesuatu yang kompleks dan melibatkan penditeksian terhadap rangsang, evaluasi dan pengambilan keputusan serta respon nyata yang berwujud gerakan.

Pengertian motorik dan gerak sering kali menjadi satu karena diantara kedua istilah tersebut sangat sulit ditarik suatu batasan yang konkrit, dan memang terdapat hubungan sebab akibat. Namun demikian perlu diberikan suatu batasan yang minimal dapat memberikan penjelasan terhadap hubungan sebab akibat yang dimaksud.

Motorik dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa laten yang meliputi keseluruhan proses-proses pengendalian dan pengaturan fungsi-fungsi organ tubuh, baik secara fisiologis maupun secara psikis yang menyebabkan terjadinya suatu gerakan.Peristiwa-peristiwa laten yang tidak dapat diamati tersebut meliputi : penerimaan informasi, pemberian makna terhadap informasi, pengolahan informasi, proses pengambilan keputusan,dan dorongan untuk melakukan berbagai bentuk aksi-aksi motorik. Setelah itu dilanjutkan dengan peristiwa fisiologis yang meliputi pemberian, pengaturan dan pengendalian impuls kepada organ-organ tubuh yang terlibat dalam melaksanakan akssi-aksi motorik.

Gerak diartikan sebagai suatu proses perpindahan suatu benda dari suatu posisi ke posisi lain yang dapat diamati secara obyektif dalam suatu dimensi ruang dan waktu.Untuk memberikan pengertian yang lebih operasional tentang gerak, maka diperlukan suatu batasan yang lebih spesifik. Batasan yang dimaksud adalah pengertian gerak dari gerak manusia melakukan aksi-aksi motorik. misalnya perubahan tempat,posisi dan ketepatan tubuh atau bagian tubuh dalam melompat, berjalan, berlari atau menendang bola. Didalam belajar motorik, gerak juga dilihat atau diartikan sebagai hasil atau penampilan yang nyata dari proses-proses motorik,sebaliknya motorik adalah suatu proses yang tidak dapat diamati dan merupakan penyebab terjadinya gerak.

Sedangkan belajar motorik berhubungan dengan keadaan yang berkaitan dengan pengembangan dalam belajar. Belajar dapat didefinisikan sebagai satu perubahan prestasi ataupun perilaku yang relatif permanen akibat dari adanya suatu latihan ataupun pengalaman.Proses belajar akan mempersatukan ciri-ciri yang unik terhadap lingkungan yang ada. Mempelajari keterampilan motorik, sikap ataupun perilaku kognitif memerlukan beberapa tingkat keterbukaan pada kondisi tertentu yang akan menghasilkan perubahan perilaku atau disposisi untuk bertindak. Perubahan ini menjadi relatif permanen, dengan kata lain keadaan-keadaan performance yang bersifat sementara tidak benar mewakili belajar.

Menjadi Guru

Menjadi guru bukanlah pilihan alternative, dan ini perlu dihayati dan dipahami oleh seorang yang ingin menjadi guru. Apabila guru sebagai pilihan yang tidak diunggulkan, dan ini akan berdampak kepada psikologi yang bersangkutan. Karena untuk menjadi seorang guru memiliki serangkaian kemampuan, dan kemampuan itu tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui kesadaran, motivasi belajar dan proses berkelanjutan.

Guru adalah salah satu profesi yang jelas disebutkan seseorang yang memiliki kemampuan, kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh semua orang dan hanya dimiliki oleh seorang guru. Makanya guru adalah orang yang memiliki kemampuan di dalam memberikan pendidikan kepada anak didiknya, memberikan pengajaran dengan berbagai ilmu kepada anak didiknya, serta memberikan keterampilan kepada anak didiknya, sehingga anak didik yang dihasilkannya juga memiliki kemampuan sebagaimana yang dimiliki oleh gurunya sendiri.

Kemampuan guru akan berkait erat dengan kinerja guru, dan guru yang memiliki kinerja tinggi dan menyadari akan tugas dan tanggung jawab yang diembannya, maka guru akan berupaya mungkin untuk mendapatkan berbagai kemampuan sehigga guru memiliki wawasan dan kualifikasi ilmu seluas dan memiliki daya saing tinggi di dalam meningkatkan kemampuannya dalam proses pembelajaran di kelas. Kinerja guru kaitannya dengan kemampuan individu yang bersangkutan akan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan program pembelajaran di kelas. Profil dan ciri kemampuan guru, Rochman Natawidjaja mengutip pendapat D. A. Tisna Amidjaja mengatakan tiga aspek kemampuan guru, yaitu mencakup:
(1) Kemampuan pribadi; setiap guru harus memiliki kemampuan pribadi, karena dengan kemampuan nya itu, ia akan menjadi guru berkualitas, dan kualitas itu sendiri dapat dihasilkan bilamana di mulai dari kemampuan pribadi gurunya;
(2) Kemampuan professional, ini yang juga tidak kalah pentingnya dan kemampuan professional merupakan kemampuan di dalam menghayati dan mendalami bidang keilmuannya. Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan professional, maka akan berdampak kepada kualitas pembelajarannya, akhirnya juga bermuara kepada kualitas pendidikan secara nasional.
(3) Kemampuan kemasyarakatan atau sosial, dan guru juga harus memahami dan memiliki kemampuan ini, bagaimana guru mampu beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupan bermasyarakat, serta mampu melakukan sosialisasi dengan lingkungannya, sehingga dimanapun, dan kapanpun, serta dengan siapapun guru memiliki kemampuan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Charles Johnson mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Rochman Natawidjaja mengungkapkan seluruh kemampuan guru itu dalam enam komponen pokok, yaitu: (a) unjuk kerja ( performance), (b) penguasaan materi pelajaran yang harus diajarkan kepada siswanya, (c) penguasaan landasan professional keguruan dan pendidikan, (d) penguasaan prose-proses pengajaran dan pendidikan, (e) penguasaan cara untuk menyesuaikan diri, dan (f) kepribadian.

Keenam komponen di atas merupakan satu system dalam arti tidak boleh dipandang sebagai suatu yang terpisah-pisah, melainkan harus dipandang sebagai suatu keterpaduan yang menjelma dan bermuara pada kualitas unjuk kerja yang diperkirakan menunjang keberhasilan siswa dalam belajar. Huston dan kawan-kawan mengemukakan bahwa dalam penelitian yang dilaksanakan di Amerika Serikat oleh Nasional Education Association mengungkapkan 10 macam tugas guru yang harus dilakukan sehari-hari, yaitu: a. Manjaga agar selalu melaksanakan tugasnya, b. Mencatat kehadiran siswa, c. Menyesuaikan rencana kerja dalam kegiatan kelas, d. Memantau kegiatan-kegiatan di luar sekolah, e. Merencanakan pelajaran, f. Mendiskusikan pekerjaan dengan rekan sejawat, g. Memberikan penyuluhan kepada siswa, h. Memberikan respon kepada pertanyaan kepala sekolah, i. Mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa, j. Menghadiri rapat guru.

Agar dapat melaksanakan tugas sehari-hari dengan baik, guru harus memiliki kemampuan pribadi, kemampuan professional dan kemampuan kemasyarakatan atau kemampuan sosial. Kemampuan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kinerjanya dalam me-laksanakan tugas yang diembannya, terutama dalam merencanakan pembelajaran. Dengan memiliki kemampuan yang baik, diharapkan proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar dan tujuan pembelajaran di kelas dapat tercapai, dan keinginan kita untuk meningkatkan mutu pendidikan akan dapat dicapai.

Mengajar Dengan Hati

SAYA berharap kolom ini bisa menjadi tip bagi guru atau praktisi pe ndidikan, tapi sesungguhnya juga bagi kita semua, bahwa komunikasi akan efektif kalau dilakukan dengan sepenuh hati.

Artinya, hatinya penuh dengan ketulusan dan kesungguhan. Pekerjaan apa pun yang tidak menyertakan hati akan terasa hambar. Hati ini di sini memiliki konotasi positif,hati yang bening sesuai dengan kodratnya. Bagi seorang guru, ketika datang ke sekolah setidaknya mesti memiliki tiga bekal primer. Pertama, mesti siap dengan materi yang akan diajarkan. Tanpa kesiapan dan penguasaan materi, apa yang hendak disampaikan kepada siswa? Ini juga berlaku bagi seorang dosen.

Terlebih ketika menghadapi siswa atau mahasiswa yang kritis,guru atau dosen yang miskin penguasaan materi pasti akan ketahuan dan menurunkan wibawanya di depan kelas. Guru atau dosen yang baik tak kalah rajin belajarnya ketimbang siswa atau mahasiswanya. Hanya saja cara belajarnya berbeda. Namun, prinsipnya, guru atau dosen yang berhenti belajar berarti dia juga harus berhenti mengajar.

Hubungan guru-murid jauh berbeda dari hubungan antara montir dan kendaraan rusak yang hendak diperbaiki.Sehebat-hebat dan semahal-mahal harga mobil mutakhir,tak akan mampu mengalahkan kepintaran montirnya sekalipun gajinya rendah karena mobil adalah benda mati, tidak tumbuh dan tidak berkembang. Namun,yang dihadapi seorang guru adalah anak-anak dengan potensi besar dan bakat berbedabeda.

Anak-anak datang dengan mimpi, cita-cita besar, dan membawa harapan orang tuanya untuk membangun masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu seorang guru, termasuk orang tua,mesti menjadi pendengar dan pemerhati yang baik bagi anak-anak. Mesti selalu menambah wawasan tentang perkembangan psikologi anak dan berbagai temuan metode yang baru dan cocok untuk diterapkan pada anak-anak. Bekal kedua bagi seorang guru ketika masuk kelas adalah keterampilan menerapkan metode pembelajaran yang tepat, efektif, dan menyenangkan.
Saya sendiri punya pengalaman, pernah memperoleh seorang dosen yang ilmunya dalam dan luas dalam mata kuliah yang dipegang, tetapi mengajarnya kurang efektif. Tidak menarik dan tidak efisien. Miskin dalam aspek metodenya.Jadi guru yang baik bukan saja yang menguasai materi ajar, tapi tak kalah penting adalah metode pengajarannya tepat sehingga anakanak akan senang menerimanya.
Dalam sebuah penelitian psikologi pembelajaran disebutkan,jika suasana belajar menyenangkan, daya serap anak akan meningkat, bahkan berlipat.Coba saja perhatikan, belajar bahasa sambil menyanyi hasilnya akan lebih baik ketimbang model hafalan yang menjemukan. Ini berlaku terutama bagi anak-anak.Anak-anak biasanya lebih cepat pintar diajar guru privatprofesional ketimbang diajar orang tua sendiri yang mudah marahmarah tidak sabaran.

Dalam suasana bosan dan tegang, otak akan menciut,daya serapnya sedikit. Berdasarkan prinsip di atas, maka terkenal konsep joyful learning. Sebuah pembelajaran yang menyenangkan, tetapi bukan berarti santai, tidak serius.Yang ditekankan adalah metodenya menyenangkan agar materi yang telah disiapkan terserap secara optimal. Sejalan dengan konsep ini, ruang kelas pun hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga terasa indah dan nyaman.

Ruang kelas yang semrawut dan warna cat temboknya kusam akan memengaruhi pikiran dan hati siswa juga ikut semrawut. Bekal ketiga, di samping penguasaan materi dan metode,adalah kesiapan mental berupa cinta kepada anak-anak. Seorang guru yang baik ketika masuk ruang kelas mesti dengan hati. Dengan energi dan vibrasi cinta kepada anak-anak. Mengajar tanpa hati akan terasa hambar. Anak-anak pun tidak akan mendengarkan dengan hati.

Kita semua pasti punya pengalaman, guru-guru yang mengajar dengan hati pasti kesannya akan lebih mendalam sekalipun telah berlalu puluhan tahun. Oleh karena itu,pandai-pandailah mengatur dan menjaga hati. Ketika dari rumah atau di jalanan muncul rasa kesal,misalnya,maka ketika kaki menginjak halaman sekolah mesti mampu menata hati agar rasa kesal itu tidak terbawa masuk ruangan kelas. Mengajar dengan hati kesal pengaruhnya akan dirasakan langsung oleh anak-anak.

Akan dirasakan oleh teman-teman sejawat. Pengaruhnya akan terlihat pada air mukanya, pada tutur katanya, dan pada perilakunya yang ujungnya proses dan suasana pembelajaran tidak efektif. Oleh karena itu, penting sekali seorang guru memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan psikologi komunikasi. Bahwa dalam komunikasi yang berlangsung tidak sekadar tukar-menukar kata dan ide, tetapi faktor emosi juga akan sangat memengaruhi. (*)
penulis: PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Kompetensi Guru Dicuekin, Mengajar Seenaknya

Kalau guru lain sudah canggih dalam metode mengajarnya maka saya masih kuno, yah begitu-begitu saja. Sadar terlambat lebih baik daripada tidak mau beranjak untuk memperbaiki diri. Kadang mengajar tidak lebih dari mengandalkan apa yang di kepala tanpa persiapan pun masuk kelas. Karena merasa ‘hebat’ untuk materi yang akan diajarkan. Alhasil guru hebat seperti itu ternyata menghasilkan siswa sekarat.

Para guru sakti, mengajarpun biasa dengan tangan kosong. Karena sangat saktinya ia tidak perlu membawa apapun ke kelas. Siswapun terkesima dengan kesaktian sang guru. Masih banyak-kah guru-guru sakti zaman sekarang? Sepertinya sudah mulai punah. Patut dilestarikan tuh. Sayangnya guru sakti begitu malah tidak dianjurkan oleh ‘pakem’ mengajar jaman sekarang.

Mengajar dengan tanpa persiapan hasilnya memang berantakan (seperti guru sakti itu). Ini adalah salah satu sebab mengapa siswa kita sering mengalami kesulitan memahami apa yang kita sampaikan. Atau kalau tidak karena salah cara menyiapkan prosedur pembelajarannya. Guru seperti itu kadang anehnya, menanyakan sampai mana pelajaran pada pertemuan terakhir. Ini indikasi guru tidak melakukan persiapan, yang tahu siswa kan. Tapi apa yang bisa siswa lakukan terhadap guru semacam itu.

Sangat disayangkan tidak sedikit guru yang menyiapkan perangkat pengajarannya hanya karena alasan administrasi atau mau disupervisi. Inilah potret nyata guru profesional yang katanya sudah mengantongi sertifikat pendidik. Kita, guru seolah pingsan, tidak menyadari tugas guru itu mulya dan amat berat. Tapi karena sistem di negeri ini masih amburadul maka hal itu merupakan kesempatan empuk bagi guru untuk berleha-leha dan malas belajar lagi.

Jumlah siswa yang tambun semestinya membuat guru selalu sibuk untuk menyiapkan segala sesuatunya. Tapi di ruang-ruang guru di negeri ini masih ada saja guru yang asyik mahsyuk ngerumpi. Padahal di mejanya terongok setumpuk buku siswa yang tak kunjung disentuh. Masih mending ia rajin membaca, mengali ilmu, berbagi ilmu dengan rekan seprofesi di daratan lain di negeri ini atau aktif diskusi di milis yang mencerahkan diri. Duh…

Guru-guru yang tidak tahu tugasnya semestinya membaca kembali tuntutan standar kompetensi guru. Misalnya membuat matrik apa yang belum dia kerjakan dan kuasai. Tapi apa ada sih guru yang tidak tahu tugas dan tanggung jawabnya? Ups, gak perlu dijawab yah. Kalau mau coba saja periksa pada kompetensi profesional itu sudahkan ia penuhi semua. Sayangnya belum semua guru tahu kompetensi profesionalnya itu apa saja. Halah jangankan melakukan, baca aja belum pernah. Sungguh terlalu…!

Jika kita para guru memahami kompetensi pedagogi yang berjumlah 10 bagian itu, maka barang kali kita tak punya waktu luang untuk santai saat di sekolah. Tapi nyatanya kita malah bisa santai sesantai-santainya. Jadi ingat, rekan kita guru di Singapore tak satupun yang terlihat ngobrol dengan sesamanya. Mereka sibuk dengan akitaivitasnya yang kalau di indonesia layaknya pegawai bank. Kita?!

Kompetensi guru, guru apapun kita terkait TIK yaitu pada kompetensi pedagogik: memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran, pada kompetensi profesional: memanfaatkan TIK untuk berkomunikasi dan pengembangan diri. Itu sebagian kecil saja dari kompetensi yang harus kita punya sebagai guru.

Anak Betah Sekolah karena Orangtua dan Gurunya

Sebagian orangtua pernah mengalami kesulitan mengajak anaknya ke sekolah. Balita yang baru akan mulai sekolah pun bisa menolak pergi ke sekolah. Motivasi seperti apa yang seharusnya diberikan kepada anak?

Michael Ungar, PhD, terapis pernikahan dan keluarga, mengatakan bahwa penelitian menunjukkan, anak dari berbagai usia, etnis, dan tempat tinggal menginginkan adanya ikatan emosi dengan sekolah.

Menurut Ungar, anak membutuhkan rasa memiliki yang kuat dengan apa pun terkait sekolah mereka. Bukan hanya atas dirinya atau teman sekolahnya, melainkan juga orangtua dan guru.
Caranya?

Panggil namanya, bukan sekadar “Nak”

Anak membutuhkan pengakuan, setidaknya melalui gurunya, yang menyapanya dengan memanggil namanya. Petugas administrasi atau orangtua saat mendaftarkan anak juga perlu mengenalkannya. Tak sekadar menyebut nama, tetapi juga mengakui keberadaan anak.

Belajar ilmu praktis yang bermanfaat untuk hidupnya
Anak merasa lebih nyaman jika sekolahnya mengajarkan bagaimana hidup, bagaimana membuat keputusan, dan ilmu praktis yang bisa diterapkan dalam keseharian. Skill sosial sangat dibutuhkan anak untuk mencari solusi dari sebuah masalah. Anak menjadi mengerti tentang hak-haknya serta bagaimana membela dirinya dan menyelesaikan suatu masalah.

Keterlibatan orangtua
Sekolah bukan hanya untuk anak. Orangtua perlu terlibat untuk kemajuan kepribadian anak dan sekolahnya. Anak cenderung betah dan akan menumbuhkan rasa memiliki atas sekolah, jika orangtuanya terlibat aktif dalam kegiatan apa pun di sekolah.

Masuk 10 besar, bukan itu tujuannya

Banyak bukti menunjukkan bahwa anak senang bersekolah meski rankingnya biasa saja. Ranking hanya salah satu aspek yang didapatkan anak di sekolahnya. Anak senang bersekolah, umumnya, karena melihat adanya keterlibatan orangtua dan gurunya. Anak nyaman saat ada monitoring dari orang dewasa. Sekadar menuntut anak masuk ranking sepuluh besar hanya akan membuat anak melihat sekolah sebagai beban.

Hubungan pertemanan saling menguatkan

Hubungan dengan teman satu kelas bisa saling menguatkan. Namun terlalu banyak jumlah anak dalam satu kelas juga tidak akan menumbuhkan ikatan. Memilih kelas dengan jumlah anak yang dibatasi akan lebih baik untuk perkembangan emosi anak, terutama dalam menjalin hubungan pertemanan.
Female. Kompas

5 Alasan Guru Takut Melakukan PTK

Dewasa ini banyak dijumpai guru yang belum melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di dalam proses pembelajarannya. Mengapa?
Ada 5 alasan utama yang menyebabkan guru takut melakukan PTK:


Kurang memahami profesi


Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia, sehingga hendaknya mereka menyadari ini. Guru harus dapat memahami peran dan fungsinya di sekolah, karena guru sekarang bukan hanya guru yang mampu mentransfer ilmu dengan baik, tetapi juga mampu digugu dan ditiru untuk memberi tauladan yang tidak hanya sebatas ucapan, tapi juga tindakan.

Profesi guru adalah profesi yang bukan hanya mulia di mata manusia, tetapi juga di mata Tuhan. Karena itu guru harus dapat mengajar dan mendidik dengan hatinya agar dapat menjadi mulia. Hati yang bersih dan suci akan terpancar dari wajahnya yang selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5 S dalam kesehariannya, yaitu Salam, Sapa, Sopan, Senyum, dan Sabar.

Malas membaca buku dan malas menulis

Masih banyak guru yang malas membaca, padahal dari membaca itulah akan terbuka wawasan luas. Kesibukan-kesibukan mengajar membuat guru merasa kurang sekali waktu untuk membaca. Ini nyata, dan terjadi di sekolah kita.

Bukan hanya di sekolah, di rumah pun guru malas membaca. Guru harus dapat melawan kebiasaan malas membaca. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu, namun bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa.

Guru yang rajin membaca, otaknya ibarat mesin pencari google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar.

Guru yang terbiasa membaca, maka akan terbiasa menulis. Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri. Guru yang rajin menulis, maka ia mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau.

Kurang sensitif terhadap waktu dan terjebak rutinitas


Guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik tidak akan banyak meraih prestasi dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang disia-siakan, sehingga guru harus sensitif terhadap waktu. Ia harus selalu terjaga dari sesuatu yang kurang bermanfaat.

Guru juga harus pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai terjebak rutinitasnya, yang justru tidak mengantarkan dia menjadi guru dan tidak dapat diteladani anak didiknya.

Guru harus pandai mensiasati pembagian waktu kerjanya. Buatlah jadwal yang terencana. Buang kebiasan-kebiasaan yang membawa guru untuk tidak terjebak di dalam rutinitas kerja, misalnya, membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda guru, di dalam blog internet, dan lain-lain. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi guru yang kurang berkualitas.

Kurang memahami PTK


Banyak guru kurang memahami penelitian tindakan kelas atau PTK. Guru menganggap PTK itu sulit. Padahal, PTK itu tidak sesulit yang dibayangkan, karena PTK dilakukan dari keseharian mereka mengajar.

Tidak ada yang sulit. Guru hanya perlu merenung sedikit dari proses pembelajarannya, mencatat masalah-masalah yang timbul, dan mencoba mencari solusinya. Ajaklah teman sejawat agar proses observasi dan refleksinya tidak terlalu subyektif.

PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Kompas.com

Citra Profesi Guru

Hanya ada dua profesi di dunia, yaitu guru dan bukan guru. Mungkin ini hanya sebuah pandangan subjektif, meskipun mungkin juga hal ini pun sangat benar adanya. Profesi guru menghasikan profesi lainnya, tetapi tidak sebaliknya. Ada sebagian orang yang jalan hidupnya berubah karena diinspirasi sosok guru. Guru, tak cukup pandai menjelaskan sajian materi pelajaran, tetapi lebih dari itu, guru adalah orang yang mampu membuat perbedaan bagi pribadi-pribadi siswanya karena perilakunya yang layak digugu dan ditiru.
Jika kita cermati sejarah perkembangan profesi guru di tahun 1960-an, profesi guru masih menjadi suatu profesi yang banyak diminati sehingga proses seleksinya pun relatif ketat. Alhasil, pada saat itu, mereka yang diterima untuk bisa belajar di lembaga pendidikan guru adalah para lulusan terbaik dari sekolah menengah (ranking I sampai III).

Siahaan, S. (2009), memiliki analisis tersendiri tentang fakta empiris terjaminnya kualitas mutu proses pendidikan guru di saat itu, di antaranya (1) lembaga pendidikan guru menerima peserta didik yang prestasi belajarnya termasuk dalam peringkat 3 besar, (2) selama mengikuti pendidikan guru, para peserta didik mendapat beasiswa atau tunjangan ikatan dinas, (3) selama mengikuti pendidikan guru, para peserta didik diasramakan sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber belajar yang tersedia, dan (4) setelah menyelesaikan pendidikan keguruan, mereka langsung ditempatkan sebagai guru di daerah asalnya masing-masing.

Satu lagi yang tak boleh dilupakan, di era tahun 1960-an, profesi guru tidak hanya dianggap prestisius di negeri sendiri, tapi diapresiasi juga oleh negara tetangga kita, Malaysia. Pemerintah Malaysia pada saat itu melihat para guru di Indonesia sebagai sosok yang memenuhi kualifikasi mereka untuk mengajar di Malaysia. Wajar jika kemudian mereka “mengimpor” guru-guru Indonesia untuk mengajar di Malaysia, serta “mengekspor” guru-guru mereka untuk mengikuti pendidikan guru di Indonesia. Era keemasan profesi guru di masa lampau.

Sampai di masa Orde Baru, profesi guru mengalami fase kemunduran. Tidak semua lulusan lembaga pendidikan guru memutuskan pilihan hidupnya sebagai guru. Terlebih ada juga sebagian lulusan lembaga pendidikan guru yang diangkat sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) tetapi tidak bekerja sebagai guru. Nyatanya, kondisi ini dipicu oleh persepsi yang berkembang mengenai situasi kekinian terkait dengan profesi guru, di antaranya: (1) gaji guru yang relatif rendah, (2) rumitnya prosedur birokrasi yang harus dihadapi guru dalam pengembangan karirnya, (3) merosotnya status guru di tengah-tengah masyarakat (Suparman, 2006). Akibatnya, lembaga pendidikan guru menjadi sangat sulit untuk mendapatkan lulusan sekolah menengah atas yang berprestasi dan memiliki keminatan menjadi guru. Tak dapat disangkal lagi, inilah sebab utama rendahnya ketersediaan guru-guru profesional di Bumi Pertiwi.

Terlebih, reposisi peran dan tanggung jawab lembaga pendidikan guru yang terus berkembang turut berpengaruh dalam menyiapkan profil guru yang berkualitas. Pendidikan Tenaga Penghasil Guru (PTPG), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP), Institut Pendidikan Guru (IPG), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), dan sekarang menjadi Universitas Pendidikan (Universitas Mantan IKIP, seperti Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Malang, dsb) merupakan proses transformasi dari lembaga pendidikan guru untuk menjawab kebutuhan penyediaan tenaga guru yang profesional dan berkarakter. Sayang seribu sayang, ketika tingkat kesejahteraan guru masih berada pada posisi yang relatif rendah, ini menjadi pemicu rendahnya minat para generasi muda untuk menjadi guru. Alasannya sangat sederhana, bekerja menjadi guru tidak menjamin penghidupan yang lebih baik. Wajar jika kemudian kita menemui fakta di lapangan bahwa sebagian besar orang memutuskan hidup menjadi guru hanya sebagai pilihan hidup yang kedua, ketiga, bahkan mungkin yang terakhir. Sungguh ironis.

Kini, pascaberlakunya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesi guru terkesan sedang diperhatikan dan hendak diangkat harkat martabatnya. Di sisi lain, kita malah makin mengkhawatirkan hadirnya banyak oknum yang mengaku guru dan tiba-tiba berubah pikiran untuk menjadi guru karena alasan yang satu ini. Segala cara dihalalkan. Pemalsuan sertifikat kian marak, satu dari sekian kasus curang yang dilakukan oknum guru yang tanpa sadar hendak menghancurkan nama baik korpsnya guru. Semua dilakukan semata untuk mendapatkan kenaikan upah satu kali gaji pokok, bukan atas dasar profesionalisme. Jika cara ini tidak diimbangi dengan upaya penguatan kapasitas lembaga pendidikan guru dan penataan sistem pengembangan profesional guru secara sistematis-berkelanjutan, kebijakan populer ini dirasa tak akan mampu menguatkan citra profesi guru di masyarakat. Yang ada malah kita sedang giat memproduksi musang berbulu domba, yaitu orang yang menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kekayaan materi dunia, bukan orang yang menjadikan kekayaan dunia sebagai alat untuk menyempurnakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru. Ini perkara yang patut dicermati seksama.

Jika kita mau belajar dari sejarah masa lampau, profesi guru hanya akan menjadi terhormat ketika pemerintah mau dan mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang memuliakan profesi mereka. Menurut Dedi Supriadi dalam bukunya Mengangkat Citra dan Martabat Guru (1999), berdasar berbagai studi yang dilakukan, tingkat kesejahteraan merupakan penentu yang amat penting bagi kinerja guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Jangan sampai perbaikan kesejahteraan bagi guru hanya untuk mengakomodasi kepentingan politis semata. Namun, langkah itu harus menjadi bagian dari proses pengembangan profesionalisme guru secara utuh.

Dua hal lain yang tak boleh dilupa, lakukan seleksi yang superketat bagi mereka yang hendak menjadi guru dengan memperhatikan aspek kemampuan akademis dan keminatan. Satu langkah strategis lainnya adalah melakukan upaya pembenahan dan penguatan kapasitas lembaga pendidikan guru sebagai tempat pertama dan utama untuk membina kapasitas profesional sekaligus membina akhlak karimah bagi para calon guru. Jika dua upaya ini tidak dilakukan, sesungguhnya kita tidak pernah sungguh-sungguh untuk menempatkan profesi guru pada singgasana yang terhormat.
( Lampung Post).

Mengembalikan Kehormatan Guru

Tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini profesi guru begitu terpuruk di mata masyarakat seperti saat ini. Seringnya guru mogok mengajar karena berdemonstrasi, citra guru yang rusak karena tuntutan ujian nasional, dan kebijakan pendidikan yang abai terhadap pengembangan profesional guru hanya beberapa kenyataan yang menunjukkan betapa kehormatan guru telah hilang. Mengembalikan kehormatan guru tak lagi bisa ditawar untuk menyelamatkan masa depan negeri ini. Tugas itu tak ringan dan memerlukan kerja sama banyak pihak sesuai cakupan tanggung jawab mereka. Hanya dengan pendekatan utuh dan sinergilah, kita dapat mengembalikan kehormatan guru.

Tiga sisi
Persoalan guru bisa diurai dengan melihatnya dari tiga sudut pandang: guru, negara, dan masyarakat. Pertama, persoalan yang penting direfleksikan oleh guru adalah bagaimana mereka tetap memiliki inspirasi pribadi yang memberi landasan nilai, makna bagi perkembangan dirinya sebagai guru. Inspirasi adalah sumber kekuatan, berupa nilai, prinsip pendidikan, dan tujuan hidup yang diyakini sebagai dasar bagi pengembangan panggilan pribadinya sebagai guru.

Memiliki inspirasi yang kuat sebagai guru berarti bahwa di tengah menumpuknya tugas rutin, guru tak pernah boleh kehilangan idealismenya sebagai pembelajar. Rutinitas dan keteraturan adalah ciri pendidikan formal. Persoalan seperti tugas administrasi, membuat silabus, satuan pelajaran adalah bagian dari kinerja guru. Oleh karena itu, beres secara administratif saja belum cukup. Lebih dari itu, mampu merefleksikan dasar terdalam panggilan sebagai guru bisa menjadi sumber rohani yang memungkinkan guru tetap menemukan makna di tengah tantangan dan kesulitan.

Memiliki inspirasi sangat penting sebab dengan itu, guru dapat mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan sebagai pengajar. Kebebasan adalah dasar dari pengembangan bermutu setiap profesi. Jika inspirasi tak ada, guru bisa kering nilai dan tanpa makna menjalani panggilan sebagai guru. Bahkan, guru bisa terpuruk sekadar jadi tukang yang melakukan sesuatu karena disuruh atau diperintah orang lain, atau sekadar taat aturan.

Tentu guru tak bisa bertindak seenak sendiri tanpa aturan yang sesuai dengan prosedur. Negara, dalam hal ini pemerintah, telah memberi rambu hukum dan peraturan yang membatasi profesi guru. Mengembalikan kehormatan guru tak mungkin terjadi secara efektif dan sistematis tanpa campur tangan negara.

Ruang kebebasan guru

Oleh karena itu, persoalan kedua yang mendesak dibuat oleh pemerintah untuk mengembalikan kehormatan guru adalah diberikannya ruang bagi guru untuk melaksanakan kebebasan profesionalnya sebagai guru dan pendidik. Ruang ini selama ini telah direnggut oleh UN. Pendidikan yang merupakan komunikasi antara anak didik dan guru jadi sebuah komunikasi teknis dan instrumental karena tak ada lagi keautentikan suasana pembelajaran yang terenggut karena tuntutan UN. Kehormatan guru tak akan pulih dengan efektif jika polemik seputar kebijakan UN tidak diselesaikan.

Negara memang telah memberi peraturan dan rambu untuk menyeleksi siapa saja yang layak dan pantas mengajar di depan kelas melalui peraturan perundang-undangan, terutama lewat sertifikasi. Namun, perlindungan atas profesi guru—negeri dan swasta—belum terjadi secara sinergis. Melindungi profesi guru dari terabasan berbagai kepentingan di luar dunia pendidikan, yang sering kali mempolitisasi guru, adalah hal yang mendesak.

Hal ketiga yang bisa membantu guru menemukan kembali kehormatan adalah tanggung jawab masyarakat sebagai rekan kerja utama para guru di sekolah, terutama orangtua. Mau tak mau, harus diakui, sekolah kita banyak diintervensi oleh orangtua dan masyarakat yang arogan, yang menganggap sekolah mesin produksi untuk memintarkan anak. Bahkan, ada yang sekadar menganggap sekolah lembaga pemberi ijazah. Mental dagang itu ada di masyarakat kita, dan guru harus berhadapan dengan kultur yang tak kondusif ini.

Mental dagang seperti tak mau terlibat dengan pendidikan anak karena sudah bayar mahal sekolah serta mental korup yang ada dengan membeli nilai atau ijazah adalah hal yang merugikan anak dan melecehkan martabat guru.

Namun, tak jarang juga mental dagang itu ada dalam diri guru sendiri. Gejala jual beli soal dan jawaban ujian, lobi orangtua untuk memperoleh nilai baik untuk anaknya dengan cara ”membeli” guru pun, sering juga tak disadari guru sebagai bagian yang sesungguhnya merusak martabatnya sebagai guru. Masyarakat perlu sadar bahwa kehormatan guru bisa pulih jika masyarakat membantu menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan guru dan anak didik. Tanpa bantuan masyarakat, pendidikan di sekolah tak akan berkesinambungan.

Mengembalikan kehormatan guru adalah hal mendesak. Tindakan yang bisa dibuat mesti sinergis dan simultan, serentak bersama-sama tiga pihak yang berkepentingan dengan pulihnya kehormatan dan martabat guru itu sendiri: guru, masyarakat, dan negara. Hari Guru Nasional yang kita peringati kemarin merupakan momentum untuk menyadari kembali, kehormatan guru harus segera dipulihkan demi perbaikan pendidikan di negeri ini.
( Kompas).